Pada 1993 Microsoft menggagas Encarta, sebuah
ensiklopedia digital. Awalnya Microsoft mengajak ensiklopedia
konvensional yang sudah seabad terkenal, Britannica, bergabung. Namun,
Britannica menyadari bahwa bergabung dengan Encarta adalah tindakan bunuh diri.
Ensiklopedia ternama ini menolak ajakan itu.
Setelah ada Encarta dengan keindahan multimedianya,
tak memakan rak buku, dan harganya terjangkau, masyarakat akhirnya tak tertarik
lagi pada ensiklopedia konvensional. Walau dengan tampilan mewah berlapis bahan
kulit asli, Britannica tewas. Memperbarui edisi Encarta jauh lebih praktis
daripada edisi ensiklopedia berbasis kertas. Encarta telah membunuh Britannica.
Perlu dicatat, Encarta membunuh Britannica hanya
bersenjata keringkasan dan kecantikan tampilan. Kenyataannya, ini hanya
memindahkan ensiklopedia kertas menjadi informasi digital dalam cakram padat.
Paradigma Encarta sama dan sebangun dengan Britannica atau ensiklopedia
konvensional lain. Walau penjelasan dalam Encarta indah melibatkan multimedia,
gagasannya tetap: informasi tetap searah dari satu otoritas sebagai sumber dan
pengguna pasif menyerapnya.
Pada 2001 muncul gagasan revolusioner membangun
sebuah ensiklopedia daring berparadigma baru: Wikipedia. Penulis ensiklopedia
daring ini diharapkan orang awam yang sukarela, tidak dibayar. Jika
ensiklopedia sebelumnya harus dibeli, Wikipedia dirancang sebagai layanan
gratis.
Berbeda dengan paradigma sebelumnya, di Wikipedia
tiap pengguna diharapkan aktif berkontribusi menulis atau membantu mengoreksi
berdasar kepakarannya. Para pengguna diajak berkolaborasi membangun
ensiklopedia bagi semua orang. Tentu tak langsung sempurna, tetapi butuh
keterlibatan warga internet menyempurnakannya. Namun, ketaksempurnaan inilah
kunci kesempurnaannya. Fokus pada hasil bergeser ke proses.
Sikap pengguna ensiklopedia konvensional (langsung
percaya dengan informasi yang dibacanya) sekarang diharapkan berganti dengan
sikap kritis menyelidiki serta mengkaji rangkaian rujukan di Wikipedia.
Pengguna layanan berbasis kolaborasi warga seperti Wikipedia ini diharapkan
masyarakat yang belajar berkelanjutan. Paradigma ensiklopedia konvensional yang
cermat tuntas hampir tanpa salah, tapi informasinya singkat telah ditinggal.
Penggantinya sebuah ensiklopedia yang hidup, berkembang berkelanjutan dalam
waktu nyata dengan informasi mendalam dan terkait luas.
Walau banyak yang ragu saat awal pembentukannya,
sejarah merekam: Wikipedia menghabisi Encarta secara resmi pada 2009. Pesan
moral gejala ensiklopedia ini: gagasan besar masyarakat era sekarang adalah
berbagi, dicirikan sebagai pengguna sekaligus berkontribusi.
Mirip ensiklopedia
Pergeseran paradigma yang melatari perkembangan
kurikulum pendidikan mirip dengan paradigma ensiklopedia tadi. Dalam kurikulum
konvensional yang diistilahkan sebagai Kurikulum 1.0, guru menyampaikan
pengetahuan yang disiapkan pemerintah pusat sama secara nasional. Semua sekolah
dan murid secara pasif menyerap. Buku ajar dibuatkan pusat. Bahkan, kadang
kala, rencana pembelajaran juga dibuatkan pemerintah pusat. Ini analog dengan
paradigma ensiklopedia konvensional.
Dalam Kurikulum 1.0, murid, guru, bahkan sekolah
tak terlibat mengembangkan kurikulum. Pengguna murni melaksanakan pengajaran.
Namun, Kurikulum 2.0 menawarkan paradigma baru: sekolah membuat kurikulum
berdasar standar yang dibuat sebuah badan independen atau profesi. Sekolah
mandiri merancang kurikulum. Murid bersama guru menyusun program belajar
bersama. Selanjutnya adalah paradigma Kurikulum 3.0. Di sini murid mandiri
menyusun program belajar dan kurikulumnya dibantu guru. Mau belajar apa dan
kapan ditentukan sendiri oleh murid. Dalam paradigma ini, murid bertanggung
jawab atas apa yang perlu dipelajari serta cara belajarnya.
Sistem di Kurikulum 3.0 belum cukup. Mungkin
terjadi pemerintah menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan
murid. Dalam hal Indonesia, kebijakan seperti ujian nasional sebagai bagian
penentu kelulusan adalah contoh pengganggu Kurikulum 3.0 karena dengan UN,
murid dipaksa mempelajari kecakapan kedaluwarsa.
Koreksi terhadap paradigma Kurikulum 3.0 itu adalah
terse- lenggaranya pemerintah berdaya yang rela membagikan kekuasaannya,
seperti penentuan kelulusan siswa, mutlak ke sekolah. Setelah dikoreksi (meniru
istilah dalam teknologi komputer: bugs fixed), Kurikulum 3.0
menjadi Kurikulum 3.1. Pemerintah dalam paradigma ini mirip administrator di
Facebook atau Wiki- pedia. Misinya menjamin berfungsinya fasilitas serta
insentif belajar agar setiap siswa dapat mengembangkan dirinya seopti- mum
mungkin, tetapi tidak turut menentukan apa yang dipelajari murid dan bagaimana
mempelajarinya. Murid berperan sebagai guru dan guru berperan sebagai murid.
Seperti di Wikipedia, kita produsen sekaligus konsumen.
Fenomena produsen sekaligus konsumen yang
diistilahkan prosumer ini sudah lama ditajuk Alfin Toffler. Istilah
ini dirumuskan dalam The Third Wave (1980). Untuk pendidikan,
padanan prosumer ini kita rumuskan saja sebagai gurid: insan yang
berperan sebagai guru bagi insan lain sekaligus berperan sebagai murid.
Dengan analogi di atas, walau masih jauh dari
sempurna, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sudah berparadigma Kurikulum 2.0.
Menurut UU Sisdiknas, sekolah sudah mandiri bikin kurikulum berdasarkan standar
nasional buatan BSNP. Namun, Kurikulum 2013 justru mundur ke paradigma
Kurikulum 1.0 karena pemerintah mengambil peran sebagai pembuat kurikulum
kembali. Kemdikbud di Senayan kembali merasa mahatahu menentukan pengetahuan
dan kecakapan apa yang dibutuhkan setiap murid di seluruh penjuru Nusantara.
Murid, guru, dan sekolah kembali jadi obyek semata.
Mustahil tepat menggambarkan masa depan, tetapi
fenomena prosumer dan gurid itu sudah
merasuk di beberapa bagian kehidupan. Seperti Encarta yang tewas dan Wikipedia
yang berkembang meluas, Kurikulum 1.0 yang otoriter akan diabaikan masyarakat
belajar dan sebaliknya Kurikulum 2.0 ke atas akan alamiah berkembang dan makin
dibutuhkan gurid. Kebijakan atau layanan apa pun di masa depan mutlak
melibatkan masyarakat.
Iwan Pranoto ;
Guru Besar ITB
KOMPAS,
18 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi