SELALU ada dua dimensi dalam
setiap ritual ibadah keagamaan yang kita jalankan. Di satu sisi, ritual-ritual
itu merupakan simbol keyakinan kepada Tuhan dengan menjalankan apa yang Dia
perintahkan. Di sisi lain, ritual-ritual agama pada hakikatnya ditujukan untuk
kemaslahatan dan kepentingan manusia itu sendiri. Bukankah Tuhan adalah zat
Yang Mahabesar, yang kebe sarannya tidak bergantung pada ketaatan umat-Nya?
“Agama itu nasihat,” kata Rasullah SAW suatu ketika. Semua yang ada dalam agama
ialah nasihat bagi setiap pemeluknya.
Dalam perspektif demikian, ritual
ibadah hendaknya tidak dilaksanakan secara fisik saja. Mereka para pencari
kebahagiaan hakiki harus berupaya fokus pada nilai-nilai yang ter kandung dalam
setiap ritual ibadah yang dilakukan. Keberhasilan menemukan nilai-nilai
spiritual dalam setiap ritual ibadah niscaya menentukan seberapa besar manfaat
ibadah itu bagi diri pelaksananya. Mereka yang di mata manusia terlihat taat
beribadah secara fi sik, tanpa kemauan menggali nilai-nilai yang ada di balik
iba dahnya, bisa dianggap lalai dalam ibadah (Al-Ma’uun: 5).
Ibadah yang kering esensi
cenderung tidak mendatangkan maslahat bagi pelakunya, utamanya dalam membentuk
karakter pribadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Bila diibaratkan sebagai
pohon, Islam terdiri dari tiga bagian. Akarnya ialah keimanan pada hal-hal yang
terdapat dalam rukun iman yang enam, batangnya ialah pokok-pokok ritual yang
terkandung dalam rukun Islam, dan buahnya ialah ihsan, yaitu kebajikan itu sendiri.
Trilogi iman, Islam, dan ihsan itu ialah kesatuan yang tidak terpisahkan.
Keimanan yang kuat niscaya membuat orang dengan penuh keriangan dan keringanan
menjalankan peribadatan. Ibadah yang benar dilandasi keyakinan iman, bukan
motifmotif lain. Untuk mengukur seberapa jauh ibadah itu dilandasi iman, kita
bisa melihat dari buah ibadah tersebut. Ibadah yang benar niscaya membuahkan
kebajikan.
Ibadah
Kurban
Trilogi semacam itulah yang kita
lihat dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang menjadi konteks historis ibadah kurban
yang kita kenal sekarang ini. Ibrahim, sebagai sosok manusia yang telah
‘menemukan’ Tuhan, terancam kehilangan orientasi ketuhanannya ketika Allah
memberikan Ismail, putra yang sekian lama dinanti-nanti kehadirannya. Siti
Sarah, sang istri, tidak kunjung hamil. Baru ketika Ibrahim memperistri Siti
Hajar, Ismail hadir sebagai jawaban atas segala doa Ibrahim. Secara psikologis,
kehadiran anak setelah sekian lama berharap cenderung memabukkan dan
menghanyutkan. Ibrahim yang sebelumnya mabuk dalam kecintaannya kepada Allah
mulai hanyut dalam kebahagiaan merengkuh Ismail.
Ibadah Ibrahim dan kecintaannya
kepada Allah SWT tidak berkurang dengan kehadiran Ismail. Namun, kecintaan itu
mulai terbagi dan sebuah ujian keimanan dinilai pantas dilakukan. Allah pun
memerintahkan lewat mimpi agar Ibrahim rela mengurbankan Ismail dengan
menyembelihnya. Perintah itu terkesan kejam dan radikal serta secara logis
mustahil datang dari Zat penuh kasih sayang, tetapi justru di situlah letak
ujian keimanannya. Ibrahim dihadapkan pada pilihan untuk meyakini bahwa itu
benar-benar perintah Allah dan menaatinya atau dia berpaling dengan beragam
argumentasi logis dan emosional kebapakannya.
Sejarah kemudian mencatat
keimanan Ibrahim keluar sebagai pemenang. Pilihan jatuh pada pengurbanan Ismail
sebagai wujud ibadah dan ketaatan. Sejarah juga mencatat buah manis pengurbanan
itu. Ismail terselamatkan dan diganti dengan seekor hewan kurban. Bagi Ibrahim
sendiri, peristiwa itu mengajarinya banyak hal. Kesabaran, keikhlasan, dan kekuatannya
untuk tidak lagi terikat pada hal-hal yang bersifat material keduniawian.
Kurban, bagi Ibrahim, ialah sebuah peristiwa dengan efek psikologis
mahadahsyat, yang harusnya juga dirasakan bagi para pelaksananya sekarang ini.
Pendidikan
Karakter
Sebagai sebuah peristiwa
psikologis sebagaimana tecermin dalam konteks historisnya, ibadah kurban
senyatanya ialah sebuah pendidikan karakter bagi Ibrahim dan manusia
sesudahnya. Karakter terpenting dalam ritual kurban barangkali ialah karakter
`manusia tauhid'. Tauhid di sini tidak dimaknai sebagai terminologi teologis,
tetapi keterpusatan jiwa dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Karakter itu
memberikan orientasi hakiki kehidupan hanya pada Sang Pencipta dan melepaskan
keterikatan pada sesuatu di luar-Nya seperti anak, harta, dan kedudukan.
Keterikatan besar manusia pada materi-materi selain Dia merupakan penghalang
terhebatnya untuk berkurban.
Ritual kurban mengajarkan kepada
kita untuk memiliki sikap moral yang tidak bersifat egosentris dan mau untung
sendiri. Betapa banyak permasalahan bangsa ini yang muncul karena sifat
warganya yang cenderung berorientasi ke diri pribadi, kelompok, atau golongan
mereka saja. Padahal kerelaan Ibrahim berkurban tanpa memikirkan keinginan nya
sendiri, jika diaplikasikan pada tataran sosial, niscaya akan menjadi solusi
setiap konflik sosial yang mengancam keutuhan dan relasi antarindividu dan
antargolongan.
Manusia memiliki kecenderungan
kebinatangan (hayawaniyyah) dalam dirinya yang punya kecenderungan merusak.
Ritual kurban dengan menyembelih binatang merupakan simbol bagi penyembelihan
karakter-karakter buruk kebinatangan dalam diri manusia seperti hidup tanpa
mengindahkan aturan, penghalalan segala cara guna mencapai tujuan, dan punya
kecondongan memuaskan kepentingan (nafsu) diri sendiri dengan menzalimi orang
atau kelompok lain. Jika ritual kurban dihayati, tidak akan ada perusakan
karena perbedaan pandangan atau keyakinan.
Digantinya Ismail oleh Allah
dengan seekor binatang juga merupakan perlambang betapa Islam mengharuskan
nyawa manusia dihargai. Bukankah Allah sudah menggariskan dalam kitab-Nya yang
mulia bahwa barang siapa yang menghilangkan sebuah jiwa, padahal jiwa itu tidak
membunuh jiwa yang lain atau berbuat fasad (kerusakan yang berdampak masif ),
pada hakikatnya orang itu telah membunuh kemanusiaan seluruhnya (Al-Maidah:
32). Penghayatan akan konteks historis kurban niscaya menjadi legitimasi teologis
bagi setiap argumen yang menentang penghilangan nyawa orang lain, apa pun
alasannya.
Di level elite, kita rindu
kepemimpinan yang rela mengurbankan sedikit kepentingan dirinya, keluarga,
golongan, atau kelompoknya dengan membuat kebijakan yang adil bagi semua dan
membawa kemaslahatan umum. Perilaku koruptif, selain menunjukkan kecintaan
berlebih pada materi, menunjukkan betapa elite belum mampu meninggalkan hawa
nafsu dan egonya karena cenderung berorientasi pada keuntungan diri sendiri.
Yang terjadi selama ini ialah sejumlah elite terkesan lebih condong
mengurbankan kepentingan orang banyak.
Sejumlah contoh tersebut
menegaskan betapa ritual kurban memiliki dampak yang tidak saja bersifat
keakhiratan, tetapi juga berdampak pada peningkatan karakter manusia dan
bangsa. Itulah hakikat setiap ritual yang kita laksanakan. Hal mana membuktikan
betapa religiositas merupakan hal yang tidak saja masih relevan, tetapi malah
semakin dibutuhkan di era modern ini. Bukan demi kepentingan Dia Yang Mahakuat,
melainkan demi kepentingan kemanusiaan kita itu sendiri.
Muhammad
Zainul Majdi ;
Ketua
Umum PB Nahdlatul Wathan
Gubernur
Nusa Tenggara Barat
MEDIA
INDONESIA, 27 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi