Anies Baswedan Jawab Pro Kontra Kurikulum 2013

Kebijakan Mendikbud Anies Baswedan menjalankan secara terbatas Kurikulum 2013 (K-13) mengundang pro dan kontra. Mulai pengamat pendidikan, guru, kepala dinas pendidikan, sampai mantan menteri ikut berkomentar. Dalam wawancara khusus dengan Jawa Pos Sabtu (13/12), Mendikbud Anies bersikukuh dengan keputusannya. Apa pertimbangan pria yang di kantornya akrab dipanggil Mas Menteri itu?

Apa sebetulnya alasan paling kuat dari keputusan Anda mengerem pelaksanaan K-13?
Kunci penerapan kurikulum itu ada pada guru. Kurikulum sebagus apa pun, jika gurunya belum siap, itu tidak baik. Kami memilih menjalankan K-13 secara terbatas untuk menyiapkan guru-guru. Untuk sekarang guru lebih siap menjalankan Kurikulum 2006. Karena sudah diterapkan bertahun-tahun.

Padahal, guru-guru kan sudah mengikuti pelatihan (K-13)?
Pelatihan guru yang ideal bukan seperti itu. Pelatihan guru bukan sekadar penataran seperti sekarang. Kalau hanya model penataran, laporan guru peserta pelatihan banyak, tetapi belum tentu semuanya bisa. Pelatihan guru harus komprehensif. Kami sudah menyiapkan skema barunya.
Guru peserta pelatihan awalnya tetap mendapatkan materi dalam forum penataran. Setelah itu guru menjalani praktik atau kita magangkan mengajar ala K-13 di sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project (6.221 unit). Jika sudah oke, guru itu kemudian kembali ke sekolahnya untuk mengajar K-13.

Jika seperti itu, implementasi K-13 secara luas bisa lama terwujud.
Sekolah pilot project yang 6.221 unit itu setara dengan 3 persen jumlah sekolah di Indonesia. Melalui sistem pelatihan berjenjang dan berbasis sekolah, targetnya dalam satu semester bisa naik menjadi 10 persen sekolah yang gurunya sudah mengikuti pelatihan K-13 dan siap mengimplementasikan. Setelah ada 10 persen sekolah itu, pelatihan dengan model duplikasi tersebut bakal terus berkembang dan dengan sendirinya akan genap 100 persen.

Jadi, kapan K-13 akhirnya diterapkan di semua sekolah di Indonesia?
Rujukan atau landasan yuridis implementasi K-13 adalah Peraturan Pemerintah (PP) 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalam pasal 94 PP 32/2013 itu diatur, penyesuaian kurikulum baru paling lambat tujuh tahun.
Ini berarti pemerintah yang dulu (Kabinet Indonesia Bersatu II) tahu persis bahwa implementasi K-13 tidak bisa cepat-cepat: setahun uji coba, tahun berikutnya langsung pemberlakuan secara menyeluruh. Perlu waktu untuk melakukan pelatihan supaya guru benar-benar siap.
Tapi, jangan khawatir, pada waktunya sekolah yang menerapkan K-13 bakal terus bertambah. Dalam setiap penambahan itu, kami lakukan di awal tahun pelajaran baru. Tidak lagi seperti sekarang, yang diputuskan di tengah tahun pelajaran.

Di luar guru, distribusi buku juga menjadi masalah. Apakah memang demikian?
Implementasi kurikulum itu bukan terkait dengan bagi-bagi buku. Buku itu bisa dibaca begitu saja. Paling utama tetap pada kesiapan guru yang membimbing anak-anak memahami buku-buku sesuai kurikulum yang berlaku.

Saat ini banyak pemda yang ngotot menjalankan K-13 untuk seluruh sekolah di wilayahnya. Apakah boleh?
Jangan terkecoh. Sikap pemda yang meminta tetap menjalankan K-13 secara menyeluruh tidak mutlak diambil dengan pertimbangan kesiapan sekolah. Menurut saya, sikap pemda seperti ini terkait dengan kontrak pemesanan buku. Pemda khawatir buku-buku itu sudah sampai di sekolah, uang sudah dibayar, tetapi buku tidak dipakai.
Saya tegaskan, jangan korbankan guru dan anak-anak untuk urusan-urusan seperti ini. Apalagi dikorbankan untuk urusan kontrak-kontrak buku, jangan. Saya sudah mengeluarkan surat edaran bahwa kontrak buku tetap dijalankan seperti biasanya. Meskipun yang berjalan efektif adalah Kurikulum 2006, pemesanan buku K-13 tetap jalan seperti yang direncanakan. Kewajiban pemda membayar uang pemesanan ke percetakan juga harus diselesaikan.

Kemudian, banyak sekolah di luar yang 6.221 unit itu meminta tetap menjalankan K-13 dengan alasan sudah siap. Apakah boleh?
Ketentuan yang saya keluarkan adalah sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester tetap melanjutkannya. Sedangkan sekolah yang baru menjalankan K-13 selama satu semester stop dulu. Kembali ke Kurikulum 2006.
Lalu, jika ada sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester, tetapi tidak masuk dalam 6.221 unit sekolah, silakan mengusulkan ke Kemendikbud. Nanti kami cek apakah benar-benar layak untuk ikut menjadi sekolah pilot project.

Anies Baswedan: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
JAWA POS,  14 Desember 2014
Selengkapnya.. »»  

VIP-kan Guru-guru Kita!

Oleh: Anies Baswedan

Berapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.

Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.

Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.

Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !

Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.

Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.

Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.

Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.

Tiga persoalan besar

Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.

Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.

Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.

Menghormati guru

Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!

Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.

Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.

Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.

Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina
Kamis, 28 November 2013


Selengkapnya.. »»  

Urgensi Pendidikan Khusus bagi Anak Autis

Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Di mana dan dalam keadaan apa pun, pendidikan sudah selayaknya diperoleh oleh anak. Tapi, masalahnya, bagaimana jika anak yang harus dididik itu adalah anak yang berbeda? Seorang anak yang memiliki kelainan bila dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya?
Banyak anak yang memiliki keterbatasan, baik fisik maupun mental. Misal, anak yang kita hadapi adalah anak autis. Seorang anak yang notabene memiliki perbedaan dalam perkembangan pikiran dan perilakunya. 
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya beberapa dari daftar tanda-tanda berikut; sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, menuntut hal yang sama dan menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin, tertawa atau bergerak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali kontak mata, tidak peka terhadap sakit, dan beberapa gejala lain.
Mendidik dan mendampingi anak yang memiliki gejala kelainan seperti anak autis tentu tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal. Perlu perhatian khusus dan pendampingan yang intens untuk menghadapi mereka yang pada kenyataannya memang memiliki kebiasaan berbeda dengan anak-anak seusianya.
Maka, sebagai pendidik, sudah seharusnya para guru atau orangtua memikirkan bagaimana mendampingi dan mendidik mereka sehingga mendapatkan hak pendidikan yang sama. Anak autis bukan anak idiot yang harus dipandang sebelah mata. Jika dididik dengan cara yang baik, mereka bisa berprestasi karena setiap anak memiliki bakat khusus.
Apa yang dilakukan Haryanto Priyo Utomo, seorang ayah di Solo yang memiliki anak autis setidaknya bisa menjadi pedoman bagi para pendidik dan orangtua yang ingin melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang diketahui autis. Demi mendampingi Dimas, anaknya yang autis, Haryanto berani mengambil keputusan yang cukup mencengangkan, Ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ingin mendampingi anaknya secara khusus yang memang tidak memungkinkan untuk dididik orang lain.
Sejak mengetahui anaknya autis, Haryanto tidak merasa minder atau berusaha menutup-nutupi kekurangan yang dimiliki anaknya. Justru, Haryanto berusaha membuka diri dan menghadapi kekurangan dengan memperbaikinya. Melalui sebuah blog yang dikelolanya, Haryanto mencoba berbagi pengalaman agar orang lain juga mengetahui bahwa di luar sana juga ada anak yang menderita autisme seperti yang dialami Dimas.
Usahanya cukup berhasil. Berkat cerita dan pengalamannya yang ditulis di blog, banyak orang yang bersimpati dan menyarankan berbagai terapi demi kesembuhan anaknya. Berbagai informasi pun disaring, sehingga ia memutuskan untuk menjalani terapi untuk anaknya.
Mengetahui kenyataan Dimas autis, Haryanto justru ingin mengenal lebih jauh tentang kelainan mental yang diderita mayoritas oleh anak laki-laki itu. Menurut Haryanto, apabila autisme dapat dideteksi sejak dini, kemudian ditangani secara tepat dan intensif, anak autis dapat berkembang secara optimal.
Memang, hal utama yang didapat dari merawat anak autis adalah pelajaran kesabaran. Tanpa kesabaran, banyak energi akan terkuras karena marah, uring-uringan, atau tidak puas selama mendidik anak autis.
Tapi, semua memang butuh proses. Seperti yang telah disinggung di atas, mendidik anak autis tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal yang tidak memerlukan perhatian atau pendampingan khusus.

Metode Terapi Anak Autis
Jika kita berusaha mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari buku-buku atau informasi di internet, sebenarnya banyak metode terapi yang bisa dilakukan bagi anak autis. Tapi, semua metode yang ada harus dilakukan sesuai dengan keadaan atau kondisi anak. Jika metode yang diterapkan menampakkan hasil, metode tersebut bisa kita teruskan.
Stanley Greenspan dalam buku The Child with Special Needs, misalnya, memberikan metode pendidikan bagi anak autis dengan cara mengajak anak melakukan hiking atau gerak jalan. 
Teori lain adalah terapi floortime. Terapi tersebut secara harfiah berarti bermain di lantai. Terapi tersebut bertujuan untuk membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya. Selain itu, terapi itu juga bisa mendorong munculnya ide pada diri anak serta membantu anak untuk berpikir logis.
Penanganan anak autis butuh waktu dan proses yang panjang. Kuncinya adalah sabar dan telaten dalam menanganinya. Karena, tidak ada cara yang instan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Apalagi, anak yang kita didik adalah anak yang memang memiliki kebutuhan khusus.
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa, kita harus bisa menerima kenyataan bahwa anak/anak didik kita autis. Namun begitu, mereka tetap adalah “aset” yang juga perlu dididik dan dibina, agar mereka tidak minder dengan kekurangan dan keterbatasan yang mereka miliki.

Untung Wahyudi  ;   
Alumnus IAIN Sunan Ampel, Surabaya;
Kini menetap di Desa Ellak Daya, Lenteng, Sumenep
OKEZONENEWS, 29 Oktober 2013





Selengkapnya.. »»  

UN, Upaya Pengendalian Mutu Pendidikan

PERTANYAAN masyarakat terkait ujian nasional adalah kenapa terjadi pro-kontra, padahal acuannya sama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Atas perintah UU itu pula, pemerintah mengatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (juncto PP No 32/2013) tentang Standar Nasional Pendidikan.
Beberapa waktu lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Konvensi UN. Meski ada pihak yang walk out, diskusi UN ini berlangsung baik. Saya ingin menyampaikan mengapa UN harus jalan terus.
Ada empat pendapat dalam diskursus publik tentang UN. Pertama, UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan. Ketiga, UN untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi. Keempat, UN untuk peningkatan mutu.
Keempat pendapat tersebut memiliki korelasi dan interkorelasi kuat. Mengambil satu pendapat dan menafikan yang lain justru menunjukkan pemahaman yang belum utuh terhadap proses dan hasil evaluasi.

Pengendalian mutu
Dalam konsep pengendalian mutu, keempatnya juga saling terkait. Maka, pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58).
Apabila kita memimpin sistem skala nasional, tetapi operasional sistem tidak sepenuhnya dalam kendali kita, perlu minimal dua ”instrumen” agar sistem berjalan baik: standar yang berlaku nasional dan sistem evaluasi untuk pengendalian mutu.
Secara umum pengendalian mutu didahului dengan mengukur nilai produk dan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan (Grant, Montgomery). Dengan demikian, dalam pengendalian mutu harus ada kegiatan evaluasi: dari menilai, membandingkan, dan memutuskan hasil penilaian (Bloom).
Pengendalian mutu dilakukan dengan dua cara. Pertama, cara melekat (online) melalui pengendalian proses, dengan memantau hasil dari tiap langkah pembuatan produk. Pelaksananya adalah pendidik melalui ulangan, ujian, tugas, dan sebagainya.
Kedua, dengan cara terpisah (off line) melalui uji keterimaan (acceptance test) produk akhir. Uji ini dilakukan terhadap lulusan sebagai produk akhir proses pembelajaran, untuk memastikan lulusan sesuai standar kompetensi lulusan atau tidak.
Pengendalian mutu cara kedua dilakukan bukan oleh pelaksana (pendidik), melainkan oleh unit mandiri yang independen, yaitu dalam bentuk UN untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan. Ini satu-satunya standar untuk menyatakan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak.
Tentu bukan seperti Abduhzen (”Ujian Nasional Konvensional”, Kompas  3/10/2013) yang menyatakan bahwa evaluasi peserta didik oleh lembaga mandiri adalah terhadap standar input seperti umur peserta didik, apalagi kemudian dikaitkan dengan angka partisipasi kasar yang menyatakan kuantitas pendidikan bukan kualitas pendidikan.

Analisis penyebab
Tujuan pengendalian mutu adalah memastikan peningkatan mutu secara berkesinambungan (continuous quality improvement). Untuk itu, evaluasi pengendalian mutu perlu agar diketahui penyebab penyimpangan sekaligus langkah perbaikannya. Dalam hal inilah UN dipergunakan untuk pemetaan sekaligus pembinaan-perbaikan mutu.
Sekarang telah dikembangkan indeks kompetensi (IK) peserta didik dan satuan pendidikan untuk setiap mata pelajaran yang diujikan melalui UN. Agregasinya digunakan untuk menyusun IK kabupaten, kota, provinsi dan nasional. Melalui IK, akan diketahui kompetensi apa dari setiap mata pelajaran yang harus diperbaiki.
Berdasarkan analisis penyebab, ada kebijakan afirmasi terhadap 100 kabupaten/kota. Hasilnya, peningkatan rerata nilai UN murni jenjang SMA dari 6,16 (2010) menjadi 6,78 (2011). Pendekatan yang sama terhadap 154 SMA dengan rerata nilai UN murni 5,78 (2011) meningkat menjadi 6,15 (2012). Fakta ini sangat berbeda dengan tuduhan subyektif Doni Koesoema (”Konvensi (Setelah) Penghapusan UN”, Kompas, 27/9/2013) bahwa UN belum berhasil meningkatkan mutu peserta didik.
Terkait kegagalan Georgia dan Philadelphia yang dikatakan Doni Koesoema, tidak menyurutkan minat pemerintah federal dan negara bagian Amerika Serikat memiliki ujian nasional. Saat ini 24 negara bagian membentuk konsorsium pelaksanaan ujian nasional, sebanyak 20 negara bagian lain membentuk konsorsium serupa.
Mengapa tidak menggunakan pengendalian mutu statistika (statistical quality control) dengan uji keterimaan secara sampel (acceptance sampling)? Ada banyak alasan sehingga praktik terbaik di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik ini. TIMMs dan PISA menggunakan sampel karena keduanya bukan alat penjamin mutu, tetapi pengukur dan pembanding mutu.
UU Sisdiknas telah merumuskan pengendalian mutu dengan jelas. Operasionalnya merumuskan evaluasi hasil belajar sebagai bentuk pengendalian proses dilakukan oleh pendidik dan evaluasi peserta didik sebagai bentuk uji keterimaan melalui UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kajian akademis tentang pengendalian mutu membuktikan bahwa UN adalah amanat UU Sisdiknas dan ditafsirkan Jusuf Kalla secara benar dari perspektif akademik, bukan sebagai politisi dan pedagang seperti ditulis Acep Iwan Saidi (”Ujian Nasional yang Permisif”, Kompas, 3 /10/2013).
Masalahnya sekarang adalah bagaimana tataran praktis bisa melaksanakan hal ini dengan baik.

Mohammad NUH  ;   
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
KOMPAS, 23 Oktober 2013




Selengkapnya.. »»  

Kanibalisasi Evaluasi Pendidikan

MENTERI  Pendidikan dan Kebudayaan akan mempergunakan hasil ujian nasional untuk menentukan indeks kompetensi sekolah. Inilah sesat pikir berkelanjutan tentang UN: kanibalisasi evaluasi pendidikan.
Selama persoalan fundamental tentang tujuan UN tak dibahas dan terus-menerus meyakini kesahihan kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi pendidikan yang secara kajian psikometrik tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta pelaksanaannya yang amburadul, hasil UN tak kredibel untuk mengukur yang ingin diukur. Apalagi untuk mengukur indeks kompetensi sekolah!
Yang terjadi dalam kebijakan UN selama ini adalah kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi pendidikan untuk empat tujuan sekaligus, yang secara konstruk tes berbeda satu sama lain. Di Indonesia, hasil UN dipakai untuk syarat kelulusan, pemetaan, pembinaan (supervisi dan pengembangan), dan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Kanibalisasi seperti ini menunjukkan adanya kesesatan berpikir, serta tidak dipahaminya dasar-dasar evaluasi pendidikan yang baik. Oleh Mendikbud, UN bahkan diklaim lebih canggih dari sekadar rontgen. ”Hasil UN itu sudah seperti MRI,” ujar Mohammad Nuh dalam salah satu talk show tentang manfaat UN.
Kanibalisasi penggunaan hasil UN secara psikometrik tak dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tes memiliki konstruk berbeda sesuai dengan tujuan tes itu. Lebih lagi, jenis tes tertentu, seperti tes yang memiliki konsekuensi tinggi yang sifatnya terstandardisasi, seperti UN, karena bersifat menentukan, memiliki dampak negatif secara psikologis, pedagogis, ataupun kultural. Apabila tak diatasi, akan mendistorsi hasil tes. Hasil tes yang terdistorsi, tidak akan valid, apalagi sahih untuk dipergunakan sebagai alat ukur. Distorsi ini terjadi dalam hasil UN.

Evaluasi formatif
Tentu akan lebih hemat apabila dengan satu tes semua hal bisa dipotret! Namun, dalam ilmu psikometrik, tidak ada tes yang memiliki sifat demikian. Jenis ujian standar yang diwajibkan, yang hasilnya sangat menentukan masa depan individu (bahkan menentukan kualitas sekolah dan kebijakan pendidikan sebuah daerah), seperti UN, melahirkan banyak dampak merusak dunia pendidikan.
Anak dikorbankan atau dipaksa berkorban demi pemeringkatan kualitas guru, sekolah, kepala sekolah, serta pejabat pemerintahan hanya untuk menunjukkan bahwa mereka telah bekerja dengan baik. Bahwa pendidikan di sekolah, di daerah, dan di negaranya semuanya baik-baik. Kelakar mengatakan, UN membuat semua bergembira, kecuali siswa!
Selama ini yang dianaktirikan dalam evaluasi pendidikan kita adalah evaluasi yang sifatnya formatif. Padahal, evaluasi jenis inilah yang akan dikembangkan dalam Kurikulum 2013.
Evaluasi formatif menganggap penilaian pendidikan itu bagian dari pembelajaran itu sendiri sehingga hasil evaluasi itu dapat dipakai untuk menentukan kemajuan, kekuatan, dan kelemahan pengalaman belajar siswa. Evaluasi seperti ini hanya dapat dilakukan guru kelas. Itu karena guru yang berinteraksi secara langsung dengan siswa sehingga dialah yang mengetahui bagaimana membantu siswa maju dalam proses belajar.
Evaluasi formatif membandingkan kemajuan siswa dengan tingkat kompetensi sebelumnya. Tidak memperbandingkan kemajuan antar-peserta didik.
UN sebaliknya: bersifat sumatif. Ia ingin menilai sejauh mana kualitas pembelajaran peserta didik setelah mengalami proses belajar dalam kurun tertentu. Yang diutamakan dalam tes sumatif adalah sejauh mana peserta didik menguasai materi, lantas diperbandingkan dengan peserta lain. Karena itu, muncullah berbagai macam pemeringkatan, seperti pemeringkatan antarsiswa, antarsekolah, antarkabupaten dan antarprovinsi.
Tes sumatif, meskipun dapat dipakai untuk pemeringkatan, tidak memberikan informasi apa-apa tentang yang terjadi di kelas, bagaimana kualitas guru mengajar, serta ketersediaan dan akses siswa terhadap materi pembelajaran dan kualitas pendidikan. Karena itu, seandainya saja seorang siswa dapat mengerjakan soal Matematika dalam UN dan memperoleh nilai 10, kita tidak dapat otomatis mengatakan bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut kompeten, sarana dan prasarana lengkap, serta kualitas pendidikan baik.

Bahaya distorsi
Kerancuan pengertian antara tes formatif dan sumatif serta membabi buta menerapkannya secara bersamaan sebagai paket tujuan evaluasi pendidikan berbeda akan melahirkan manipulasi dan pretensi tanpa dasar kenyataan. Bahaya dari distorsi pemikiran seperti ini adalah seolah-olah angka-angka statistik hasil UN adalah realitas nyata dunia pendidikan kita.
Selama 10 tahun pelaksanaan UN, kita tahu rata-rata kelulusan siswa kita hampir 98 persen. Tak ada bedanya di Papua ataupun di Jakarta. Jadi, dengan hasil UN ini, bukankah pendidikan kita baik-baik saja? Toh di Papua dan di Jakarta hasilnya tak jauh beda? Inilah pembodohan publik yang terjadi melalui kebijakan UN.
Ketika UN jadi parameter untuk mengukur keberhasilan pendidikan, kita sebenarnya sedang melanggengkan sebuah kebijakan pendidikan yang penuh kepura-puraan dan kemunafikan.
Mempergunakan hasil UN untuk melihat indeks kompetensi sekolah merupakan kesesatan berpikir karena tes sumatif tidak mampu memberikan informasi tentang proses belajar-mengajar di sebuah unit pendidikan. Hasil nilai UN hanya dapat menunjukkan jumlah soal yang dijawab benar oleh seorang siswa dalam tes itu pada saat itu, tanpa kita tahu dari mana mereka memperoleh jawaban benar tersebut! 

Doni Koesoema A  ;  
Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 22 Oktober 2013




Selengkapnya.. »»  

Kembalikan Makna Pendidikan

Kembalikan Makna Pendidikan

Saat ini Indonesia sedang dirundung duka. Berita penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi dan beberapa politisi baru-baru ini pertanda hukum di negeri ini sedang porak-poranda. Kabar pelajar menyiramkan air raksa juga sungguh sangat menyedihkan. Belum lagi informasi seorang ayah menjual anaknya, serta banyak lagi berita lainnya yang sangat menyesakkan dada. Pendek kata, kini negara kita dalam keadaan "sakit".

Memang persoalan ini sangat kompleks dan saling kait-mengkait. Dari perspektif pendidikan, tidak ada yang menyangkal bahwa pendidikan adalah landasan yang sangat vital untuk proses kehidupan manusia selanjutnya. Untuk itu, pemaknaan pendidikan harus didudukkan secara benar. Pendidikan jangan sampai direduksi hanya sekadar peningkatan kepintaran dan keterampilan seseorang. Manusia mempunyai jiwa yang hidup dan tidak sekadar robotik.

Manusia dapat membuat robot dan mesin-mesin pintar, cepat, dan akurat, karena manusia mempunyai jiwa (soul) yang dapat membangkitkan imajinasi, inovasi, dan kreativitas. Robot atau mesin pintar sebagaimana pun canggihnya, sama sekali tidak mempunyai komponen soul itu, sehingga tidak mungkin robot dapat menciptakan apa pun. Robot hanya mempunyai wilayah keterampilan, sedangkan manusia mampu menciptakan keterampilan. Dhus, reduksi pendidikan menjadi pelatihan akan merusak komponen jiwa dan aspek kreativitas yang sangat vital untuk memecahkan berbagai masalah melalui penemuan-penemuan sains dan teknologi.

Manusia bisa membuat berbagai alat canggih, seperti smartphone, tablet, mobil, pesawat, jaringan internet, bioteknologi, dan teknologi menakjubkan lainnya, karena manusia mempunyai soul. Di dalam jiwa inilah ada unsur-unsur kemanusiaan yang tidak dimiliki produk buatan manusia. Jiwa itulah yang menggerakkan manusia hingga dapat berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi yang akhirnya mampu menghasilkan konsep dan produk.

Tanpa kekuatan jiwa kemanusiaan yang hakiki, jangan harap seorang manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan alam sekitarnya. Manusia yang sudah kehilangan esensi kemanusiaannya hanya mampu berpikir materialistis, short term, brutal, dan sadistis. Dhus, jangan heran bila manusia seperti ini senang memanfaatkan jabatan, duniawi, memburu harta, dan tahta melalui jalur-jalur yang tidak sehat. Kedudukan dan kepintaran sering dipergunakan untuk mengelabui perilaku bejat yang dilakukannya. Maka, muncullah fenomena suap, korupsi, dan perilaku sadis yang dilakukan oleh orang-orang "cerdik pandai" yang tak bermoral.

Oleh sebab itu, semua komponen bangsa perlu merenungkan kembali makna mendasar pendidikan. Kita sering ribut mempersoalkan Ujian Nasional (UN) dan angka partisipasi pendidikan, tetapi kita jarang menukik ke pembenahan pendidikan secara hakiki dan mendasar. Makna pendidikan pun telah direduksi menjadi pelatihan yang terlalu berorientasi pada kepintaran dan keterampilan saja.

Di lain pihak, aspek moral diajarkan dalam bentuk hafalan, bukan pemaknaan moral yang didukung oleh kondisi wilayah pendidikan yang bermoral. Pola pendidikan yang sangat superfisial ini tidak akan mampu menghasilkan manusia-manusia kreatif dan beradab. Negara ini akan semakin tergantung kepada negara lain, termasuk masalah pangan dan energi. Padahal, kedua sektor itu sumbernya berlimpah, maka jadilah fenomena paradoks yang berkepanjangan.

Akhirnya, bila kita tidak mengembalikan makna pendidikan secara benar, janganlah kita berharap Indonesia menjadi bangsa dan negara yang dihormati bangsa lain.

Asep Saefuddin ;  
Rektor Universitas Trilogi, Guru Besar Statistika Terapan IPB
SUARA KARYA, 17 Oktober 2013




Selengkapnya.. »»  

Mitos Pengelolaan Biaya Pendidikan

AKAN sangat menarik sekiranya kita dapat bertanya kepada para kepala sekolah kita mengenai apa pandangan mereka mengenai uang dalam pembiayaan pendidikan? Apakah uang adalah berkah, hadiah, atau musibah? Ke manakah uang yang ada di sekolah sebaiknya dialokasikan? Berapa uang yang tersedia dan bagaimana uang dikelola sepertinya masih menjadi misteri di banyak sekolah di negeri ini. 

Peningkatan anggaran pendidikan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum berkorelasi dengan peningkatan kualitas, hal yang juga menjadi fenomena di banyak negara lainnya. Berlawanan dengan kepercayaan bahwa lebih banyak uang dikucurkan ke sekolah akan meningkatkan kualitas pendidikan, Grubb (2011) menyatakan yang banyak terjadi justru ialah ketidaktepatan pengeluaran (misspent).

Ketidaktepatan pengeluaran, atau bisa juga disebutkan sebagai pemubaziran, keuangan di sekolah dapat terjadi dengan beberapa cara, salah satunya ialah pengeluaran untuk membayar gaji bagi guru-guru yang tidak memiliki kemampuan mengajar. Pembelian buku-buku teks yang tidak relevan dengan pembelajaran juga menjadi salah satu bentuk ketidaktepatan pengeluaran yang banyak dilakukan sekolah. 
Menambah peralatan teknologi informasi yang canggih, tetapi tidak disertai dengan pelatihan penggunaan peralatan tersebut sehingga hanya akan menjadi barang pajangan di kantor kepala sekolah ialah contoh lainnya. Masih banyak contoh ketidaktepatan pengeluaran lainnya. Dalam keadaan ini, menambah dana atau uang yang dikucurkan ke sekolah tidak akan membuat perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Pengelolaan berbasis visi sekolah

Grubb (2011) membedakan antara uang (funding) dan sumber daya (resources). Dua hal yang sering digunakan bergantian, padahal memiliki arti yang berbeda. Uang hanyalah sebagian kecil dari sumber daya sekolah. Dengan memperluas perspektif dalam melihat pengelolaan keuangan menjadi mengelola sumber daya, akan muncul penekanan kepada efektivitas dan efisiensi.

Menurut Miles dan Frank (2008), kepala sekolah perlu mengganti cara pandang mereka dari uang menjadi sumber daya dengan penekanan pertama kepada orang (people), waktu (time) dan uang (money) sehingga uang tidak lagi menjadi apa yang dapat dibeli atau disediakan, tetapi lebih kepada bagaimana ia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pendidikan sebagai bagian dari sumber daya sekolah yang sudah ada ataupun untuk menunjang sumber daya yang sudah ada di sekolah.

Cara pandang yang lazim kita temui dalam pengelolaan keuangan sekolah biasanya berkutat pada apa yang diperlukan oleh sekolah (guru, fasilitas, peralatan, buku) dan berapa uang yang diperlukan untuk menyediakannya. Perspektif itu membatasi pengelolaan keuangan menjadi sesuatu yang jangka pendek dan penekanan pada barang dan jasa yang dapat dibeli sehingga gagal mempertimbangkan sumber daya abstrak seperti sumber daya sosial dan budaya yang justru menentukan kepada bagaimana sekolah akan beroperasional dan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan di sekolah itu sendiri.

Selain dari perspektif yang tepat, dasar utama dari pengelolaan sumber daya di sekolah seharusnya ialah visi dan misi sekolah itu sendiri. Hal itulah yang akan menentukan bagaimana alokasi sumber daya akan dilakukan agar sekolah dapat mencapai tujuan dari keberadaannya sebagai institusi pendidikan berdasarkan skala prioritas.

Menurut Miles dan Frank (2008), menyelaraskan sumber daya dengan prioritas melibatkan tiga fungsi utama sebagai berikut: mendefinisikan dengan jelas apa yang sekolah ingin capai, mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan mengelola sumber daya untuk menunjang model pembelajaran tersebut. Dalam hal ini, kegiatan merumuskan sebuah visi sekolah yang dapat dioperasionalkan ke dalam model pembelajaran harus dilakukan bersama-sama oleh warga sekolah itu sendiri untuk memastikan agar pemahaman yang sama akan visi dimiliki semua elemen sekolah. Dari pemahaman yang selaras, akan muncul kebutuhan akan sumber daya untuk mendukung terwujudnya pembelajaran yang diinginkan bersama, baik sumber daya yang kasatmata (guru, barang, jasa) dan yang abstrak (budaya sekolah, kepercayaan, relasi sosial).

Perspektif mengelola sumberdaya menekankan kepada pengelolaan yang jangka panjang dan menyeluruh, tetapi perspektif itu juga memasukkan orangtua dan masyarakat sebagai bagian integral dari sumber daya sekolah. Orangtua dalam hal ini, selain stakeholder sekolah, juga merupakan sumber daya yang belum dikelola secara maksimal. Keterlibatan orangtua masih sering diposisikan sebagai sumber keuangan lainnya, yaitu sebagai pemberi sumbangan. Lagi-lagi hal ini menyempitkan peran yang dapat diambil orangtua sebagai bagian dari sumber daya sekolah.

Pelibatan orangtua sebagai sumber daya dalam proses di sekolah seyogianya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contohnya dengan meminta orangtua menjadi guru tamu, pengelola kegiatan tertentu, hingga pengelola keuangan sekolah dengan keterlibatan orangtua sebagai bagian dari komite sekolah. Orangtua dapat dilibatkan dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program di sekolah. Sayangnya, dari data yang dilansir Ombudsman RI dalam pelaksanaan dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2013, didapati bahwa komite sekolah justru tidak membela kepentingan anak didik, tetapi membela kepentingan sekolah dengan menetapkan sumbangan dan iuran siswa baru yang merugikan dan menyulitkan orangtua. Lagi-lagi, hal itu membuktikan pengelola sekolah masih cenderung melihat orangtua sebagai sumber keuangan sekolah, bukan menjadi mitra dan sumber daya dari sekolah.

Akuntabilitas

Salah satu hal terpenting dalam penge lolaan sumber daya, termasuk uang tentunya, ialah akuntabilitas, tetapi akuntabilitas sekolah masih merupakan hal yang jarang dituntut masyarakat. Jalur akuntabilitas pada sekolah pemerintah yang terlalu panjang juga menyebabkan tuntutan akan pengelolaan sekolah yang lebih baik menjadi hilang. Menurut James Tooley (2005), yang meneliti fenomena munculnya sekolah swasta murah di India, China, dan Afrika, jalur akuntabilitas pada sekolah swasta yang sederhana tetapi efektif menyebabkan orangtua lebih memilih sekolah swasta daripada sekolah negeri.

Dari responden orangtua dalam penelitian Tooley, mereka yang membayar sejumlah uang kepada sekolah swasta dapat mengajukan tuntutan dan keluhan mengenai proses pembelajaran kepada kepala sekolah yang akan menindaklanjuti hal itu dengan guru-gurunya. Hal itulah yang menyebabkan proses akuntabilitas di sekolah-sekolah tersebut lebih efektif dan menjamin sumber daya yang ada di sekolah akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan pencapaian siswa.

Konsep akuntabilitas dalam pendidikan sendiri memang konsep yang luas, tetapi yang lazim ditemui ialah akuntabilitas yang melibatkan mekanisme berbasis data administratif yang bertujuan meningkatkan pencapaian siswa (Figlio & Loeb, 2011). Secara kasatmata, akuntabilitas lebih sering dilihat melalui hasil ujian nasional yang proses pelaksanaan dan hasilnya masih dipertanyakan banyak pihak. Hal itu tentunya tidak banyak membantu untuk melihat efektivitas alokasi sumber daya di sekolah yang sudah berlangsung saat ini.

Dalam perspektif yang berbeda, akuntabilitas sekolah juga dapat dilihat melalui akreditasi yang dilakukan lembaga independen mengenai kualitas pengelolaan pendidikan di sekolah. Jika akreditasi dapat menjadi salah satu tolok ukur dari akuntabilitas sekolah yang diakses khalayak, termasuk orangtua, serta menjadi salah satu basis kebijakan pendidikan di daerah, bisa dimungkinkan peningkatan akreditasi dapat berimplikasi secara nyata kepada efektivitas pengelolaan sumber daya di sekolah. Terlebih jika akreditasi dilakukan dengan menyeluruh dan hasilnya memberikan gambaran utuh akan pengelolaan sekolah.

Jika merujuk kepada perspektif pengelolaan sumber daya sekolah, masyarakat khususnya orangtua merupakan bagian dari sumber daya sekolah yang seharusnya dapat dilibatkan sebagai bagian dari sistem akuntabilitas pengelolaan sekolah, termasuk pengelolaan keuangan. Saat ini orangtua dan masyarakat terlibat dalam pengelolaan keuangan melalui komite sekolah, tetapi prosedur pengangkatan serta kurangnya sosialisasi terkait dengan fungsi dan kewenangan komite sekolah menyebabkan lembaga itu tidak mewakili kepentingan masyarakat dan orangtua.

Perlu dilakukan perubahan terkait dengan prosedur pengangkatan komite sekolah, jalur kewenangan dan komunikasi yang jelas, serta peran mereka dalam sistem akuntabilitas sekolah. Jika memungkinkan, pemberlakuan single account untuk setiap sekolah yang dapat diawasi orangtua dan masyarakat perlu dilakukan untuk meminimalkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Dengan besarnya anggaran yang dialokasikan ke sekolah dalam bentuk dana BOS bagi tingkat SD, SMP, dan SMA, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan dana di sekolah dengan uang menjadi salah satu dari sumber daya sekolah. Uang tidak dipandang sebagai akhir dari tujuan, tetapi merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan itu sendiri, yaitu pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu sejatinya dimulai dari pengelolaan sumber daya sekolah, termasuk uang, secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. 

Satia P Zen  ;  
Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013



Selengkapnya.. »»