Membaca pemberitaan beberapa surat kabar dan
media elektronik mengenai tiga pelajar SMA dan MAN 1 Medan, Jalan Willem
Iskandar Medan, jatuh pingsan karena dioles balsem oleh gurunya, Selasa lalu
(26/3), saat mengikuti ujian.
Tidak tahu kenapa, oknum guru PPKN di sekolah
itu mengoleskan balsem ke bagian mata ketiga pelajar kelas X-11, yakni Fitra
Fadila, Iksan Maulana, dan Ahmad Taufiq Siregar. Ketiga korban tidak tahan
menahan panas balsem itu hingga akhirnya dirawat di Unit Kesehatan Sekolah
(UKS). Kepala Sekolah SMA MAN 1 Burhanuddin Harahap mengatakan kasus ini akan
dilaporkan ke pihak atasan sekolah. Untuk guru yang bersangkutan tidak akan
diperbolehkan mengajar dan dikenakan sanksi.
Berita ini telah menambah daftar tindakan
arogansi seorang guru terhadap anak didiknya. Kasus kekerasan yang dilakukan
seorang guru terhadap murid sebenarnya sangat banyak daftarnya. Penulis sendiri
pernah menemui guru TK yang dengan sengaja memukul anak didiknya sampai kakinya
memerah tanpa alasan jelas.
Ketika itu penulis hanya berpesan agar ke
depan jangan sampai mengulangi hal serupa kepada anak-anak lain. Memukul dan
menghukum murid dengan cara yang berlebihan tidak zamannya lagi. Kekerasan yang
dilakukan guru terhadap murid-muridnya menjadi cermin bagi murid untuk
menduplikasi dalam bentuk tawuran dan perkelahian antarkelas maupun
antarsekolah.
Pepatah lama mengatakan ”guru kencing berdiri,
murid kencing berlari” sepertinya masih berlaku sampai saat ini. Guru yang
memiliki sikap tidak terpuji seperti melakukan kekerasan atau perbuatan paling
jelek , yakni melakukan pelecehan seksual terhadap siswa perlu dipertanyakan
proses seleksinya. Menjadi guru saat ini perlu mengikuti tahapan-tahapan ketat.
Seorang lulusan fakultas keguruan tidak langsung menjamin menjadi seorang guru
yang baik dan kreatif.
Ketika kita membicarakan masalah pendidikan di
negeri ini memang tidak akan pernah ada habis. UU Nomor 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tercantum pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Jika disimak
secara keseluruhan, krisis pendidikan bersangkut paut dengan sarana dan
prasarana, pembiayaan, serta kualitas guru yang mengajar. Karena guru adalah
orang yang mengantarkan seseorang untuk mencapai kemulian. Guru begitu memiliki
peranan penting dalam proses belajar murid yang memberikan pencerahan bagi
murid dan mampu melahirkan murid yang tangguh, siap menghadapi aneka tantangan,
sekaligus memberi perubahan yang hebat bagi kehidupan.
Pencerahan itu tentu lahir dari guru yang
inspiratif. Bukan dari sikap guru yang arogatif dan provokatif. Istilah guru
inspiratif dapat diartikan sebagai guru yang memiliki orientasi jauh lebih
luas. Guru inspiratif memilih melakukan tindakan strategis, yaitu bagaimana ia
mampu memberikan perspektif mencerahkan serta menawarkan perspektif yang
memberdayakan dan menghasilkan energi kreatif.
Seorang guru inspiratif tidak hanya melahirkan
daya tarik dan spirit perubahan terhadap diri muridnya dari aspek diri
pribadinya semata, tetapi juga harus mampu mendesain iklim dan suasana juga
inspiratif. Penciptaan pola yang inspiratif akan semakin memperkukuh karakter
dan sifat inspiratif yang ada pada diri guru.
Perpaduan keduanya, yaitu karakter diri guru
dan suasana pembelajaran akan menjadikan dimensi inspiratif semakin menemukan
momentum untuk mengkristalkan dan membangun energi perubahan positif dalam diri
setiap murid. Dalam usaha untuk menciptakan iklim pembelajaran inspiratif,
aspek paling utama yang harus diperhatikan guru, bagaimana guru mampu menarik
dan mendorong minat murid untuk tenang dan menyukai setiap mata pelajaran.
Penciptaan suasana pembelajaran inspiratif
sangat penting, artinya untuk semakin mengukuhkan dan mendukung kekuatan
insp-iratif yang bersumber dari diri guru. Dua aspek ini, pribadi guru dan
suasana pembelajaran pada gilirannya akan mampu mengakumulasikan potensi dalam
diri para muridnya untuk semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas.
Melahirkan
Insan Cerdas
Proses pembentukan guru pada akhirnya akan
lebih tepat disebut sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator, tidak
semudah membalik telapak tangan. Menempatkan guru dalam suasana pendidikan
produktif akan menumbuhkan gerak kreatif murid dalam memahami pelajaran. Salah
satu proses penting untuk membentuk murid berprestasi tidak hanya dalam
pelajaran, tapi juga memiliki etika dan budi pekerti luhur, haruslah dididik
oleh guru yang baik dan memiliki karakter.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter
baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan bertujuan melahirkan insan cerdas
dan berkarakter kuat itu juga pernah dikatakan Dr Martin Luther King, yakni
intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang
berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini
maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Denganpendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil
menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal
dari nilai-nilai luhur universal, yaitu pertama, karakter cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya. Kedua, kemandirian dan tanggung jawab. Ketiga,
kejujuran/amanah dan diplomatis. Keempat, hormat dan santun. Kelima, dermawan,
suka tolong-menolong, dan gotong-royong/kerja sama. Keenam, percaya diri dan
pekerja keras. Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan. Kedelapan, baik dan rendah
hati.
Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu diajarkan secara sistematis dalam model
pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan
acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan
bersifat kognitif saja.
Setelah knowing the good harus ditumbuhkan
feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan
menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan
sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebajikan karena
dia cinta dengan perilaku kebajikan. Setelah terbiasa melakukan kebajikan,
acting the gooditu berubah menjadi kebiasaan.
Beberapa negara yang telah menerapkan
pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya, Amerika Serikat,
Jepang, China, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan
implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak
positif pada pencapaian akademis. Seiring sosialisasi tentang relevansi
pendidikan karakter ini, semoga tiap sekolah bisa menerapkannya secara
berkesinambungan agar nanti lahir generasi bangsa yang selain cerdas, juga
berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
James
P Pardede ;
Pendidik
dan Dosen di Universitas Quality (UQ)
KORAN
SINDO, 03 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi