Suatu kesalahan fatal telah dilakukan sebuah
perguruan tinggi negeri seperti diberitakan di harian ini tanggal 31 Agustus
2013 pada halaman 12. Perguruan tinggi negeri tersebut, Universitas Sam
Ratulangi, melarang pembuatan naskah akademik S-1 dan S-2 menggunakan komputer
dan mewajibkan para mahasiswa menulis tangan.
Alasan yang digunakan adalah untuk mencegah
terjadinya plagiarisme karena adanya fasilitas copy-paste (salin-tempel)
membuat para mahasiswa mudah melakukan plagiarisme.
Kalau pemberitaan di atas benar adanya, perguruan
tinggi tersebut telah melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan
terisolasinya para lulusannya dalam era global knowledge saat
ini dan mereka tidak akan mampu berkompetisi untuk bertahan hidup. Mungkin saja
mereka mempunyai computer literacy memadai, tetapi pola
pikir (mindset) yang terbentuk justru akan melemahkan kapasitasnya
sebagai insan yang berpikiran maju.
Dalam hal ini, pepatah ”buruk muka cermin dibelah”
rupanya masih melekat secara kental dalam diri sebagian pendidik. Pendidik yang
tidak kompeten akan selalu menyalahkan peserta didik dan sampai saat ini belum
terlihat adanya upaya perbaikan.
Cermin
ketidakmampuan
Peraturan yang diterbitkan perguruan tinggi
tersebut mencerminkan ketidakmampuan para pendidiknya untuk mencegah
plagiarisme sehingga peserta didik yang dipersalahkan sebagai plagiator.
Pendidik yang kompeten seharusnya mampu mendeteksi
dan mencegah terjadinya plagiarisme di kalangan peserta didik yang menjadi
bimbingannya. Tugas sebagai pendidik adalah menjadikan peserta didiknya menjadi
insan yang maju, mandiri, dan bermanfaat bagi negara dan bangsa.
Apakah dengan ditulis tangan, naskah akademik itu bebas
dari plagiarisme? Tidak ada jaminan karena penyontekan tetap dapat terjadi
meski memang tidak semudah sewaktu menggunakan fasilitas salin-tempel.
Penjaminan bahwa tidak ada penyontekan hanya bisa dilakukan pendidik yang
kompeten yang secara tekun dan teliti membimbing peserta didiknya.
Kalau mahasiswa diharuskan membuat naskah akademik
dengan tulisan tangan, bagaimana dengan para dosennya?
Hal itu karena kekhawatiran terjadinya plagiarisme
bukan hanya di kalangan mahasiswa, melainkan juga di kalangan dosen. Para dosen
dituntut untuk memublikasikan karya ilmiahnya supaya memperoleh angka kredit
untuk kemungkinan promosi jenjang akademiknya. Bukan tidak mungkin sebagian
dosen juga menyontek.
Sudah banyak pemberitaan bahwa terjadi juga
plagiarisme di kalangan dosen. Apakah dosen di perguruan tinggi tersebut di
atas juga harus menulis tangan untuk karya ilmiahnya supaya tidak menyontek?
Kalau tidak, akan terjadi standar ganda dalam penjaminan mutu akademik dan
peserta didik diposisikan sebagai pihak yang salah.
Kalau alasannya bahwa ada mekanisme penilaian karya
ilmiah dosen oleh pakar atau oleh mekanisme online detection, para
pendidik harus bisa menerapkan mekanisme yang sama terhadap peserta didiknya
sehingga peserta didik tidak harus melakukan tulis tangan.
Para pendidik harus mensyukuri bahwa kemajuan iptek
yang demikian pesat telah memberikan beragam kemudahan bagi mereka yang ingin
maju pesat untuk bersaing global dalam rangka bertahan hidup. Persaingan global
tidak mungkin dihindari ataupun dicegah, mau tidak mau kita harus ikut dan
kalau bisa memenanginya.
Masyarakat
ilmiah
Untuk itu, kita perlu membekali para generasi muda
dengan pola pikir yang maju mandiri, dengan kompetensi tinggi sebagai bagian
dari knowledge society, dan dengan kemampuan untuk selalu
berkembang (long life improvement). Inilah hakikatnya tugas para
pendidik, memang berat, tetapi bukan tidak mungkin karena yang dibutuhkan
adalah komitmen penuh sesuai dengan panggilan jiwa sebagai seorang pendidik.
Janganlah para pendidik yang malas dan tidak
kompeten itu menghakimi dan menjerumuskan peserta didiknya. Sikap yang demikian
tidak sepatutnya ditunjukkan oleh mereka yang memang mempunyai panggilan jiwa
sebagai pendidik.
Generasi muda bangsa ini membutuhkan para pendidik
yang mampu mengangkat derajat mereka sejajar, bahkan lebih tinggi dari
lingkungan globalnya.
Satryo Soemantri Brodjonegoro ;
Mantan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (1999-2007), Wakil Ketua Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
KOMPAS,
12 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi