Nasib Pendidikan di Perbatasan
NASIB warga Indonesia
di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak di antara dua
pilihan dan kecintaan negara. Di pedalaman Kalimantan yang berbatasan dengan
Malaysia, pedalaman Papua dan NTT, beberapa warga negeri ini hidup dalam
pelbagai ketertinggalan: akses informasi, pendidikan, dan pembangunan
infrastruktur. Ini fakta di antara gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota
besar dengan sistem kompetitif dan infrastruktur standar internasional.
Tak heran bila
perbatasan Indonesia merupakan daerah rawan, karena rasa kecintaan terhadap negara
sangat tipis. Terlebih, ketertinggalan di bidang pendidikan menjadikan warga
Indonesia di perbatasan merasakan keterbelakangan sebagai warga negara.
Menyikapi hal ini, sangat menarik apa yang dilakukan Kementrian Pendidikan
Nasional. Kemendiknas dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjalin kerja sama
memperluas layanan pendidikan di wilayah perbatasan, pulau terdepan/terluar,
daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, pascakonflik dan/atau
daerah korban bencana.
Wilayah kerja sama ini
meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal, pembinaan pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan layanan khusus,
kebahasaan, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan sumber daya manusia
pendidikan.
Mendiknas Moh Nuh
pernah menyampaikan, kerja sama dengan TNI ini memiliki nilai strategis.
Menurut dia, tidak ada sejengkal wilayah pun di Indonesia tanpa ada TNI.
Sementara itu, lanjutnya, dari sisi manusianya, seluruh manusia Indonesia harus
mendapatkan layanan pendidikan. "Kita bersepakat memadukan dan
mengoptimalkan mulai perluasan akses pendidikan anak usia dini sampai dengan
kebahasaan," ungkapnya kepada pers.
Bahkan, akhir 2010,
pemerintah meresmikan Universitas Nusamus Merauke, Universitas Borneo Tarakan, Universitas
Bangka Belitung, Politeknik Bangka Belitung, dan Politeknik Batam. Sedangkan,
September tahun lalu, pemerintah menegerikan Politeknik Negeri Nusa Utara
(Polnustar) di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Politeknik ini tak hanya lembaga pendidikan, namun juga gerbang diplomasi
antara Indonesia dan Filipina.
Di politeknik ini,
awalnya memiliki dua jurusan dan empat program studi. Jurusan Kesehatan dengan
program studi Keperawatan, serta Jururan Perikanan dan Kebaharian dengan
program studi Teknologi Penangkapan Ikan, Teknologi Pengolahan Hasil Laut, dan
Teknologi Budidaya Ikan.
Pendidikan Kesetaraan
Perhatian di daerah
perbatasan akan memberikan efek penting untuk kemajuan berpikir, cara pandang
dan akses informasi serta pemerataan pembangunan. Melalui program pendidikan di
perbatasan yang komprehensif, dari level terbawah sampai perguruan tinggi,
tentu akan memacu semangat belajar warga negara kita yang berada di daerah
perbatasan. Selain itu, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan di
perbatasan juga akan mengukuhkan konsep pendidikan kesetaraan, yang sebenarnya
termaktub dalam UU negara kita.
Fakta kebinekaan warga
Indonesia, yang terwariskan dari peradaban Nusantara, sebenarnya merupakan
potensi besar untuk mengenal beragam kebudayaan, teknologi lokal yang bersumber
dari local wisdom dan mengenali potensi kekayaan alam sesuai dengan perspektif
warga lokal. Dengan demikian, pendidikan tidak mengubah identitas warga secara
drastis. Selama ini, standar pendidikan disamaratakan dalam perkara hasil
akhir, namun tidak dalam akses dan infrastruktur. Padahal, ada ketimpangan yang
sangat menonjol sehingga mempengaruhi proses.
Pendidikan kesetaraan
melalui peningkatan kualitas dan akses pembelajaran di daerah perbatasan juga
merupakan bagian penting dari sistem ketahanan nasional. Sistem pertahanan
sebenarnya tak hanya berupa kekuatan militer, namun juga diplomasi dan kekuatan
kebudayaan. Kekuatan budaya itu akan muncul jika manusia mampu mengenali,
memahami dan merasakan kekayaan lingkungan, yang didukung oleh proses
pembelajaran. Saya yakin, peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan juga
akan menjadi salah satu benteng untuk mengukuhkan sistem pertahanan nasional.
Terutama, di daerah perbatasan yang rawan konflik, yang tiap hari batas wilayah
negara kita tergerus oleh kekuatan politik negeri lain.
Keterbelahan Identitas
Penguatan pendidikan di
daerah perbatasan, dengan meningkatkan kualitas dan akses pembelajaran, serta
meningkatkan status lembaga dari swasta ke negeri merupakan program penting
pendidikan di Indonesia. Daerah perbatasan merupakan wilayah di mana
manusia-manusianya mengalami keterbelahan identitas. Keterpecahan identitas
(split identity) ini disebabkan kebimbangan mengenali “rumah‘, yakni negara
yang mengayomi dan menempatkan masyarakat sebagai warga negara; dengan
konsekuensi pemerataan pendidikan, informasi, dan akses politik.
Adanya jarak ruang dan
waktu antara pusat pemerintahan dan perbatasan, terutama dalam pemerataan
pendidikan dan pembangunan menjadikan warga negara kehilangan identitas serta
kecintaannya pada negara. Michael Saltman dalam Land and Territoriality (2002),
mengungkapkan, keterbelahan identitas warga yang bimbang mengenai rumah
nasionalisme. Hampir senada, Rapport dan Dawson dalam Migrants of identity:
perception of home in a world of movement (1998: 4-5) menyatakan bahwa
identitas manusia di perbatasan bergerak dalam konteks mengenali ruang.
Dengan demikian, ruang
dalam kondisi sosial warga negara di perbatasan adalah ruang kultural dan
politik. Pemahaman ruang politik dipengaruhi oleh akses pendidikan,
infrastruktur dan kedekatan pemerataan program politik. Sedangkan ruang
kultural adalah bagaimana warga di perbatasan menjaga identitas budayanya di
tengah gempuran kebimbangan akan nasionalisme dan tawaran identitas budaya
negeri lain.
Peningkatan kualitas
pendidikan di perbatasan merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem
pertahanan nasional di wilayah terluar melalui pendidikan dan budaya.
Peningkatan akses pendidikan di perbatasan menghapus stigma kesenjangan politik
nasional mengenai peningkatan sumber daya dan infrastruktur; juga menjadikan
warga di daerah perbatasan merasa menjadi bagian dari negara Indonesia.
Oleh: Ahmad Nurullah dan Munawir Aziz
Jurnal Nasional | Senin, 9 Jan 2012
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS), Program Pascasarjana UGM
bagaimana negeri kita ini?di pelosok sana banyak yang membutuhkan dana untuk pndidikan,dana keshatan,dana pembangunan, ,tapi mengapa pemerintah hanya sibuk dngan kasus korupsi dan kasus korupsi ,kalau begini itu yang salah siapa?yang korupsi atau pemerintahnya,,,miris sekali melihat nasib negeri ini terutama yang mereka hidup di perbatasan atau di daerah yang terpencil,,bahkan mereka yang hidup di perbatasan sampai nekat numpang mencari nafkah denga negara tetangga,,ayolah orang-orang yang ada di atas sana lihatlah rakyat yang terlantar ini,,,
BalasHapusSebenarnya apa yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat perbatasan bagi kami yang tidak bisa membantu secara langsung pergi ke daerah tersebut?
BalasHapusKarena selama ini ada keinginan untuk membantu tapi bingung harus berbuat.