Meskipun mekanisme penyelenggaraan ujian nasional
(UN) setiap tahunnya sudah diatur demikian ketatnya, mulai pendistribusian soal
hingga pengamanan hasilnya yang melibatkan aparat kepolisian, pelibatan
perguruan tinggi untuk menjamin independensi pengawasannya sampai pada
pembuatan 20 paket soal berbeda untuk menghindari siswa bisa mencontek kepada
teman di sebelahnya, selalu saja ada cara cerdik yang bisa ditempuh anak maupun
sekolah untuk mengakalinya.
Hasil survei terkini yang dilakukan Ifa H Misbach, psikolog
dari Universitas Pendidikan Indonesia, yang disampaikan pada Konvensi Rakyat
Menolak UN di Jakarta belum lama ini, sebuah konvensi UN tandingan yang
diselenggarakan beberapa komunitas pendidikan mengungkap bahwa mayoritas
responden yang diteliti (597 mantan siswa yang pernah ikut UN) mengaku pernah
menyaksikan dan terlibat dalam praktik curang UN. Bahkan, karena begitu besar
tekanan psikologis yang diterimanya, siswa yang tidak mencontek pun cenderung
membiarkannya.
Berlangsung
sistemik
Itu semua sangat dimungkinkan karena fungsi UN yang
sejatinya dijadikan instrumen dalam rangka mengevaluasi sekaligus memetakan
mutu pendidikan (assessment), di samping instrumen dalam rangka mengukur
kemampuan akademik siswa (examination), dalam praktiknya saat ini telah
bergeser menjadi instrumen dalam rangka memelihara citra dan pencapaian tujuan
yang tidak ada sama sekali kaitannya dengan urusan pendidikan, bahkan justru
sangat merusak tujuan luhur pendidikan.
Di situlah praktik demoralisasi pendidikan terjadi.
Bagi peserta didik yang tidak siap, misalnya, praktik kotor bernama kecurangan
yang sangat merusak moral itu adalah satu-satunya pilihan untuk menghindarkan
perasaan malu dan aib di mata teman-teman sekolah dan tetangganya.
Bagi para guru yang belum bisa menjalankan tugasnya
dengan baik, praktik curang itu terpaksa harus dilakukan sekadar untuk menutupi
kekurangan dan kelemahannya dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar.
Bahkan, bagi mereka pada umumnya, praktik tidak jujur yang sangat mencederai
aspek moral itu juga tak jarang dilakukan hanya karena kemerdekaannya sebagai
seorang pendidik terampas oleh banyak kepentingan di luar kepentingan
pendidikan.
Ironisnya, yang merampas kemerdekaannya itu tak
jarang adalah kepala sekolahnya sendiri. Pasalnya, bagi kepala sekolah, angka
kelulusan itu sangat diniscayakan dalam rangka memenuhi target kelulusan yang
dibebankan atasannya, di samping dalam rangka memelihara dan menumbuhkan
kepercayaan para calon orang tua yang akan menyekolahkan anaknya.
Demikian seterusnya sampai pada para pihak yang ada
pada jenjang di atasnya. Itulah yang telah menjadikan praktik curang dalam UN
itu menjadi begitu sistemik. Bagi pejabat di lingkungan dinas pendidikan, angka
kelulusan dalam UN itu menjadi sebuah harga mati karena dengan itu bisa jadi
jabatan mereka merasa dipertaruhkan.
Bahkan, praktik curang kian sulit dihindari karena
keberhasilan UN bagi seorang kepala daerah adalah sebuah prestise yang tidak
sedikit sumbangannya dalam rangka mempertahankan dan melanjutkan kekuasaannya.
Dengan ilustrasi itu, saya ingin menegaskan bahwa praktik tidak terpuji bernama
kecurangan itu menjadi sulit untuk dihindari (unevitable) karena masing-masing
pihak punya kepentingan untuk melakukannya.
Sekali lagi, bukan kepentingan pendidikan,
melainkan kepentingan yang justru merusak misi luhur pendidikan. Itulah yang
telah membuat praktik demoralisasi pendidikan lewat UN ini juga semakin sulit
dihindari.
Serahkan
kepada guru
Itu sebabnya jalan terbaik yang mesti ditempuh pemerintah
untuk menghentikan praktik kotor yang setiap tahun terus berulang itu bukanlah
dengan cara memperketat mekanisme penyelenggaraannya, termasuk dengan cara
menambah lebih banyak variasi soal yang ternyata telah menambah kacau jalannya
penyelenggaraan UN tahun ini, melainkan dengan cara menghapus pelaksanaan UN
itu sendiri.
Sikap ngototpemerintah untuk tetap
mempertahankannya seperti yang ditunjukkan selama ini akan sama artinya dengan
sikap membiarkan ketidakjujuran itu terus-menerus berlangsung menjadi tontonan
telanjang yang justru diperlihatkan dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan, sikap
ngotot pemerintah untuk mempertahankan UN ini juga bisa sama artinya dengan
membiarkan sikap ambivalen dan inkonsistensi dunia pendidikan kita dalam
membangun karakter generasi penerus bangsa ini.
Di kelas pada satu sisi para guru sangat mengecam
ketidakjujuran. Namun, melalui UN pada sisi yang lainnya, sikap tidak jujur itu
seolah dihalalkan. Padahal, bangsa ini akan hancur karena ketidakjujuran para
pemimpin dan rakyatnya. Sebagai penggantinya, serahkan saja keputusan untuk
menentukan angka kelulusan itu sepenuhnya kepada guru atau sekolah.
Toh, mereka itu bukan pemerintah yang sesungguhnya
lebih tahu tentang kondisi apa saja terkait peserta didiknya. Jangan lupa, para
guru itulah pula, bukan yang lainnya, yang sesungguhnya punya hak untuk
melakukan evaluasi. Melalui pilihan itu, hak untuk melakukan evaluasi yang saat
ini diambil alih negara bisa dikembalikan kepada guru atau sekolah.
Melalui pilihan itu pula, guru bisa diberikan
kewenangan untuk menentukan kelulusan peserta didiknya tidak melulu berdasarkan
nilai murni hasil ujiannya, tetapi juga berdasarkan sikap dan perilaku sehari-
harinya, berdasarkan akhlak atau karakter baiknya. Yang paling penting lagi,
melalui pilihan itu, guru bisa dibebaskan dari segala bentuk tekanan dan
kepentingan di luar kepentingan pendidikan dan karenanya diberdayakan.
Kalaupun memang ada keraguan bahwa guru atau
sekolah tidak akan objektif dalam menentukan angka kelulusannya, serahkan pula
penilaian itu kepada masyarakat atau lembaga lain yang akan menggunakannya.
Memang ada sesuatu yang harus dikorbankan ketika pilihan itu diambil karena
pemerintah akan kehilangan sumber informasi yang sangat diperlukan dalam rangka
standardisasi sekaligus pemetaan mutu hasil pendidikan.
Namun, sumber informasi itu bisa diperoleh melalui
metode lain tanpa harus ada UN yang mudaratnya ternyata jauh lebih besar
ketimbang manfaatnya. Wallahu a’lam bi shawab.
Saeful Millah ;
Alumnus
Sekolah Pascasarjana (S3) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
KORAN
SINDO, 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi