Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Pada akhir tahun lalu, di Jakarta, telah diberikan Gelar Pahlawan Nasional kepada dua tokoh proklamator kita, Soekarno-Hatta. Dan, hal ini tentu melegakan kita semua, sekaligus mengundang pertanyaan, kenapa baru saat ini penganugerahan gelar itu disematkan? Apa karena ada penganugerahan kepada Presiden SBY dari Kerajaan Inggis? Dari fenomena ini, satu-dua orang menjadi kagum akan gelar-gelar yang bertaburan, tapi sebagian besar apatis. Masalahnya, ruang kekaguman, di mana-mana telah menjadi hampa tanpa makna.

Di luar kehampaan itu, satu rasa kekaguman muncul kepada mereka, pengabdian guru. Sebuah predikat pekerjaan atau profesi yang berkaitan dengan tanggung jawab pembentukan mental dan intelektual anak-anak generasi bangsa. Dalam konteks tanggung jawab ini, guru pastinya akan menghadapi murid yang memiliki bermacam-macam latar belakang budaya dan status sosial. Sebuah gambaran beban mendidik yang rumit dan berat. Belum lagi, ditambah beragamnya tingkat kenakalan, potensi intelegansi, dan ragam lainnya yang harus 'dikelola' oleh guru. Sepertinya tidak salah jika konsekuensi atas tanggung jawab guru itu, kemudian padanya diberikan gelar sebagai 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'.

Meskipun tidak terlalu tepat jika suatu makna pahlawan diikuti dengan tanda-tanda dan penandaaan yang macam-macam. Apalagi, tanda untuk suatu jasa. Jasa kok ditandai? Kalau mau serius dengan istilah-kata itu, semestinya ya 'tanda' itu tidak sekedar lips service saja.

Secara moral memang sudah semestinya predikat pahlawan melekat pada sosok guru. Tapi, secara pragmatis harus jelas bentuknya. Bentuk ekonomi, misalnya, sebagai parameter paling mudah untuk mengukur tanda-tanda itu. Misal, mengukur kualitas guru secara akademis, lantaran tak semua guru juga mumpuni bobot nilainya. Sering kita dengar oknum guru yang bertindak asusila dan anarkis, bukan? Dan, memang harus diakui, manajemen pendidikan kita masih keteteran untuk menuju ideal sebagai sistem pengelolaan akan tenaga guru. Harapannya, sudah barang tentu penghargaan kepada mereka (guru) dalam bentuk yang lebih pragmatis, tidak sekedar sanjungan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Di luar persoalan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu, perlu ditilik lebih dalam lagi jika hakikat kepahlawanan itu akan diurai maknanya. Dengan kalimat yang tak njelimet, esensi pahlawan merupakan subyek yang menyandang 'pahala'. Pahala-pahala sebagai keluaran atau hasil kemanfaatan subjek manusia bagi kehidupan. Meskipun kualitas pahlawan tidak bergantung pada kuantitas label seperti tanda jasa, atau pengakuan apakah mereka punya jasa sedikit atau banyak. Dan, persoalan kualitas pahlawan secara signifikan berhubungan dengan sosok atau seseorang yang menjadi panutan atau teladan. Lalu muncul pertanyaan, apakah sebenarnya teladan itu? Dan, jawaban yang relevan dengan konteks guru dapat ditarik maknanya dari kualitas dan kemanfaatan eksistensinya bagi kehidupan.

Adalah merujuk pada kualitas kisah nabi-nabi Tuhan. Dari situ, tentu saja akan dijadikan referensi generasi umat manusia untuk melanjutkan kehidupan dalam membentuk peradaban yang lebih baik. Maka, idiom 'lebih baik' menjadi pokok imperatif hidup manusia, sebagai arah tujuan segala usaha manusia berada. Orang bijak mengatakan (seorang dosen saya di filsafat UGM), "Jangan pernah mempercayai sepenuhnya kepada sosok teladan, karena dengan ukuran-ukuran sosok teladan itu akan membuat kita tidak berkembang."

Bisa dipahami jika sosok yang menjadi teladan, kita jadikan sumber utama dan satu-satunya pegangan hidup, maka siap-siap saja kita untuk menjadi dekaden, tertinggal oleh pesatnya laju zaman, atau bahkan menurunnya kualitas kehidupan kita. Makna keteladanan yang dogmatis memang harus dibongkar untuk membuka pintu ketakjuban kita yang bisa berbahaya jika mengarah pada kultisisme. Seperti realitas saat ini jika dibandingkan dengan ukuran pendahulu kita yang kita jadikan teladan.

Hari ini kita terus berdecak kagum pada peradaban masa lampau. Tapi, hanya berhenti dalam kekaguman, tanpa melakukan kreasi baru yang lebih baik nilainya. Meskipun keluhuran peradaban nenek moyang kita juga jangan sampai dilupakan, namun substansinya adalah mengambil apa-apa yang bernilai. Dan, memang tetap harus mepelajari asal-usul kita, nenek moyang kita, tradisi kita, yang kesemuanya dijadikan titik tolak kita dalam melangkah. Bukanlah kecepatan dan percepatan langkah kehidupan manusia itu bergantung pada seberapa mantap titik tolak dan pijakan kakinya? Identitas diri melalui budaya, itulah titik tolak kita.

Mengenai teladan, dapat pahami sebagai referensi alternatif pembentukan diri. Semacam panduan pengalaman dari pendahulu kita untuk menyusuri belantara masa depan. Jika teladan itu kita simpan dalam idealisme tanpa menyesuaikan perkembangan peradaban dan enggan untuk membuka potensi diri kita, maka kita akan terus berada di bawah bayang sosok teladan itu tanpa adanya perkembangan kualitas yang lebih maju.

Jadi, sosok teladan, pahlawan, idola, panutan, atau apa pun istilahnya patutlah kita hormati. Kita pelajari dengan lengkap lebih-kurangnya. Bukan untuk dijadikan tujuan akhir dan mengkultuskannya, cukup untuk menjadi referensi ilmu, atau titik tolak gerakan.

Akhirnya, mengembarai fenomena guru sebagai sosok yang digelari Pahlawan Tanpa Tanda Jasa hingga mengkritisi hakikat keteladaan telah mengantarkan pada satu titik pemahaman. Bahwa sifat kekaguman perlu untuk diwaspadai, termasuk kagum kepada sosok teladan sekalipun. Seperti anjuran sang bijak, 'Jangan pernah mempercayai sepenuhnya...' karena kepercayaan yang mutlak hanyalah untuk-Nya. 

Sumasno Hadi   
Magister Filsafat UGM,
Pengajar pada Prodi Pendidikan Sendratasik, Universitas Lambung Mangkurat
SUARA KARYA, 21 Juni 2013



Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. artikel yang bagus gan
    nitip link ya gan :)
    https://www.facebook.com/interiorjakarta

    BalasHapus

Beri Komentar demi Refleksi