PENDIDIKAN
agama menjadi dasar bagi perubahan habitus. Dengan mengatakan demikian, kita
menempatkan pendidikan agama sebagai nilai yang memiliki sumbangan besar bagi
pembentukan perilaku. Hal itu dimungkinkan karena setiap agama mengajarkan
pentingnya nilai-nilai kebaikan, kejujuran, keadilan, moral, cinta kasih,
persaudaraan, kerukunan, dan perdamaian.
Pertanyaan
yang muncul, bagaimana pendidikan agama di negara kita berkontribusi melahirkan
manusia-manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia yang menjunjung tinggi
kejujuran, keadilan, kebaikan, saling menghormati, saling menghargai, bekerja
sama dalam kebaikan, dan tetap bersatu dalam keragaman?
Hari ini,
masih subur dalam kehidupan masyarakat kita perilaku yang sesungguhnya sangat
tidak relevan dengan nilai-nilai yang diajarkan agama (agama apa pun), seperti
tindakan amoral, ketidakadilan, penindasan, penyalahgunaan obat-obatan
terlarang, kekerasan, kecurangan, dan korupsi. Itu termasuk masalah krusial
bangsa yakni maraknya disintegrasi sosial akibat gangguan keharmonisan hubungan
antarkelompok masyarakat dan antargolongan umat beragama walaupun mereka sudah
bertahun-tahun hidup bertetangga, berdampingan, dan menjadi bagian dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jangan-jangan
selama ini kita, para orangtua, lembaga pendidikan, dan tokoh agama, telah
mengajarkan dan mengembangkan cara-cara dan materi-materi agama yang kurang
tepat, dangkal, minim keteladanan, bahkan bisa jadi tidak berorientasi pada
wawasan sosial, yakni bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi di tengah
masyarakat yang majemuk. Akibatnya anakanak, generasi penerus, dan masyarakat
menginternalisasi nilai atau orientasi keagamaan, yang secara langsung atau
tidak langsung, telah turut menyumbang perkembangan karakter beragama yang
kontradiktif antara nilai dan tindakan serta tumbuhnya bibit-bibit disintegrasi
sosial di antara golongan masyarakat yang berbeda pandangan dan pemeluk agama
yang berbeda-beda.
Pendidikan
di keluarga
Bagaimana
keluarga melakukan pendidikan agama agar tujuan nilai-nilai religius
menginternalisasi dalam kehidupan anggotanya? Jawabannya, para orangtua
memahami nilai-nilai dasar agama, mengajarkannya dengan cara yang benar, tepat,
dan penuh keteladanan.
Namun
dengan berbagai alasan, para orangtua tidak memiliki waktu mendidik anak-anak
mereka. Belum lagi, pengaruh modernisasi membuat para orangtua, suami dan
istri, menjadi manusia-manusia supersibuk dan tidak memiliki waktu untuk
memperhatikan pendidikan agama di lingkungan rumah tangga. Kalaupun masih punya
perhatian, paling2 dengan menyerahkannya kepada para guru agama yang dipanggil
ke rumah atau memilih lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama sebagai
alternatif untuk melakukan peran pendidikan agama bagi anak-anak mereka.
Tak
jarang kita akan mendapati anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama di
dalam lingkungan keluarga menjadi anak-anak yang membangun norma mereka
sendiri. Lihat saja bagaimana pakaian para ABG yang seronok atau aneh-aneh sambil
merokok. Mereka seperti sebuah masyarakat baru dengan tatanan nilai baru,
bergaul bebas tanpa batas, dan antisosial.
Keluarga
merupakan ruang awal anak sejak dalam kandungan berinteraksi dan menjalani
kehidupan. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat menjadi tempat pendidikan
sistematis dapat dilakukan, yakni pendidikan yang diselenggarakan bertahap dan
seumur hidup. Keluarga menjalankan proses penanaman nilai-nilai, penanaman
sikap mental positif, pembinaan kebiasaan baik, dan pembinaan interaksi sosial
yang berlaku dalam kehidupan komunitas.
Proses
penanaman nilai, sikap mental, dan kebiasaan baik untuk sampai berhasil
menumbuhkan dan menyuburkan potensi-potensi spiritual yang ada pada anak
sehingga mendorong perilakuperilaku religius dalam tingkah laku keseharian
mereka sesungguhnya bersyarat keteladanan. Apa yang dilihat anak-anak dalam
kehidupan keseharian mereka harus merupakan manifestasi praktis dari apa yang
dituturkan orangtua.
Pendidikan
di sekolah
Apabila
kita cermati, di sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah keagamaan, anakanak
didik lebih banyak disuguhi tumpukan pengetahuan tentang agama, baik melalui
buku-buku teks maupun ajaran verbal dari guru agama masing-masing. Pengajaran
agama masih dalam bentuk transmisi materi agama yang l ebih banyak memuat
domain kognitif dan belum banyak memberi apresiasi kepada pengembangan ranah
afektif dan psikomotorik.
Pendidikan
agama di sekolah sebatas teologi doktrin agama, yang penyampaiannya lebih
sering menggunakan pendekatan indoktrinasi, bukan pendekatan dialogis apalagi
mengajarkan bersikap kritis dan rasional. Ruang untuk mendialogkan sekaligus
mengkritisi berbagai persoalan keagamaan dan pandanganp pandangan keagamaan
yang diwariskan aliran-aliran pemikiran keagamaan dengan beragam dialektikanya
belum ditumbuhkan baik di kalangan pengajar agama maupun anak didik.
Yang
lebih memprihatinkan, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak
berorientasi pada wawasan sosial, yakni mengajarkan bagaimana seseorang hidup
di tengah masyarakat majemuk. Indonesia merupakan bangsa yang punya
heterogenitas tertinggi secara fisik, dikenal sebagai negara kepulauan, ethno
nation atau archipelago state. Indonesia terdiri dari ribuan
pulau dan ratusan suku yang masing-masing punya tradisi, budaya, adat istiadat,
dan bahasa berbeda. Agama yang di akui ialah Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Buddha, dan Konghucu. Disamping itu, ada juga agama agama lokal yang telah lama
dianut masyarakat sebelum datangnya agama-agama im por (berasal dari luar bumi
Nusantara), yang sering disebut aliran kepercayaan atau kepercayaan lokal.
Realitas itu tidak diperkenalkan dengan baik di sekolah. Pembelajaran agama
dilakukan hanya satu agama, yakni yang dianut para anak-anak didik.
Bahkan
tak jarang, anak-anak didik menemukan informasi beragam stereotifikasi agama.
Hanya agama tertentu yang akan membawa keselamatan, di luar itu tidak ada
keselamatan. Karena itu, sudah mendesak agama yang diajarkan di sekolah
ditinjau ulang. Agama yang diajarkan sudah saatnya, selain untuk menanamkan
nilai-nilai suci agama yang dianut dan menjadikannya bagian yang integral pada
diri pribadi anak didik dalam kehidupan kesehariannya, juga untuk meningkatkan
kualitas perilaku anak didik berhadapan dengan pemahaman agama lain yang berbeda.
Pendidikan
agama di sekolah harus mendorong tumbuhnya suatu sikap penerimaan positif dan
objektif terhadap hal-hal yang berbeda. Sebuah keniscayaan anak-anak tidak
hanya akan bergaul dengan orang orang seagama, tetapi juga dengan yang berbeda
agama.
Perilaku
seseorang dalam beragama ditentukan pemahaman terhadap ajaran agama yang
diyakininya. Almarhum Soedjatmoko (1994: Religion in the Politics of
Economic Development) pernah mengingatkan memahami dinamika sosial suatu
masyarakat ialah dengan memahami bagaimana agama meresap ke dalam
hubunganhubungan sosial dan tingkah laku manusia, baik secara individual maupun
kolektif. Para tokoh agama atau penganjur agama merupakan role model yang
bertugas menjaga pemeliharaan dan pengembangan agama.
Pada
tugas pemeliharaan, mereka mengajarkan kepada pengikut ritual agama secara
benar dan berperilaku sesuai dengan ajaran. Sementara itu, pada tugas
pengembangan agama, mereka bertugas melakukan misi/dakwah untuk menyiarkan
agama. Yakni, bagaimana agama selalu mengalami peningkatan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas pemeluknya.
Solusi
mendesak ialah meninjau kembali model pengajaran agama yang dilakukan orangtua,
guru-guru agama di sekolah, dan para tokoh/penganjur agama di masyarakat yang
hanya berkutat pada ranah kognitif. Hal itu terbukti hanya membuka jurang
pemisah antara nilai dan tindakan.
Siti
Nadroh ;
Dosen Perbandingan Agama UIN Jakarta
dan penggagas Rumah Baca Cikal
MEDIA INDONESIA, 19 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi