Memasuki
tahun ajaran baru, pertanyaan menggelitik tentang efektivitas pembelajaran yang
berimbas pada kesiapan siswa menghadapi hidup, menjadi sangat urgen. Adakah
pendidikan kita memampukan anak untuk menghadapi kehidupannya?
Apa boleh buat. Kesimpangsiuran penerapan kurikulum
2013, belum lagi gejolak perekonomian global terutama di negara maju yang
barangkali selama ini menjadi acuan kita, memang membuat kita galau.
Pertanyaan itu menjadi kian penting karena orangtua
merasakan bahwa mereka sudah habis-habisan membiayai pendidikan anaknya (yang
notabene kerap dikampanyekan ’gratis’ itu).
Dibanding dengan behavaviorisme (yang menekankan
proses internal dalam belajar) dan kognitivisme (yang menyelaraskan
pembelajaran dengan cara kerja otak), para pedagog terkini melihat bahwa
konstruktivisme merupakan metode belajar terbaik.
Mengapa? Proses ini dibangun di atas kesadaran
bahwa siswa sudah memiliki aneka pengalaman. Tugas guru adalah merangkaikan
pengalaman itu menjadi sesuatu yang bermakna. Untuk itu, pedagog seperti John
Dewey dalam Democracy and Education (1950) secara jelas
mengungkapkan belajar sebagai proses pemaknaan pengalaman.
Dalam kacamata yang sama, David Kolb, pendiri Experience
Based Learning, menekankan bahwa ketika pengalaman dipadukan dengan
pemahaman akan membentuk sebuah pengetahuan.
Di sini jelas, pengetahuan tidak dimaknai
sesederhana sekadar menguasai beberapa teori abstrak sebagaimana kerap disalah
mengerti. Ia merupakan hasil yang tercipta dari perpaduan kreatif antara
pengalaman dan pemahaman. Artinya, tanpa pengalaman dan pemahaman, mustahil
tercipta pengetahuan.
Masalah mengajar
Berpijak pada pemahaman ini maka mestinya tidak ada
permasalahan siswa dalam belajar. Ia terlahir dengan rasa ingin tahu yang
sangat besar. Oleh karena itu, mestinya tidak ada keluhan tentang masih
banyaknya siswa ’bodoh’ dalam kelas dengan motivasi belajar yang ’sangat
rendah’.
Apakah keluhan itu benar adanya? Bisa saja. Dengan
bantuan teknologi yang memudahkan segalanya, siswa kita lebih suka mencari
jalan yang lebih mudah dan aman. Apa yang sulit yang barangkali menjadi bagian
dari pengalaman orang dewasa tidak bisa dipahami. Mereka suka cari yang ’enak’
saja.
Akan tetapi bila para tokoh pendidikan benar dalam
analisis tentang potensi siswa dalam belajar, maka kita (para guru) mesti sadar
bahwa masalahnya ada pada para guru. Jelasnya, apakah pengetahuan yang
diajarkan adalah sungguh sebuah produk dari pengalaman dan pemahaman, atau
sekadar beberan teori yang sangat tidak menarik dan membosankan bagi siswa
kita?
Tidak hanya itu. Kebosanan itu juga ekspresi bahwa
model pembelajaran itu sama sekali tidak mengikuti apa yang dikehendaki otak.
Para peneliti organ terpenting manusia itu sepakat bahwa penerimaan informasi
akan lebih mudah dan kuat bertahan apabila dikombinasikan dengan gerak. Dalam
konteks ini, pembelajaran aktif merupakan cara terbaik dalam membentuk
pengetahuan yang tangguh.
Kenyataannya, ada asumsi, semakin siswa ’tertib’
dalam kelas semakin baik. Aneka gerakan selalu dianggap mengganggu. Padahal apa
yang dilakukan adalah refleks dari kebutuhan otak yang butuh penyegaran oksigen
demi mempermudah proses penyerapan informasi.
Akan tetapi, itu pun guru tidak bisa dipersalahkan.
Niat untuk memberikan pembelajaran menarik yang berbasis otak (brain-based-learning),
tentu sangat dikehendaki guru. Guru tentu saja senang melihat siswanya senang
dan bukan sebaliknya gembira melihat anak didiknya terpaku bisu dalam situasi
stres.
Namun, ia kadang terpaksa melakukannya karena
terkejar oleh tuntutan materi. Tujuan pembelajaran bukan lagi dihasilkannya
kompetensi maksimal atau adanya keluaran maksimal, melainkan sekadar mengejar
diselesaikannya materi.
Transformasi pengalaman
Apa yang mesti dibuat membangun sebuah pembelajaran
bermakna? Tanpa terjebak dalam aneka janji muluk, seperti mengganti kurikulum
sebagai solusi atau tawaran mesianik yang dibesar-besarkan demi mencapai niat
terselubung, pembaruan mesti mempunyai pijakan yang kuat.
Yang dimaksud, rangkaian pengalaman masa silam
perlu jadi pembelajaran bermakna agar kita tidak jatuh lagi ke kekeliruan yang
sama. Dalam bahasa Tony Buzon, tercipta self-recovery system di
mana pengalaman itu menjadi pembelajaran sehingga apa yang tidak ada bisa
diakomodasi dan yang sudah baik bisa ditingkatkan lagi.
Bila proses ini terus dihidupi, maka sebuah proses
kreatif telah terjadi. Pengalaman di sini telah menjadi guru terbaik yang
mengajarkan kita tentang apa yang mesti dibuat demi memberikan hidup lebih
bermakna.
Pada sisi lain, makna yang dibangun tentu tidak
bisa diartikan secara individual belaka. Pengalaman kejatuhan yang menjadi ciri
kemanusiawian kita, bisa menjadi sumber pembelajaran agar kekeliruan yang sama
tidak terulang.
Sebagai sebuah bangsa, tuntutan itu lebih kuat
lagi. Upaya selalu mengganti kurikulum tentu saja sebagai ekspresi kemajuan dan
perubahan itu sendiri. Namun, pengalaman yang lalu menunjukkan, pergantian
kurikulum bukanlah solusi. Perubahan harus berawal dari guru. Siswa pada
gilirannya hanya membiaskan apa yang dialaminya bersama guru.
Robert
Bala ;
Guru pada Sekolah Tunas Indonesia
Bintaro, Tangerang Selatan
KOMPAS, 14 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi