Sadar bahwa keberdayaan dan
kebermaknaan hidup meniscayakan merawat keberagaman, guru berkarakter laut
niscaya bagi pendidikan. Guru adalah lentera kehidupan dalam keberagaman. Ia
suluh bagi anak didiknya untuk mengakrabi keberagaman suku, agama, dan ras, hingga
menekuninya di jalan yang terang.
Akan tetapi, bukan keberagaman itu
saja. Guru menjadi suluh atas keberagaman kondisi jiwa anak didiknya.
Kompleksitas kehidupan, kemiskinan, pergaulan yang anyir oleh pembiaran beragam
kekerasan, dan rapuhnya bangunan keluarga inti adalah keberagaman yang nyata
pula.
Ketakberdayaan guru membangun karakter laut seringkali
membuatnya gagal menjadi suluh kehidupan. Kita bisa merasakannya pada cerpen
Seno Gumira Ajidarma berjudul Pelajaran
Mengarang (Kompas, 5/1/1992).
Pada cerpen itu dikisahkan ibu guru Tati gagal menampung
jiwa keruh Sandra muridnya. Ia justru uring-uringan karena setelah lewat empat
puluh menit Sandra belum menuliskan ceritanya. Ia gagal menyerap pergulatan dan
kegundahan jiwa muridnya. Sandra harus menuliskan cerita bertema ”Keluarga Kami
yang Berbahagia”, atau ”Liburan ke Rumah Nenek”, atau ”Ibu”.
Bagi Sandra, itu tema yang sulit. Penyebabnya bukan karena
Sandra tidak punya bahan untuk diceritakan, tetapi apakah kisahnya pantas
dibaca gurunya. Pasalnya, Sandra anak seorang pelacur.
Tentang keluarga, Sandra mengalami suasana rumah yang
berantakan, pengalaman bersama tamu-tamu mamanya yang dilayani di rumah.
Tentang nenek, yang ia tahu adalah ibu menor di rumah kerja mamanya, yang
sering dipanggil mami. Tentang ibu, ia punya banyak pengalaman dimaki ibunya
setiap kali menanyakan tentang ayah dan pekerjaan mamanya.
Akhirnya Sandra hanya menulis sepotong kalimat: Ibuku
seorang pelacur. Dikisahkan ibu guru Tati berkesimpulan bahwa anak
didiknya memiliki pengalaman masa kanak- kanak yang indah. Akan tetapi, ia
belum sampai pada tulisan Sandra.
Karakter laut
Laut itu tak pernah menolak. Ia tampung apa saja ragam air
yang mengalir padanya. Ia biarkan aneka air itu tinggal bersamanya. Bergulat
bersamanya. Pada saatnya, karena terik matahari, air itu dibiarkan
meninggalkannya hanya sebagai butir-butir air. Ya, hanya butir air, tanpa
kotoran yang melekatinya saat memasuki laut.
Pendidikan yang dikelola oleh pendidik berkarakter laut
sadar akan beragam kondisi para muridnya. Bukan hanya tampilan fisik yang
disadari sebagai keberagamannya. Dalam kompleksitas kehidupan di negeri ini,
beragam penggurat jiwa anak didik yang mesti disadari adalah meningkatnya
kekerasan dalam rumah tangga, rapuhnya pengelolaan keluarga inti, kemiskinan,
tidak mencukupinya persiapan membangun keluarga, kian menggilanya penistaan
nasib janin dan bayi baru lahir, hingga pembiaran kekerasan SARA oleh negara.
Jiwa dan nurani anak-anak yang hadir di sekolah seringkali
sarat beban. Bahkan seringkali mereka adalah representasi anak bangsa tak
bertuan. Mereka hidup dalam belantara yang dipenuhi serigala kehidupan berbulu
domba. Pemerkosaan anak oleh orang dewasa terdekat adalah kasusnya.
Libido kekuasaan yang kian tak terkendali seringkali
memanfaatkan anak-anak dan pendidikan. Mereka dimanfaatkan bukan demi sesuatu
yang substansi, tetapi semata-mata kontestasi demi membangun citra diri.
Anak-anak hanyalah obyek.
Guru berkarakter laut
Sayangnya, seringkali para guru/pendidik juga telah sarat
beban. Aneka pesanan pengelola lembaga pendidikan seringkali telah membutakan
mata pendidik hingga tak mampu mengenali realitas kehidupan anak didiknya. Yang
paling parah, seperti pada kisahPelajaran Mengarang itu, guru seringkali
alergi hingga menolak realitas anak didik yang diwarnai ketidakwajaran normatif
dan agamis. Guru pun hadir sebagai sosok yang gagap. Bukannya bersikap asertif
menerima layaknya laut, ia justru menolak.
Kita terus memimpikan pendidikan yang kontekstual. Kita
bermimpi terselenggaranya pendidikan yang tidak terasing dengan realitas
kehidupan. Namun, kita juga berjuang untuk menjauhkan ragam upaya indoktrinasi
dan pencucian jiwa serta nalar demi hasrat pribadi/kelompok.
Kita bermimpi pendidikan mampu memurnikan anak didik menjadi
ciptaan yang unik. Seperti air sungai kotor yang akhirnya menguap sebagai hanya
butir air setelah tiba di laut.
Awal tahun pembelajaran ini, demi keindonesiaan kita yang
tertakdir beragam, juga sadar akan keberagaman aktual kondisi anak didik kita,
beranikah para guru/pendidik berjiwa laut?
Dengan melepaskan hasrat dan ambisi pribadi yang menepikan
keunikan pribadi dan keberagaman? Dengan terbuka menerima anak didik tanpa
curiga dan kebencian, menyingkirkan watak jijik apalagi alergi
pada liyan yang tak sepaham?
Pendidik yang tak berkarakter laut pastilah miskin
pergulatan. Jiwanya melarat, bahkan beku. Padahal di situlah kekayaan sejati
pendidik yang tak pernah terbeli
Sidharta Susila ;
Pendidik
KOMPAS, 30 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi