Korupsi di Indonesia sudah masuk ke tingkat akut. Dari tahun
ke tahun jumlahnya tidak juga berkurang, justru meningkat dan semakin
merajalela di kalangan elite bangsa. Praktiknya pun semakin rapi dan licin
sehingga sulit sekali terjamah oleh hukum. Bahkan, tidak tanggung-tanggung,
korupsi sekarang dipraktikkan secara berkelompok (berjamaah) demi memperoleh
hasil yang banyak dan sulit dilacak.
Itu bisa dilihat dari berbagai kasus dugaan korupsi yang
melibatkan partai politik, pengusaha, hingga pejabat tinggi dan pejabat negara,
sampai para profesional. Semua seperti sudah melekat pada kata, koruptor.
Hasil survei mutakhir Transparency International (TI)
menunjukkan, indeks korupsi Indonesia pada tahun 2012 bercokol di urutan 118
dari 176 negara. Sementara itu, pada tingkat regional ASEAN, peringkat korupsi
Indonesia jauh di bawah Singapura (peringkat 5), Brunei Darussalam (46),
Malaysia (54) dan Thailand (88). Indonesia hanya lebih baik bila dibandingkan
dengan Vietnam (123), Laos (160) dan Myanmar (172).
Hal itu menandakan bahwa indeks korupsi Indonesia masih
belum banyak mengalami perubahan. Indonesia selalu saja menduduki peringkat
terburuk. Makin bertambah tahun, korupsi tidak juga hilang sebaliknya malah
bertambah. Tampaknya korupsi di Indonesia sudah berkembang secara sistemik.
Korupsi sudah melekat ke sistem sehari-hari sehingga sudah dianggap lazim serta
tidak melanggar hukum.
Namun, dalam upaya pemberantasan, segala perangkat untuk
meredam praktik korupsi sebenarnya sudah tersedia, baik dari landasan hukum
hingga personel di kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman. Hanya saja, aparatur
di tiga lembaga penegak hukum tersebut kerap pula terlibat korupsi. Munculnya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup memberikan hasil. Namun, upaya untuk
mematikan lembaga independen itu justru terus berlangsung, termasuk oleh
orang-orang yang mengklaim dirinya mewakili rakyat di DPR.
Tragisnya lagi, mereka yang sudah dicap koruptor justru
tidak pernah memperlihatkan rasa malu. Mereka masih percaya diri, mengumbar senyum
dan tawa ketika diadili dan di hadapan kamera televisi. Meski sudah dijebloskan
ke penjara mereka masih bisa mendapat perlakuan istimewa. Tak heran ada asumsi
bahwa koruptor adalah warga kelas satu di negara ini.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan korupsi di Indonesia
tidak pernah bisa habis?
Ketidakmampuan
Pendidikan
Beberapa hari yang lalu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Mahfud MD mengeluarkan pernyataan yang cukup menyentak dunia pendidikan
(khususnya perguruan tinggi). Dia menegaskan, korupsi di Indonesia sebenarnya
tak lepas dari ketidakmampuan pendidikan menjadi fondasi moral dan alat
kontrol. Menurutnya, lebih dari 80 persen pelaku korupsi adalah lulusan
perguruan tinggi.
Pernyataan Mahfud yang sebelumnya pernah berada di lingkaran
kekuasaan baik kabinet maupun DPR itu seakan membenarkan anggapan banyak
kalangan bahwa di negara ini bertebaran orang pandai yang hatinya tumpul dan
kusam. Selain itu, pernyataan Mahfud juga kian memperlihatkan sistem pendidikan
tinggi di negara ini gagal mencetak sarjana-sarjana yang berakhlak baik.
Pendidikan sejatinya adalah penuntun ke jalan yang benar.
Namun, jika salah orientasi dan tidak maksimal dalam penerapannya pendidikan
pada akhirnya hanya akan menjadi candu. Pendidikan yang candu kemudian akan
mencetak generasi-generasi yang tidak bermoral dan korup seperti yang dikatakan
Mahfud MD.
Pendidikan sangat memengaruhi perilaku individu. Pendidikan,
sebagai pembentuk perilaku, adalah langkah awal yang dapat mengubah seseorang
menjadi koruptor atau tidak. Pendidikan yang tidak mampu menanamkan nilai-nilai
etika dan moral itulah yang dapat mencetak generasi koruptor.
Karena itu, sudah sepantasnya pendidikan mempunyai andil
dalam pencegahan korupsi. Salah satunya adalah dengan memperkuat pendidikan
terutama penerapan pendidikan karakter untuk mencetak generasi-generasi yang
berwatak dan berakhlak mulia dan tentunya tidak bermental korup.
Adanya pendidikan karakter mutlak dibutuhkan dalam sebuah
sistem pendidikan. Pendidikan karakter akan menjadi dasar etis dan moral. Jika
hal ini dijalankan secara baik maka institusi pendidikan akan melahirkan
cendikiawan, yang tidak hanya pandai, namun juga memiliki akhlak. Tidak sekadar
cerdas dalam intelektualitas, tetapi juga cerdas dalam spiritualitas.
Bahkan, seorang pakar pendidikan Fahd Pahdepie (2004) pernah
menegaskan, pendidikan (karakter) adalah solusi sosial yang mampu mengubah
ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral ke arah kemuliaan
akhlak, kekeringan spiritual ke arah kekuatan spiritual. Pendidikan,
menurutnya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan
manusia.
Memang harus diakui, pemberantasan korupsi tidak akan
efektif tanpa diikuti dengan upaya pencegahan (preventif) tersebut. Harus ada
keberanian untuk memutus generasi korup dengan memperkuat bidang pendidikan
karakter yang merupakan "bengkel" pembentuk watak manusia.
Pemberantasan korupsi, tentu tidak cukup hanya dengan
menagkap dan memenjarakan para koruptor. Memberikan pendidikan dengan cara
menanamkan sikap dan perilaku bermoral melalui lembaga pendidikan dapat menjadi
pintu lahirnya generasi-generasi antikorupsi di negeri ini.
Miftahol Arifin ;
Anggota Advokasi dan Penelitian
Fishum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA
KARYA, 12 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi