Kasus masuknya unsur pornografi
dan kata-kata kasar pada buku pelajaran anak-anak sekolah sepertinya tidak
pernah menjadi pelajaran bagi para pendidik. Pendidik di sini adalah mulai dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kepala daerah, kepala dinas pendidikan,
kepala sekolah dan para guru. Bukti tidak pernah menjadi pelajaran sebab
masuknya hal-hal yang dirasa merusak moral dan mental anak-anak sekolah dalam
buku pelajaran selalu terulang.
Belum usai masalah masuknya kata
kasar seperti “bangsat” dan “banjingan” di buku pelajaran SMP di Kota Semarang,
Jawa Tengah, masyarakat dihebohkan dengan adanya kuisioner yang harus diisi
oleh siswa SMP di Kota Sabang, Aceh, tentang berapa panjang alat kelamin dan
berapa besar payudara mereka. Kuis itu rupanya juga ditemukan di Sleman,
Jogjakarta.
Biasanya para guru di sekolah baru
terperanjat ketika hal-hal demikian direspons oleh orangtua siswa. Terus selama
ini ke mana mereka? Sering terjadinya hal-hal yang tidak etis atau hal-hal yang
dirasa belum waktunya masuk pada buku-buku, itu sebuah akibat dari proses
pendidikan kita yang hanya mengejar kualitas. Dalam mengejar kualitas, para
siswa diharapkan untuk giat belajar. Agar giat belajar maka siswa harus sering
bergelut dengan buku ajar. Nah dengan banyaknya buku ajar yang dimiliki sang
siswa maka sang siswa mempunyai potensi untuk meningkat kualitasnya.
Untuk memenuhi buku-buku tambahan,
selama ini pemerintah sepertinya lepas tangan. Pemerintah menyerahkan buku
tambahan kepada sekolah. Peluang ini dibaca oleh penerbit untuk menerbitkan
buku-buku tambahan yang beragam dan semua jenjang kelas dilayani. Sebab
penerbit banyak maka buku-buku tambahan untuk anak sekolah pun melimpah dan
berserak.
Melimpahnya buku pelajaran
tambahan itu membuat kepala sekolah dan guru kewalahan dalam menyeleksi buku
tambahan mana yang cocok untuk siswanya. Di tengah kesibukan mengajar dan
adanya iming-iming dari para penerbit akan bonus bila satu kelas bahkan satu
sekolah membeli buku membuat kepala sekolah dan guru tidak konsentrasi dalam mengoreksi
isi buku, termasuk formulir buat siswa. Kecerobohan yang terjadi membuat
hal-hal yang tak pantas tadi terjadi.
Agar hal-hal di atas tak terulang,
maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggungjawab dalam masalah
ini, harus bersikap tegas kepada para penerbit, kepala daerah, kepala dinas,
kepala sekolah, dan guru yang tak awas dalam membuat dan mengoreksi isi buku
tambahan. Bisa saja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam masalah ini
lepas tangan dengan dalih, pendidikan adalah bagian dari otonomi daerah
sehingga hal demikian urusan kepala daerah.
Apa yang didalihkan kementerian
yang dipimpin oleh Muhammad Nuh itu bisa saja benar sebab dengan adanya otonomi
daerah membuat pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tak maksimal. Dengan dalih demikian maka Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tak mempunyai wewenang langsung untuk memantau peredaran buku
tambahan.
Dengan tak adanya pengawasan
langsung maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak tahu adanya lalu lalang
buku tambahan sekolah yang demikian massifnya. Tak adanya pengawasan dari
otoritas yang seharusnya bertanggungjawab inilah yang membuat penerbit, kepala
sekolah, dan guru seenaknya sendiri dalam menentukan buku tambahan. Sedang
kepala daerah dan kepala dinas tak mau tahu.
Menginginkan agar masuknya
pornografi, SARA, dan vandalisme dalam buku sekolah tak terulang merupakan
keinginan seluruh masyarakat. Untuk itu maka masalah pendidikan tak bisa
seenaknya diurus. Sibuknya kepala daerah ‘mengembalikan’ modal selepas menang
Pilkada membuat kepala daerah juga kurang konsentrasi dalam mengurusi
pendidikan di daerahnya. Bisa jadi kepala daerah malah mengkapitalisasi dunia
pendidikan untuk kepentingan pribadinya. Karena pendidikan urusan daerah maka
di sini kepala daerah mempunyai hak yang luas untuk mengatur segala hal
mengenai pendidikan, seperti bisa memindah guru atau memilih kepala dinas
pendidiikan. Hak yang demikian juga bisa membuat kepala daerah bermain mata
dengan penerbit. Dengan haknya kepala daerah bisa menekan kepala sekolah dan
guru untuk membeli buku dari salah satu penerbit tanpa memikirkan isi buku.
Berangkat dari paparan di atas
maka urusan pendidikan ini harus ‘diambil kembali’ oleh pemerintah pusat.
Diambil kembali oleh pemerintah pusat bukan menjadikan pendidikan seperti
masalah urusan luar negeri, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan agama yang
saat ini menjadi wewenang urusan pemerintah pusat namun bagaimana hal-hal yang
mengenai urusan materi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Memang selama ini masalah kurikulum sudah menjadi urusan pemerintah pusat namun
masalah materi buku terkadang diserahkan ke daerah. Sisi positifnya masalah
materi diserahkan ke daerah memang bagus yakni supaya timbul kreativitas namun
terbukti lebih banyak teledornya daripada kreativitasnya.
Ketika pemerintah pusat mengurusi
masalah isi buku materi maka pemerintah pusat berhak memberi rambu-rambu dan
syarat kepada penerbit untuk bagaimana mencetak buku yang bertanggungjawab.
Pemerintah harus membentuk semacam badan pengawas buku sekolah. Ketika
pemerintah tegas dalam masalah ini maka penerbit, kepala daerah, kepala dinas,
kepala sekolah, dan guru harus patuh.
Ketika aturan ini berjalan maka
penerbit, kepala sekolah, dan guru tak bisa menentukan seenaknya sendiri
buku-buku yang akan dijual kepada siswa. Semua buku yang dijual kepada siswa
harus diberi cap ‘halal’ oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan
aturan ini maka para pendidik di daerah, mulai dari kepala daerah, kepala
dinas, kepala sekolah, dan guru akan tetap konsentrasi pada kerjanya dan tidak
memikirkan buku (dan komisinya). Bagaimana kalau buku itu masih mengandung
unsur pornografi, SARA, dan vandalisme? Berarti yang salah pada menterinya
bukan pada orang daerah.
Ardi Winangun ;
Penggiat
Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
OKEZONENEWS,
13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi