Enam Ciri yang Membebaskan Pendidikan dari Korupsi

MIRIS. Dunia pendidikan dikejutkan dengan tertangkap tangannya Kepala SKK Migas, Prof Dr Rudi Rubiandini, oleh KPK karena diduga menerima gratifikasi bernilai ratusan ribu dolar AS. Sebagai alumnus ITB sekaligus guru besar di almamaternya, Prof Rudi dianggap sebagai orang yang pas mengepalai SKK Migas karena keahliannya di bidang perminyakan. Namun, apa lacur, karier dan harkat serta derajat keilmuannya hancur dan menjadi tak berguna karena perilaku koruptif yang dilakukannya. Kita patut bertanya, apa yang salah dengan Prof Rudi? Meski di dunia akademis beliau begitu gemilang, mengapa tetap melakukan perbuatan tercela yang mencoreng nama baik ITB?

Selain berita soal korupsi, dunia pendidikan tengah diuji kenaikan anggaran pendidikan sebesar (kurang-lebih) 7,5% dari total anggaran sebelumnya. Itu berarti akan ada kenaikan yang signifikan dalam skema pembiayaan pendidikan, yang sejauh ini masih belum efektif dalam menyiasati dan menyusun beragam program yang berorientasi pada mutu. Hal itu perlu juga kita waspadai karena sampai saat ini saya masih tetap meyakini bahwa praktik koruptif terbesar justru terjadi di dunia pendidikan. Hanya karena sebaran program dan anggaran mengikuti jumlah sebaran sekolah dan jumlah siswa, praktik koruptif yang kecil-kecil itu menjadi seakan tak terlihat.

Padahal, secara definitif korupsi pendidikan merupakan bentuk lain dari penyalahgunaan wewenang otoritas pendidikan untuk kepentingan memperkaya diri sendiri (Kalnins, 2001). Maraknya praktik korupsi baik yang melibatkan pejabat publik yang berasal dari perguruan tinggi maupun korupsi di tingkat Kemendikbud dan sekolah bukan tanpa sebab. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, laporan Bank Dunia 2005 bahkan menyebutkan tingkat kebocoran anggaran bidang pendidikan di negara-negara berkembang mencapai 80%.

Jumlah tersebut tentu saja harus diteliti secara lebih saksama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) unit satuan di setiap level dan jenjang pendidikan. Masalah yang rentan dirasuki isu korupsi di lingkungan pendidikan di antaranya suap atau imbalan dalam proses rekrutmen guru dan promosi jabatan kepala sekolah, serta pembayaran tidak sah untuk pintu masuk sekolah yang kesemuanya berdampak pada rendahnya mutu pelayanan pendidikan dan berbiaya tinggi (Halak & Poisson, 2005). Karena itu, isu korupsi dalam dunia pendidikan sebenarnya bukanlah isu sederhana yang bisa diselesaikan dengan persoalan kurikulum, melainkan menyangkut perubahan sistem secara keseluruhan.

Menurut Stephen P Heynemen (2002), paling tidak ada enam ciri sebuah sistem pendidikan bisa dikatakan bebas dari korupsi. Pertama, adanya kesetaraan terhadap kesempatan pendidikan (equality of access to educational opportunity); kedua, tercapainya keadilan dalam hal distribusi sarana pembelajaran yang memadai terhadap seluruh sekolah (fairness in the distribution of educational curricula and materials); ketiga, keadilan dan transparansi dalam hal kriteria seleksi masuk; keempat, memiliki sistem akreditasi yang memadai terhadap manajemen dan guru sekolah serta ditangani secara independen oleh kelompok profesional.

Hal kelima, menyangkut adanya keadilan dalam unsur pelayanan, termasuk ketiadaan proses diskriminasi dalam bentuk apa pun di sekolah; serta terakhir, keenam, tersedianya teachers code of conduct yang mengikat etika dan moral keseluruhan penyelenggara pendidikan, termasuk di dalamnya ketersediaan program peningkatan kapasitas guru itu sendiri.

Dari enam ciri tersebut, yang paling sukar untuk diidentifikasi ialah yang terakhir karena hal itu berkaitan erat dengan perilaku guru (teacher behavior), dan bangunan budaya sekolah yang sehat dan menjadi arah manajemen sekolah untuk memanage guru (teachers management) secara lebih baik dan terstruktur. Artinya, tak bisa kita menyusun kurikulum antikorupsi di tengah ketidakjelasan tentang etika guru yang masih suka bolos, jarang membaca, sukanya memberi label terhadap siswa (labelling), serta kebiasaan menghukum siswa yang cenderung masih tinggi.

Mulai dari sekolah

Dengan melihat belum sepenuhnya pemerintah meng garap mentalitas guru melalui serangkaian penyusunan kesepakatan apa yang baik dan buruk, dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses pembelajaran (teachers code of conduct in teaching learning process) yang mengikat dan berimplikasi pada etika guru, penyusunan kurikulum antikorupsi hanya akan menyebabkan hilangnya dana miliaran rupiah untuk program tersebut.

Dapat dibayangkan tingkat kesulitan kedua yang akan muncul, yaitu beban guru dan siswa akan bertambah. Padahal, budaya sekolah tak pernah terbentuk atau bahkan dibentuk manajemen sekolah. Dalam konteks ini pendapat Prof Arief Rachman yang menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus patut kita dukung. Alasannya sangatlah sederhana, yaitu siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMU sudah terbebani oleh sekian banyak mata pelajaran.

Kebutuhan untuk membentuk budaya sekolah (school culture) yang sehat dan dapat dijadikan sebagai common platform bersama dalam mengagendakan pendidikan antikorupsi jauh lebih baik dan murah. Jika budaya kita definisikan sebagai seperangkat norma, nilai, kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung dari waktu ke waktu, budaya sekolah merupakan satu set ekspektasi dan asumsi dari norma, nilai, dan tradisi yang secara diam-diam mengarahkan seluruh aktivitas personel sekolah (Peterson, 1998).

Karena budaya sekolah bukan suatu entitas statis, proses pembentukan norma, nilai dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan, 2000). Dalam bahasa Hollins (1996), sebagai agen perubahan, `sekolah dibentuk oleh praktik dan nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat tempat mereka masih sedang dikembangkan'. Atau seperti hidrogen yang merupakan elemen utama air, nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari budaya sekolah.

Ahmad Baedowi ;   
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 19 Agustus 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi