Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 26-27 September ini akan menggelar Konvensi Ujian Nasional,
yang setiap tahun muncul sebagai polemik. Rencana konvensi tersebut sudah
dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh saat konferensi pers seusai
upacara Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013 lalu. Pada saat itu, Menteri Nuh
mengatakan:"Nantinya, konvensi ini akan mengundang tokoh dari berbagai
pihak yang memang peduli pada pendidikan. Baik yang pro maupun yang kerap kali
melontarkan kritik pedas kepada pemerintah terkait dengan kebijakan pendidikan
akan disatukan melalui konvensi ini, sehingga akan muncul titik temu. Ini agar
kita tidak terjebak dalam pro-kontra yang energinya tidak sedikit," ujar Menteri Nuh pada saat itu.
Namun sekarang, gagasan Konvensi
UN berubah, bukan untuk mencapai kesepakatan UN perlu/tidak, melainkan sekadar
untuk menata jalannya UN. Hal itu dikatakan Menteri Nuh dalam berbagai
kesempatan menjelang pra-konvensi di daerah. Pernyataan Kepala Pusat Penelitian
Kebijakan dan Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud,
Bambang Indrianto (Tempo, 24 September 2013 halaman A17), memperjelas
pernyataan Menteri Nuh tersebut: bahwa Konvensi UN tidak untuk menghapuskannya,
melainkan untuk membicarakan berbagai kelemahan pelaksanaan UN sejak diterapkan
sepuluh tahun lalu. "Kami ingin mengetahui kondisi riil di masing-masing
daerah dan mencari formula yang pas untuk tahun-tahun mendatang," kata
Bambang Indrianto.
Sebagai orang awam yang mengikuti
perkembangan wacana pendidikan dari media massa, jujur saja penulis melihat
adanya inkonsistensi. Pertama, soal gagasan. Awalnya, konvensi dimaksudkan
untuk mencapai kesepakatan antara yang pro dan yang kontra, sehingga dapat
menjadi acuan memutuskan nasib UN selanjutnya. Tapi, dalam perkembangannya,
konvensi hanya dimaksudkan untuk mencari masukan perbaikan pelaksanaan UN. Ini
berarti, Kemdikbud bulat sikapnya bahwa UN tetap akan dilaksanakan sebagai
penentu kelulusan, sehingga pelaksanaannya di ujung tahun, dan yang diperlukan
sekarang adalah masukan perbaikan untuk pelaksanaannya. Salah satu gagasan
perbaikan pelaksanaan UN yang sudah muncul pada saat pra-konvensi di Denpasar
yang lalu adalah pencetakan soal di daerah dan menaikkan proporsi nilai rapor
menjadi 60 persen untuk penentuan kelulusan.
Kedua, masalah peserta Konvensi
UN. Pada awal Mei lalu dikatakan bahwa peserta Konvensi UN adalah mereka yang
pro dan yang kontra terhadap kebijakan UN guna menyatukan pendapat mereka. Tapi
ternyata, sampai artikel ini ditulis, hanya segelintir orang yang selama ini
dikenal getol menolak UN, bahkan menggugat ke MA, diundang ikut konvensi.
Berdasarkan kegiatan pra-konvensi di beberapa daerah, yang diundang dalam
Konvensi UN adalah para guru (yang tentu tidak pernah terdengar suaranya di
publik), kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dan Dewan Pendidikan. Dengan
demikian, peserta Konvensi UN sangat homogen. Wajar bila hasilnya satu suara
dengan Kemdikbud yang menyatakan bahwa UN tetap diperlukan dengan perbaikan
dalam pelaksanaannya. Lalu, untuk apa harus ada konvensi?
Sebetulnya baik yang pro maupun
yang kontra terhadap UN itu tidak menggugat keberadaan UN, melainkan menggugat
fungsi UN. Baik yang pro maupun yang kontra sama-sama memandang perlunya ada UN
dalam sistem persekolahan, guna menciptakan standar kualitas pendidikan
nasional. Sebab, kalau tidak ada UN yang dilaksanakan secara periodik, dengan
cara apa kita dapat mengukur kualitas pendidikan nasional? Dalam FGD (Focus
Group Discussion) Oktober 2012 yang diselenggarakan Balitbang Kemdikbud, para
penolak UN sebagai penentu kelulusan sama sekali tidak anti-UN, yang ditolak
adalah UN sebagai penentu kelulusan. UN sebagai sarana pemetaan kualitas
pendidikan nasional tetap diperlukan sebagai acuan pengembangan pendidikan nasional.
Apa perbedaan UN sebagai penentu
kelulusan dan sebagai sarana pemetaan kualitas? Pertama, jika UN dilaksanakan
pada setiap tahun di ujung kelas (VI SD dan III SMP/SMA/SMK), hasil UN otomatis
berimplikasi pada lulus/tidaknya murid. Sekolah-sekolah yang mendapatkan nilai
UN tinggi mendapat ganjaran, baik berupa tambahan anggaran maupun lainnya.
Sebaliknya, sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN jelek, bahkan tidak lulus
100 persen, diberi hukuman dengan diancam akan ditutup. Akhirnya, yang terjadi,
UN memperlebar kesenjangan pendidikan antara sekolah-sekolah (negeri) yang
bagus dan sekolah-sekolah (swasta) pinggiran, karena sekolah bagus diberi
perhatian lebih (reward) atas pencapaian nilai UN yang bagus, sedangkan
sekolah-sekolah dengan nilai UN terendah tambah merana, bahkan terancam ditutup
karena dianggap mencemari kualitas pendidikan di daerahnya.
Kedua, jika UN sebagai sarana
pemetaan kualitas pendidikan nasional, UN tidak harus dilaksanakan setiap tahun
dan pada ujung kelas. Sangat mungkin dilaksanakan dua/tiga tahun sekali dan
bisa di akhir semester I kelas VI SD/III SMP/SMA/SMK. Hasilnya tidak
berimplikasi pada kelulusan murid. Kelulusan murid tetap menjadi domain guru,
karena gurulah yang lebih tahu perkembangan murid pada saat mulai masuk hingga
akhir masa pelajaran. Berdasarkan hasil UN itu, pemerintah melakukan perbaikan
pelayanan pendidikan. Sekolah-sekolah yang mencapai nilai UN tinggi
difasilitasi agar tetap dapat mempertahankan posisinya. Tapi sekolah-sekolah
dengan nilai UN jelek diberi perhatian khusus/lebih melalui peningkatan
anggaran dan bimbingan teknis agar pada UN berikutnya mereka dapat mengatasi
ketertinggalannya dari sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN bagus.
Dengan demikian, UN sebagai sarana
pemetaan kualitas pendidikan akan menciptakan pemerataan kualitas pendidikan.
Itu bertolak belakang dengan UN sebagai penentu kelulusan. Inilah yang
mendasari sikap kukuh kami untuk menolak fungsi UN sebagai penentu kelulusan.
Pelaksanaan UN sebagai penentu
kelulusan juga kontradiktif dengan roh Kurikulum 2013, yang standar proses dan
penilaiannya mengalami perubahan mendasar. Proses pembelajaran Kurikulum 2013
menekankan keaktifan murid untuk bertanya, mengeksplorasi, melakukan percobaan,
membangun jaringan, dan menyusun laporan. Sedangkan standar penilaiannya ada
penilaian otentik, penilaian diri, portofolio, dan lainnya. Semuanya menjadi
sia-sia bila evaluasinya dengan UN. Kemdikbud perlu konsisten: bila hendak
mempertahankan UN sebagai penentu kelulusan, lebih baik batalkan saja Implementasi
Kurikulum 2013. Tapi, bila hendak melaksanakan Kurikulum 2013, sebaiknya tidak
menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, karena keduanya memiliki roh berbeda.
Dengan demikian, kalau dipaksakan menjadi satu, sangat tidak konsisten.
Persoalan inkonsistensi kebijakan inilah yang menjadi catatan besar untuk
Kemdikbud dan sekaligus munculnya gugatan terhadap Konvensi UN.
Darmaningtyas ;
Pengamat Pendidikan
TEMPO.CO,
26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi