Apa yang paling dibutuhkan guru saat ini?
Pertanyaan ini wajar, mengingat sukses tidaknya pendidikan sangat bergantung
pada kualitas pendidiknya. Anak yang sudah terlahir dengan rasa ingin tahu akan
menikmati suatu pembelajaran sejauh ditopang oleh pendidik yang profesional.
Sekilas, kurikulum dianggap hal utama sehingga
aneka pembaruan dilaksanakan. Ada keyakinan perubahan itu akan berimbas pada
peningkatan kualitas pendidikan. Nyatanya, perubahan demi perubahan terjadi,
tetapi hasilnya belum maksimal.
Peningkatan kesejahteraan guru juga diklaim sebagai
kondisi penting dalam menunjang kualitas pendidikan. Sertifikasi yang berimbas
pada bertambahnya penghasilan guru merupakan salah satu jawaban. Namun, dalam
kenyataan, kinerja yang diharapkan pun belum terlihat.
Mengapa performa yang diharapkan itu tidak juga
hadir? Frederich Herzberg (1923-2000), dalam The Motivation to Work (1967),
menyibak rahasianya. Baginya, faktor ekstrinsik, seperti gaji, fasilitas, dan
kondisi kerja, bisa sangat berpengaruh. Mustahil seseorang bisa berkonsentrasi
kalau secara lahiriah belum terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa dengan
terpenuhinya kebutuhan, yang oleh Herzberg disebut juga sebagai faktor
higienis, dengan sendirinya mendatangkan kepuasan. Setelah sebuah kebutuhan
terpenuhi, akan muncul yang lain. Singkatnya, kepuasan menjadi relatif ketika
materi dijadikan takarannya.
Apabila faktor ekstrinsik tidak terpenuhi, akan
mendatangkan rasa tidak puas. Aneka protes dan demo yang kerap terjadi lahir
dari kenyataan ini. Orang menuntut agar disediakan sejumlah sarana fisik yang
dibutuhkan untuk mencapai performa maksimal.
Kepuasan lebih bersumber dari dalam diri dan
harapan-harapan yang biasanya tidak bisa diukur dengan materi. Ia lebih
dikaitkan dengan: pekerjaan itu sendiri (the work itself), prestasi yang
diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan
orang lain (recognition), dan tanggung jawab (responsibility)
adalah hal-hal yang menjadi pendorong dari dalam.
Semakin seseorang sampai ke nilai intrinsik,
semakin nyaman ia melaksanakan pembelajaran. Lebih lagi, di sebuah negeri
seluas Indonesia. Supervisi seketat apa pun tidak akan berfungsi kalau hanya
didasarkan pada target pencapai eksternal. Namun, ketika kedalaman batin guru
disapa, hasilnya akan lebih bermakna.
Perlu dorongan
Perubahan dalam orientasi pendidikan mestinya lebih
didasarkan pada pertimbangan yang lebih mendalam. Jelasnya, ia tidak dilakukan
di atas asumsi atau rekaan atas kebutuhan (fisik atau psikis) yang barangkali
dirasa perlu, tetapi berdasarkan pada kebutuhan nyata para pengajarnya.
Kalau hal itu dijadikan takaran, meski apa yang
ditawarkan itu baik adanya, tetapi karena tidak menyentuh realitas di lapangan,
dianggap sia-sia. Ibarat memancing ikan. Umpan bisa saja dianggap paling baik
dalam perspektif si pemancing. Namun, kalau umpan itu bukan kegemaran si ikan,
hal itu sia-sia saja.
Karena itu, perubahan, kalau ingin berhasil, perlu
didasarkan pada hal-hal esensial yang tepat sasar. Seorang guru, misalnya, akan
merasa puas karena pemerintah melalui institusi terkait memberikan rasa nyaman
sehingga dalam iklim itu ia bisa secara kreatif mengembangkan metodologi
pembelajaran yang lebih sesuai.
Ia pun merasa dihargai karena diberi tugas untuk
mendidik siswa pada lingkungan terbatas, tetapi disertai tantangan bahwa anak
didiknya bisa dikembangkan pengetahuan dan karakternya, termasuk merancang
ujian sesuai pembelajaran yang diberikan.
Pemerintah tentu saja masih diharapkan perannya,
tetapi ia tak mengambil alih seluruhnya. Ia melatih guru agar lebih sigap dan
tepat dalam merancang evaluasi yang lebih sesuai kebutuhan.
Proses itu apabila berlanjut akan menimbulkan rasa
puas kepada semua pemangku kepentingan pendidikan. Betapa bangganya seorang
guru menyaksikan bahwa peserta didiknya menjadi ”orang” dengan kualitas hidup
dan penghidupan yang lebih baik. Ia rasakan bahwa tugasnya telah selesai karena
sukses mengantar seseorang menuju masa depannya.
Refleksi induktif
Apabila cara pandang ini kita terima, proses
pembaruan kurikulum, misalnya, tidak bisa dilaksanakan sebagai sebuah kumpulan
ide dari para pengamat pendidikan untuk kemudian diterapkan secara deduktif.
Sebaliknya, ia adalah hasil refleksi induktif yang berpijak pada kesaksian guru
lalu dijabarkan ke lingkup yang lebih luas.
Kalau kita memandangnya dalam perspektif ini,
mustahil ide pembaruan itu ditolak. Kurikulum baru akan disambut hangat karena
ia adalah pengakuan atas apa yang sudah dimiliki dan kini dijabarkan lebih
luas.
Pada sisi lain, kehadiran pemerintah akan sangat
dirasakan manfaatnya karena ia hadir untuk memberikan dorongan dan dukungan
berupa motivasi yang notabene pasti sangat dinantikan. Guru sadar bahwa
keterlibatannya dalam pendidikan terkadang menjadikannya selalu memberi
(pengetahuan) sehingga, jika tidak ada pembaruan, akan menjadikan ritme
hidupnya monoton.
Di sini Terrell H Bell benar ketika menandaskan
bahwa ada tiga hal yang paling penting dalam pendidikan, yakni motivasi,
motivasi, dan motivasi. Apabila siswa yang sukses butuh motivasi tanpa henti
dari guru, adalah tugas pemerintah untuk menebarkan motivasi itu kepada guru
sehingga mereka tidak kehabisan menyalurkannya kepada peserta didiknya.
Robert Bala ;
Alumnus
Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol;
Pendidik pada Sekolah Tunas Indonesia
Bintaro
KOMPAS,
13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi