Mitos Pengelolaan Biaya Pendidikan

AKAN sangat menarik sekiranya kita dapat bertanya kepada para kepala sekolah kita mengenai apa pandangan mereka mengenai uang dalam pembiayaan pendidikan? Apakah uang adalah berkah, hadiah, atau musibah? Ke manakah uang yang ada di sekolah sebaiknya dialokasikan? Berapa uang yang tersedia dan bagaimana uang dikelola sepertinya masih menjadi misteri di banyak sekolah di negeri ini. 

Peningkatan anggaran pendidikan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum berkorelasi dengan peningkatan kualitas, hal yang juga menjadi fenomena di banyak negara lainnya. Berlawanan dengan kepercayaan bahwa lebih banyak uang dikucurkan ke sekolah akan meningkatkan kualitas pendidikan, Grubb (2011) menyatakan yang banyak terjadi justru ialah ketidaktepatan pengeluaran (misspent).

Ketidaktepatan pengeluaran, atau bisa juga disebutkan sebagai pemubaziran, keuangan di sekolah dapat terjadi dengan beberapa cara, salah satunya ialah pengeluaran untuk membayar gaji bagi guru-guru yang tidak memiliki kemampuan mengajar. Pembelian buku-buku teks yang tidak relevan dengan pembelajaran juga menjadi salah satu bentuk ketidaktepatan pengeluaran yang banyak dilakukan sekolah. 
Menambah peralatan teknologi informasi yang canggih, tetapi tidak disertai dengan pelatihan penggunaan peralatan tersebut sehingga hanya akan menjadi barang pajangan di kantor kepala sekolah ialah contoh lainnya. Masih banyak contoh ketidaktepatan pengeluaran lainnya. Dalam keadaan ini, menambah dana atau uang yang dikucurkan ke sekolah tidak akan membuat perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Pengelolaan berbasis visi sekolah

Grubb (2011) membedakan antara uang (funding) dan sumber daya (resources). Dua hal yang sering digunakan bergantian, padahal memiliki arti yang berbeda. Uang hanyalah sebagian kecil dari sumber daya sekolah. Dengan memperluas perspektif dalam melihat pengelolaan keuangan menjadi mengelola sumber daya, akan muncul penekanan kepada efektivitas dan efisiensi.

Menurut Miles dan Frank (2008), kepala sekolah perlu mengganti cara pandang mereka dari uang menjadi sumber daya dengan penekanan pertama kepada orang (people), waktu (time) dan uang (money) sehingga uang tidak lagi menjadi apa yang dapat dibeli atau disediakan, tetapi lebih kepada bagaimana ia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pendidikan sebagai bagian dari sumber daya sekolah yang sudah ada ataupun untuk menunjang sumber daya yang sudah ada di sekolah.

Cara pandang yang lazim kita temui dalam pengelolaan keuangan sekolah biasanya berkutat pada apa yang diperlukan oleh sekolah (guru, fasilitas, peralatan, buku) dan berapa uang yang diperlukan untuk menyediakannya. Perspektif itu membatasi pengelolaan keuangan menjadi sesuatu yang jangka pendek dan penekanan pada barang dan jasa yang dapat dibeli sehingga gagal mempertimbangkan sumber daya abstrak seperti sumber daya sosial dan budaya yang justru menentukan kepada bagaimana sekolah akan beroperasional dan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan di sekolah itu sendiri.

Selain dari perspektif yang tepat, dasar utama dari pengelolaan sumber daya di sekolah seharusnya ialah visi dan misi sekolah itu sendiri. Hal itulah yang akan menentukan bagaimana alokasi sumber daya akan dilakukan agar sekolah dapat mencapai tujuan dari keberadaannya sebagai institusi pendidikan berdasarkan skala prioritas.

Menurut Miles dan Frank (2008), menyelaraskan sumber daya dengan prioritas melibatkan tiga fungsi utama sebagai berikut: mendefinisikan dengan jelas apa yang sekolah ingin capai, mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan mengelola sumber daya untuk menunjang model pembelajaran tersebut. Dalam hal ini, kegiatan merumuskan sebuah visi sekolah yang dapat dioperasionalkan ke dalam model pembelajaran harus dilakukan bersama-sama oleh warga sekolah itu sendiri untuk memastikan agar pemahaman yang sama akan visi dimiliki semua elemen sekolah. Dari pemahaman yang selaras, akan muncul kebutuhan akan sumber daya untuk mendukung terwujudnya pembelajaran yang diinginkan bersama, baik sumber daya yang kasatmata (guru, barang, jasa) dan yang abstrak (budaya sekolah, kepercayaan, relasi sosial).

Perspektif mengelola sumberdaya menekankan kepada pengelolaan yang jangka panjang dan menyeluruh, tetapi perspektif itu juga memasukkan orangtua dan masyarakat sebagai bagian integral dari sumber daya sekolah. Orangtua dalam hal ini, selain stakeholder sekolah, juga merupakan sumber daya yang belum dikelola secara maksimal. Keterlibatan orangtua masih sering diposisikan sebagai sumber keuangan lainnya, yaitu sebagai pemberi sumbangan. Lagi-lagi hal ini menyempitkan peran yang dapat diambil orangtua sebagai bagian dari sumber daya sekolah.

Pelibatan orangtua sebagai sumber daya dalam proses di sekolah seyogianya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contohnya dengan meminta orangtua menjadi guru tamu, pengelola kegiatan tertentu, hingga pengelola keuangan sekolah dengan keterlibatan orangtua sebagai bagian dari komite sekolah. Orangtua dapat dilibatkan dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program di sekolah. Sayangnya, dari data yang dilansir Ombudsman RI dalam pelaksanaan dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2013, didapati bahwa komite sekolah justru tidak membela kepentingan anak didik, tetapi membela kepentingan sekolah dengan menetapkan sumbangan dan iuran siswa baru yang merugikan dan menyulitkan orangtua. Lagi-lagi, hal itu membuktikan pengelola sekolah masih cenderung melihat orangtua sebagai sumber keuangan sekolah, bukan menjadi mitra dan sumber daya dari sekolah.

Akuntabilitas

Salah satu hal terpenting dalam penge lolaan sumber daya, termasuk uang tentunya, ialah akuntabilitas, tetapi akuntabilitas sekolah masih merupakan hal yang jarang dituntut masyarakat. Jalur akuntabilitas pada sekolah pemerintah yang terlalu panjang juga menyebabkan tuntutan akan pengelolaan sekolah yang lebih baik menjadi hilang. Menurut James Tooley (2005), yang meneliti fenomena munculnya sekolah swasta murah di India, China, dan Afrika, jalur akuntabilitas pada sekolah swasta yang sederhana tetapi efektif menyebabkan orangtua lebih memilih sekolah swasta daripada sekolah negeri.

Dari responden orangtua dalam penelitian Tooley, mereka yang membayar sejumlah uang kepada sekolah swasta dapat mengajukan tuntutan dan keluhan mengenai proses pembelajaran kepada kepala sekolah yang akan menindaklanjuti hal itu dengan guru-gurunya. Hal itulah yang menyebabkan proses akuntabilitas di sekolah-sekolah tersebut lebih efektif dan menjamin sumber daya yang ada di sekolah akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan pencapaian siswa.

Konsep akuntabilitas dalam pendidikan sendiri memang konsep yang luas, tetapi yang lazim ditemui ialah akuntabilitas yang melibatkan mekanisme berbasis data administratif yang bertujuan meningkatkan pencapaian siswa (Figlio & Loeb, 2011). Secara kasatmata, akuntabilitas lebih sering dilihat melalui hasil ujian nasional yang proses pelaksanaan dan hasilnya masih dipertanyakan banyak pihak. Hal itu tentunya tidak banyak membantu untuk melihat efektivitas alokasi sumber daya di sekolah yang sudah berlangsung saat ini.

Dalam perspektif yang berbeda, akuntabilitas sekolah juga dapat dilihat melalui akreditasi yang dilakukan lembaga independen mengenai kualitas pengelolaan pendidikan di sekolah. Jika akreditasi dapat menjadi salah satu tolok ukur dari akuntabilitas sekolah yang diakses khalayak, termasuk orangtua, serta menjadi salah satu basis kebijakan pendidikan di daerah, bisa dimungkinkan peningkatan akreditasi dapat berimplikasi secara nyata kepada efektivitas pengelolaan sumber daya di sekolah. Terlebih jika akreditasi dilakukan dengan menyeluruh dan hasilnya memberikan gambaran utuh akan pengelolaan sekolah.

Jika merujuk kepada perspektif pengelolaan sumber daya sekolah, masyarakat khususnya orangtua merupakan bagian dari sumber daya sekolah yang seharusnya dapat dilibatkan sebagai bagian dari sistem akuntabilitas pengelolaan sekolah, termasuk pengelolaan keuangan. Saat ini orangtua dan masyarakat terlibat dalam pengelolaan keuangan melalui komite sekolah, tetapi prosedur pengangkatan serta kurangnya sosialisasi terkait dengan fungsi dan kewenangan komite sekolah menyebabkan lembaga itu tidak mewakili kepentingan masyarakat dan orangtua.

Perlu dilakukan perubahan terkait dengan prosedur pengangkatan komite sekolah, jalur kewenangan dan komunikasi yang jelas, serta peran mereka dalam sistem akuntabilitas sekolah. Jika memungkinkan, pemberlakuan single account untuk setiap sekolah yang dapat diawasi orangtua dan masyarakat perlu dilakukan untuk meminimalkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Dengan besarnya anggaran yang dialokasikan ke sekolah dalam bentuk dana BOS bagi tingkat SD, SMP, dan SMA, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan dana di sekolah dengan uang menjadi salah satu dari sumber daya sekolah. Uang tidak dipandang sebagai akhir dari tujuan, tetapi merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan itu sendiri, yaitu pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran dan tanggung jawab. Hal itu sejatinya dimulai dari pengelolaan sumber daya sekolah, termasuk uang, secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. 

Satia P Zen  ;  
Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi