Memutus
Rantai Tawuran Pelajar
Memprihatinkan! Mengawali tahun ajaran baru dan
bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta muncul lagi.
Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur
sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat
kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam
konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai
antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan
komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan
aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!
Tanggung
Jawab Minim
Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi
bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin
sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain
tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari,
sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.
Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya
aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung
jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya
berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut
bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin
pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan
kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena
perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar
kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama
antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan
menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang
yang bisa dirusak setiap saat.
Kultur
Sekolah Lemah
Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter
yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan
merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa
akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui
rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.
Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap
individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan,
dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya
adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita,
menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga
pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan
dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan
nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka
dikatrol sehingga nilainya juga baik.
Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan
dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi
sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan
demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu
baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.
Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya,
serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan
sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan
pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam
meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis
berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar,
termasuk tawuran.
Ketidakhadiran
Negara
Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa
negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan
pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal
ini dapat dibenarkan.
Ketika aparat kepolisian hanya diam saja
berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu
runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri
dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan
peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam
pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media,
orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku
tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi
pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.
Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan
rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.
Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar
pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat
diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain.
Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib
hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran,
memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif-edukatif melalui kerja sama dengan
pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.
Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga
perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah
negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya selalu terlibat tawuran
perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti
unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi ada
persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha memancing di air
keruh demi kepentingan pribadi.
Peran
Komunitas Sekolah
Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau
seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga
keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan,
staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung
jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai
dalam lembaga pendidikan.
Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain
merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai
dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu
berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.
Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan
mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran
pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan
pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan
salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh.
Doni
Koesoema A
Pemerhati
Pendidikan
KOMPAS,
31 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi