Beberapa waktu lalu departemen kami kedatangan tamu seorang profesor
fisika muda dengan prestasi penelitian yang cemerlang dari National University
of Singapore.
Tentu saja yang menarik bukan
melulu karena dia seorang profesor di NUS, singkatan universitas nasional di
Singapura itu, melainkan karena dia seorang warga negara Indonesia. Ia
menamatkan sarjana di salah satu perguruan tinggi di republik ini.
Dengan sederet publikasi ilmiah
di jurnal papan atas berfaktor dampak sangat tinggi seperti Nature, Science,
Applied Physics Letters, dan Physical Review Letters serta dana dan fasilitas
penelitian yang tak terbayangkan untuk peneliti Indonesia, tentu saja anak muda
ini tidak dapat dipandang enteng di komunitas ilmiahnya. Didorong rasa ingin
tahu tentang sepak terjangnya di komunitas ilmiah, saya segera meramban laman
tempat yang bersangkutan bekerja.
Saya terkesima, di grup
penelitiannya bercokol dua profesor warga negara kita, lulusan perguruan tinggi
Tanah Air, dengan segudang prestasi ilmiah seperti publikasi dan paten
internasional. Saya sangat yakin, NUS bukan hanya menyimpan dua ilmuwan seperti
ini. Masih banyak yang lain yang jarang terliput. Dengan prestasi yang mereka
miliki, mereka bersafari ke Tanah Air mencari calon-calon mahasiswa
pascasarjana cemerlang untuk diajak bergabung dengan grup mereka.
Cemerlang
di Luar
Jelas hal ini menjadi pertanyaan
besar, mengapa anak bangsa bisa begitu cemerlang di luar negeri. Sedikit saja
keluar dari peta Indonesia, prestasi dapat meningkat luar biasa. Pasti ada yang
salah dengan sistem kita karena kita jelas menyimpan segudang generasi muda
genius, yang dibuktikan dengan perolehan medali emas di ajang-ajang olimpiade
nasional hingga internasional, baik sains maupun sosial.
Memang jumlah dana penelitian
yang diinvestasikan pemerintah masih jauh dari cukup. Namun, jika dibandingkan
dengan 10 tahun silam, peningkatan prestasi penelitian kita tidak seimbang
dengan peningkatan dana yang terjadi. Tidak diragukan lagi, sistem yang berlaku
telah memberikan andil penting pada permasalahan ini, apalagi jika dikaitkan
dengan merosotnya prestasi ilmuwan kita dibandingkan dengan tetangga.
Sebenarnya, permasalahan
penelitian di Tanah Air sudah cukup jelas meski sangat rumit karena terkait
dengan sistem dan budaya, seperti kepangkatan dan jabatan, kegilaan akan gelar,
hingga uang. Solusi yang paling ideal tentu saja ”reformasi”. Namun, jelas hal
ini sulit dilakukan. Resistensinya mahadahsyat karena menyangkut hajat hidup
banyak individu. Contoh paling sepele adalah kesadaran pentingnya publikasi
internasional.
Publikasi
Penelitian
Publikasi internasional
sebenarnya untuk menjaga kualitas penelitian agar hasil penelitian bermakna
secara universal. Karena produktivitas penelitian berkaitan langsung dengan
karier si peneliti, publikasi ini membuat peneliti tetap diakui sejawatnya
secara global.
Selain itu, publikasi
internasional juga sangat diperlukan masyarakat global karena melalui cara ini
para peneliti bergotong royong menyelesaikan permasalahan sehingga hasilnya
dapat lebih cepat dinikmati masyarakat. Namun, yang tidak kalah penting adalah
publikasi internasional merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah atas dana
yang telah dipakai, yang jauh lebih berarti dari sekadar laporan keuangan
karena hanya sejawat sebidang yang dapat memeriksa keabsahan hasil penelitian.
Kedua anak muda di NUS itu paham
betul bahwa mereka tidak dapat mempertahankan karier jika tidak memiliki
publikasi di Nature atau Science. Di republik ini, publikasi internasional
malah sering dibenturkan dengan keperluan praktis sesaat atau dengan kondisi
penelitian yang kurang kondusif saat ini.
Lebih tragis lagi, kewajiban
publikasi internasional bagi calon doktor yang sudah sangat lazim saat ini,
baik di negara maju maupun jiran, mendapat tentangan hebat di sini. Hal ini
sangat menyedihkan karena selain sangat tidak tepat, pembenturan ini
mencerminkan ketidakpahaman akan hakikat penelitian.
Aturan
Penelitian
Jika reformasi terasa mustahil
dilakukan, mungkin pemerintah dapat mengawal kemajuan penelitian melalui
peraturan penyelenggaraan penelitian (PPP) di perguruan tinggi. Karena PPP
harus dapat memagari kualitas peneliti dan hasil penelitian melalui publikasi
dan paten internasional, dalam pembuatannya kita harus belajar dari negara
berkembang yang berhasil dalam hal ini. Sebutlah Singapura, Malaysia, atau
Afrika Selatan. Untuk meningkatkan sinergi dan efisiensi, perlu pembagian porsi
yang jelas antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian (kementerian).
Seyogianya PPP mendorong semua
perguruan tinggi mengalokasikan sejumlah dana untuk tujuan penelitian. Untuk
perguruan tinggi riset, alokasi dana penelitian 10 persen dari dana operasional
bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan dapat dikatakan minimal. Perguruan
tinggi juga dapat menugaskan sejumlah pengajar yang berprestasi untuk fokus
dalam penelitian, seperti yang dilakukan Universitas Indonesia dalam empat
tahun terakhir.
Sejalan dengan itu, pemerintah
harus pula melakukan peningkatan investasi penelitian melalui pembangunan
infrastruktur penelitian secara berkala serta pemberian insentif penelitian.
Kita tahu, investasi penelitian di negara kita kalah jauh dibandingkan dengan
negara jiran. Maka, PPP harus dapat mendorong tercapainya critical mass di tiap
komunitas penelitian. Pada akhirnya, PPP harus berhasil mengangkat peradaban
bangsa ini melalui penelitian, sesuai dengan amanat UUD 1945.
Terry
Mart ;
Dosen
Fisika FMIPA Universitas Indonesia
KOMPAS,
29 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi