MENARIK jika kita mengingat dan bertanya, lebih banyak guru
jenis mana ketika bersekolah dulu? Guru berjenis myopic yang
berorientasi text-book dan kurikulum atau guru yang memiliki
kemampuan membagi inspirasi? Jawabannya saya yakin lebih dari 90% guru kita
berjenis myopickarena mereka hanya mampu melihat hal-hal yang
bersifat kekinian, tetapi tak memiliki kemampuan dalam melihat jauh ke depan.
Seperti politisi, guru kita kebanyakan orang-orang yang kurang memiliki
inisiatif yang inspiratif.
Namun tidak demikian dengan Pak Sarmili, guru olahraga saya
ketika SD dulu. Perawakannya yang tinggi besar, berbadan tegap, dan sorot mata
yang lembut merupakan ciri khasnya. Saya merindukan banyak sekali guru seperti
Pak Sarmili yang sangat inspiratif dalam mengajar. Salah satu peristiwa yang
hingga saat ini tetap menginspirasi saya dalam mengajar ialah melihat secara
benar bakat dan kelemahan siswa.
Di era 70-an, jauh sebelum Howard Gardner memperkenalkan
teori multitalenta anak, Pak Sarmili telah mendahuluinya. Meski mengajar
olahraga, tak serta-merta beliau memaknai olahraga hanya sebagai berlari
mengelilingi lapangan, bermain bola, bermain kasti, dan sebagainya. Beberapa
anak yang kurang berbakat dalam berolahraga, baik karena masalah kesehatan
maupun minat, selalu diperlakukan dan dinilai sama.
Saya, misalnya. Karena seringnya sakit, saya dibebaskan dari
tugas mengikuti senam, berlari mengelilingi lapangan, atau bermain bola. Namun
di luar jam mengajar, Pak Sarmili sering menyuruh saya membeli rokok akor
kesukaannya di warung luar sekolah yang jaraknya sekitar 0,5 kilometer atau
menyiram bunga matahari di halaman sekolah dengan teko.
Siswa lain yang kurang berminat dengan olahraga tetap diberi
perhatian yang sama. Sebab, Pak Sarmili selalu memberi tugas khusus kepada para
siswanya dengan prinsip yang penting si anak bergerak secara fisik. Apakah itu
bermain kelereng, layang-layang, menggambar, semuanya punya nilai olahraga.
Dengan alasan itulah Pak Sarmili menilai anak didiknya. Kebaikan hati dan murah
senyumnya membuat Pak Sarmili dirindukan dan dicintai setiap siswanya, selain
memang ia tak pernah marah.
Bagi Pak Sarmili, kurikulum tak harus kaku dimaknai, tetapi
bagaimana bisa memberi manfaat bagi masa depan anak didiknya kelak.
Kompetisi semu
Kebanyakan guru saat ini mewakili tipologi guru kurikulum.
Namun, mereka juga kurang memberi inspirasi karena tak memiliki keberanian
mengajak anak didiknya berpikir kreatif (maximum thinking) serta melihat
sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu
membawa kembali ke luar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan
manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani
menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Guru-guru kita saat ini terperangkap oleh kompetensi semu
dan senangnya membangun batas-batas kekuasaan teritorial antara diri mereka dan
anak didik mereka. Perilaku internal jenis itu merupakan belenggu yang disebut
sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk
memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki, tetapi tak bisa melihat jauh ke
depan tentang harapan anak didik mereka secara manusiawi.
Dalam dunia yang sangat hedonistis dan serbakebendaan ini,
faktor keikhlasan terasa tak bermakna dan benar-benar kehilangan makna. Hampir
lebih dari dua dasawarsa para guru di Indonesia terlihat seperti tak menjumpai
kata `ikhlas' dalam kamus hati mereka. Siapa mengajar siapa dan siapa belajar
dari siapa menjadi tak jelas karena guru mengajar untuk bekerja dan pemenuhan
kurikulum, bukan untuk masa depan anak-anak. Karena itu, sudah saatnya para
guru Indonesia memiliki kepekaan yang kuat dan memberi penekanan yang
terus-menerus terhadap proses pembelajaran yang sangat kontekstual (contextual
learning).
Fungsi pelayanan
Teori pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil
penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan
baik bila apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui, dan
dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Guru yang
inspiratif jelas harus memiliki akar dan pemahaman yang hebat tentang gambaran
proses belajar-mengajar secara autentik (authentic instruction),
berbasis inkuiri (inquiry-based learning), menyelisik suatu masalah
dengan mencoba memberi solusi (problem-based learning), mengajarkan
fungsi-fungsi pelayanan dalam masyarakat (service learning), serta
memperkenalkan siswa dengan strategi pembelajaran berbasis usaha/kerja keras (work-based
learning).
Dalam teori belajar berbasis pendekatan keragaman
kecerdasan, proses pendidikan yang benar harus mampu melihat bakat dan
kecerdasan siswa dari aspek yang tidak tunggal serta menimbang kombinasi antara
proses penilaian (assessing process) dan proses pembelajaran (learning
process). Dengan kombinasi antara proses assessment dan pembelajaran yang
benar, sesungguhnya sekolah dan para guru sedang mencoba untuk tidak memisahkan
apa yang sebenarnya terjadi pada diri siswa di luar ruang kelas.
Ujian atau tes juga tidak bisa dipisahkan dari jam belajar
yang secara keseluruhan sangat tersedia di luar sekolah. Artinya untuk melihat
apakah seorang anak berbakat dan cerdas, kemampuan pedagogis guru dan budaya
sekolah yang menghargai keragaman sangat dibutuhkan seorang anak untuk
berkembang.
Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan saat ini sistem
pendidikan hampir di seluruh belahan dunia menumbuhkan pembedaan yang sangat
signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional.
Itu menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang
jelas dalam struktur kurikulum sehingga anak-anak cenderung dididik untuk
menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan Damasio, durasi dan
substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk
dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan
spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku.
Selain itu, jarangnya guru inspiratif menurut Linda
Darling-Hammond dalam Powerful Learning: What We Know about Teaching
for Understanding (2008) dengan jelas mengkritik guru dan sekolah yang
berorientasi pada hasil tes/ujian (learning for exams). Proses belajar
semacam itu tentu saja akan menjadikan anak didik cenderung menjadi objek
belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam sehingga bakat dan
kecerdasan anak tidak tergali secara baik. Pendekatan tersebut juga cenderung
menjadikan siswa sebagai alat penghafal rumus dan teori (rote memorization)
dan menyampingkan proses atau latihan analisis dan penalaran yang lebih alamiah
dan bersandar pada kebutuhan seorang anak.
Ahmad Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 08 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi