Kualitas
pendidikan di Indonesia rendah disebabkan rendahnya pula mutu pembelajaran dan
kemelemahan kompetensi guru. Argumen dari Profesor Donald Ely dari Syracus
University AS tersebut mendasarkan pada fakta calon guru yang kuliah
di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) adalah lulusan sekolah
menengah yang tidak diterima di fakultas nonkependidikan.
Kuliah di
LPTK adalah pilihan terakhir setelah tidak diterima di mana-mana. Akibatnya,
LPTK tidak bisa merekrut alumnus terbaik untuk dididik menjadi guru. Mereka
inilah yang kemudian menekuni profesi guru. Mendikbud Muhammad Nuh pada saat
membuka Rembuk Nasional Pendidikan di Sawangan Bogor awal 2013 menyinyalir
rendahnya kualitas pendidikan disebabkan oleh kemelemahan kompetensi dan
profesionalisme guru (Koran Tempo, 12/2/13).
Hasil uji
kompetensi guru (UKG) yang dilaksanakan Kemendikbud menunjukkan skor rata-rata
di bawah 50%. Mendikbud mengibaratkan itu seperti air keruh dalam bejana. Kalau
dibuang semua, siapa yang mengajar di sekolah. Solusinya, adalah mengangkat
guru-guru baru berkualitas, sementara yang sudah terlanjur menjadi guru biarkan
secara alamiah memasuki usia pensiun.
Salah
satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah
mengangkat harkat dan martabat profesi guru. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen memberikan dasar hukum akan pengakuan terhadap
profesi guru sejajar dengan profesi lain.
Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 juga memberikan aturan tentang pembayaran
tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok. Secara perlahan tapi pasti
profesi guru mendapat tempat terhormat di masyarakat. Dalam beberapa tahun
terakhir lulusan SMA/ MA yang memilih LPTK meningkat signifikan. Menurut
laporan Ketua Umum SBMPTN 2013 Ahmaloka yang juga Rektor ITB, dari 585.789 pendaftar,
sekitar 407.000 lulusan SMA memilih prodi di LPTK. Berarti 69,4% dari pendaftar
SBMPTN memilih kuliah di lembaga pendidikan yang mencetak calon guru. Program
studi yang menjadi pilihan utama antara lain PGSD, Bahasa Inggris, Matematika,
Teknik Informatika, dan Pendidikan Jasmani.
Menurunkan Kualitas
Ini suatu
indikator penting bahwa menjadi guru saat ini menjadi alternatif profesi yang
diperhitungkan oleh generasi muda. Kenyataan ini sangat membahagiakan di tengah
rendahnya mutu pendidikan nasional sebagaimana dilaporkan dalam studi
komparatif internasional, sepertiTrend in International Mathematics and
Sciences Study (TIMSS) dan Programme for International Student
Assessment (PISA).
Perlu
diperhitungkan kebutuhan profesi ini di masa depan. Jangan sampai terjadi oversupply yang
justru mencetak pengangguran. Artinya, LPTK tidak boleh kemaruk menerima
mahasiswa baru, apalagi sampai melebihi kapasitas hingga menurunkan kualitas
pelayanan, terutama pembelajaran dalam perkuliahan.
Indikasi
ini sudah mulai tampak. Mahasiswa berjejalan dalam ruang kuliah. Dosen berebut
ruangan karena jadwal tumpang tindih. Sekolah-sekolah kewalahan menampung
mahasiswa untuk melaksanakan praktik mengajar (PPL). Beberapa sekolah sudah
mulai menolak karena dianggap mengganggu pembelajaran.
Demikian
pula, karena kegagalan LPTK mengemban amanah mencetak calon guru berkualitas,
jangan salahkan kalau universitas umum juga membuka prodi kependidikan. Contoh
sudah ada di Universitas Brawijaya Malang. Alasannya sederhana, kalau
universitas mantan IKIP boleh membuka prodi nonkependidikan, tentu universitas
umum juga boleh menerima calon mahasiswa untuk menjadi guru.
Kita
boleh berharap masa depan yang cerah dengan generasi baru guru-guru berkualitas
yang bangga dengan profesinya. Mengajar dengan penuh gairah dan kecintaan (passion).
Ada segumpal optimisme bahwa 2030 Indonesia akan menjadi negara maju dengan
sumber daya manusia andal dan berdaya saing tinggi.
Ahmad
Muslih ;
Peneliti Muda dari Lembaga Pusat
Penelitian Pendidikan (LP3) IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 21 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi