DALAM
rangka peringatan Hardiknas minggu lalu, ricuh yang terjadi di banyak tempat di
seluruh wilayah Indonesia menunjukkan kepedulian kaum muda akan pendidikan.
Pernyataan kekecewaan anak-anak muda akan penyelenggaraan ujian nasional
mengisyaratkan bahwa perubahan dalam sistem pendidikan merupakan keniscayaan.
Ada anggapan, mungkin sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat sudah bukan
zamannya lagi.
Ke depan,
rincian program pendidikan memerlukan rembukan bersama antara pusat dan daerah,
baik oleh pemerintah, berbagai lembaga sosial maupun masyarakat luas. Orang
muda ikut merasakan dan melihat ketimpangannya. Hanya kelompok yang naif dan
terlalu percaya diri yang mengira bisa mengatasi sendiri problem pendidikan.
Padahal, bukan hanya kelompok tertentu, tetapi kita semua perlu meyakini bahwa
pendidikan menjadi senjata pamungkas untuk kemajuan yang harus diprioritaskan.
Berbagai
demo Hardiknas dengan kekerasan hanya satu sisi wajah kepedulian. Perhatikan
kekhusyukan ribuan kaum muda ketika mengikuti proses mendoakan arwah Ustaz
Jefri. Kita melihat mereka merasa kehilangan tokoh muda yang menjadi teladan
terutama untuk kehidupan spiritual dan hubungan vertikal dengan Yang Maha
Kuasa. Orang-orang muda tidak seliar yang digambarkan demo-demo kekerasan. Mereka
juga merindukan keteladanan batiniah dalam menghadapi kemunaļ¬kan yang
dipertontonkan oleh selapis generasi lebih tua yang sekaligus menunjukkan
ketidakmampuan masyarakat modern mengorganisasi dirinya.
Sebenarnya
sejak dulu masyarakat terdidik sudah menyadari perubahan zaman menuntut
perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari sang pemimpin sampai kaum
pekerja. Juga diakui, jalan paling tepat memang lewat pendidikan dan rekayasa
sosial. Salah satu pelajaran penting dari psikologi sosial: bukan hanya sikap
yang memengaruhi perilaku, melainkan perilaku pun bisa memengaruhi sikap dan
moral kita. Bila diangkat ke tingkat nasional, perilaku politik kita membantu
membentuk atau sebaliknya, merusak kesadaran moral dan sosial kita. Bagaimana
bentuk rekayasa sosial itu? Anjuran perubahan sosial-politik pastinya termasuk
mengubah sistem pendidikan kita.
Sistem pendidikan terus berubah
Ekonom
terkemuka Jepang, Profesor Ryokichi Hirono, ketika masih bertugas di UNDP New
York pernah berkunjung ke Indonesia sekitar seperempat abad yang lalu. Sudah
sejak waktu itu dia mengatakan, “Jepang bisa semaju sekarang terutama
berkat antusiasme mereka di bidang pendidikan. Korea Selatan tumbuh pesat
karena penggiatan pendidikan sejak Perang Dunia ke-2. China juga akan maju
sekali. Lihat saja setelah tahun 2000 nanti.”
Memang
Jepang sejak Restorasi Meiji seabad lalu memiliki hasrat untuk mengejar kebudayaan
Barat. Sekarang dalam pencapaian tingkat pendidikan, Jepang menduduki posisi
nomor satu dunia. Sementara itu, pemerintah China sekarang telah membuat
komitmen bahwa menjelang 2020, setiap 100.000 orang, 13,5% atau lebih akan
tamat S-1, dan 31% akan tamat SMA. Buta aksara akan turun di bawah 3%, lama
pendidikan rata-rata seluruh penduduk meningkat dari 8 tahun sekarang menjadi
11 tahun nantinya. Belajar seumur hidup menjadi pedoman. Mereka beranggapan,
modernisasi pendidikan sangat diperlukan untuk modernisasi kehidupan China.
Mengalihkan manajemen pendidikan dari pusat ke tingkat lokal mereka pilih
sebagai sarana untuk memperbaiki sistem pendidikan.
Namun,
kekuasaan terpusat tidak mereka tinggalkan, seperti terbukti dengan berdirinya
Komisi Pendidikan Negara. Secara akademis, reformasi pendidikan bertujuan
membuat pendidikan sekolah tingkat dasar dan menengah bersifat universal.
Selain itu, jumlah sekolah dan guru yang berkualitas ditambah serta dibangun
sekolah-sekolah kejuruan dan teknik. Otonomi dan variasi di dalam dan di antara
daerah-daerah diizinkan. Kontrol berlebihan atas perguruan tinggi dikurangi.
Namun, tidak berarti bahwa Republik Rakyat China membiarkan inovasi dan
pemikiran independen dalam sistem pendidikannya.
Dasar-dasar
reformasi pendidikan RRC menargetkan lulusan yang berkemampuan, membuat daerah
bertanggung jawab untuk pendidikan dasar dan secara sistematis menjalankan
program wajib belajar 9 tahun, meningkatkan pendidikan menengah untuk
mengembangkan pendidikan teknik dan kejuruan, dan mereformasi sistem pendidikan
tinggi untuk mengembangkan kemampuan manajemen dan pengambilan keputusan.
Ditambah lagi dengan memberikan kepada para administrator dorongan dan wewenang
yang diperlukan untuk menjamin kelancaran reformasi pendidikan.
Dimana posisi Indonesia?
Dilihat
dari peringkat pendidikan, menurut catatan UNESCO lima tahun lalu, Indonesia
turun ke tingkat 62 di antara 130 negara di dunia. Education
Development Index (EDI) Indonesia masih di bawah Malaysia dan Brunei
Darussalam. Padahal, pada era 70-an Malaysia masih mengimpor tenaga pendidik
dari Indonesia. Tiga dasawarsa kemudian situasinya sudah terbalik. Indonesia
sekarang bahkan masih kalah dari Vietnam dalam peringkat pencapaian
pendidikannya.
Mengenai
anggaran pendidikan, sejak merdeka tahun 1957, Malaysia mengalokasikan anggaran
pendidikan yang tidak pernah kurang dari 20% APBN-nya. UUD kita pun
mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Selama Orde Baru,
berkat dorongan yang tidak henti-hentinya, alokasi anggaran berkisar 10% APBN,
turun lagi menjadi 8% yang terakhir sebelum masuk era reformasi.
Celakanya,
anggaran pendidikan di awal-awal reformasi dipangkas habis-habisan sampai 3,8%
pada 2001. Memang negara berkembang yang sedang mengalami pancaroba menginginkan
pemberesan dan mencapai kemajuan serempak di berbagai bidang yang tidak mungkin
dilaksanakan. Pendidikan rupanya dikalahkan. Baru pada 2009, jumlah anggaran
sesuai dengan amanat UUD, yakni 20% yang berangsurangsur meningkat pula.
Dari
total anggaran belanja negara (APBN) 2011 sebesar Rp1,229 triliun, alokasi
anggaran pendidikan 2011 mencapai Rp248 triliun, yang ke daerah Rp158 triliun.
Untuk tahun berikutnya (2012), SBY mengusulkan ke DPR kenaikan anggaran
pendidikan menjadi Rp286,9 triliun dan naik lagi pada 2013 menjadi Rp331,8
triliun.
Sayangnya
anggaran ratusan triliun rupiah itu tidak dibarengi dengan kesiapan dalam
sistem penyelenggaraannya. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Hanief Saha
Ghafur, Februari tahun ini menyatakan, pemerintah pusat perlu menggalang
koordinasi lebih ketat dan lebih baik dengan pemda. Misalnya, ‘Indonesia
kelebihan guru sekitar 500 ribu, tapi ada ketimpangan antardaerah dan bidang
studi per wilayah karena tidak terdistribusi dengan baik.’ Tak pelak,
perubahan dan penertiban bidang pendidikan merupakan suatu keniscayaan.
Toeti
Prahas Adhitama ;
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 10 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi