ISTILAH menerabas pernah
dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat dalam bunga rampainya, Kebudayaan,
Mentalitet, dan Pembangunan (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut
Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan
turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara
lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri,
berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab.
Menerabas itu melakukan
pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar
masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena
memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan
yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang
melangkahi rambu-rambu kepatutan.
Mental menerabas itu terjadi di
hampir setiap lini kehidupan. Namun, yang memprihatinkan ialah itu sudah
menggurat akar di dunia pendidikan kita. Sebagai contoh, program strata satu
(S-1) semestinya ditempuh minimal selama empat tahun. Namun, tidak sedikit
orang memilih jalan yang mudah, yaitu dengan kuliah Sabtu dan Minggu--kalau
perlu beban yang sulit dihindari. Bagi mereka, yang penting lulus, mendapatkan
ijazah, diwisuda, dan gelar akademik hebat tersemat di belakang nama. Persoalan
apakah gelar yang disandang sesuai dengan kemampuan seseorang atau tidak, itu
bukan menjadi masalah.
Para guru, dengan adanya
kewajiban sertifi kasi, harus memiliki ijazah minimal S-1. Maka, banyak
perguruan tinggi (PT) membuat program-program pendidikan singkat. Sambil
bekerja, para guru dianjurkan kuliah untuk mendapatkan ijazah S-1. Agar target
segera tercapai, mereka diberi kemudahan-kemudahan. Persoalan apakah ilmu
pengetahuan mereka setelah mendapatkan ijazah S-1 benar-benar bertambah atau
tidak, itu biasanya tidak dianggap sebagai masalah, yang penting semua guru
bergelar akademik S-1!
Para dosen yang hendak mendapat
gelar guru besar (profesor) biasanya diharuskan membuat buku. Kegiatan membuat
buku, lebih-lebih yang berkualitas, jelas tidak gampang. Akan tetapi, sebagian
dosen lebih senang menerabas dengan menyewa penulis bayangan (ghost writer).
Dengan imbalan yang sudah disepakati, beberapa buku berkualitas sudah tersedia.
Sang dosen pun tidak perlu repot-repot mengumpulkan berbagai referensi, buku
yang menjadi syarat pengajuan guru besar secepat kilat di tangan. Perkara nanti
sang dosen ketika menjadi guru besar berkualitas atau tidak, itu lain cerita.
Yang jelas sang dosen sudah menjadi guru besar!
Mentalitas menerabas lain yang
akhir-akhir ini ramai diperbincangkan ialah praktik perjokian dalam ujian masuk
(UM) di kelas internasional Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).
Perjokian itu memang bukan kali pertama, sebelumnya sudah terjadi sejak 2009
hingga 2011 di Universitas Hasanuddin, Makassar, Institut Teknologi Bandung
(ITB), dan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) favorit lainnya.
Degradasi
Karakter?
Perjokian ujian masuk PTN jelas
memalukan. Fenomena tersebut mengindikasikan muka bopeng dalam dunia pendidikan
belum bisa diobati. Lebih spesifik lagi, pendidikan karakter yang semestinya
mendidik siswa/mahasiswa agar berperilaku jujur, percaya diri, benci
kebohongan, antikorupsi, dan menjadi sosok kesatria belum efektif berjalan.
Pendidikan karakter baru sebatas wacana yang menarik diseminarkan, tetapi sulit
diaplikasikan. Internalisasi baru sebatas ranah kognitif sehingga belum menjadi
nilai yang me landasi gerak praksis dalam ranah kehidupan nyata siswa.
Begitu rapi dan sistematisnya praktik
perjokian membuat masyarakat kaget bercampur prihatin. Kaget karena praktik
perjokian ternyata sudah demikian terorganisasi, canggih, dan pelakunya amat
profesional. Prihatin karena mau jadi apa bangsa ini mendatang jika generasi
muda sekarang sudah melegalkan berbagai tindak tercela dan menerabas.
Masuk PTN, apalagi jurusan
kedokteran di UGM, merupakan impian banyak orang. Itu karena animo masyarakat
untuk masuk ke PTN terus meningkat. Namun, tidak banyak yang mampu baik secara
kualitas personal dan pendanaan. Karena mentalitas menerabas yang menggurat
akar, mereka yang kebetulan berkantong `tebal' rela memakai berbagai cara, ter
masuk menyewa joki. Pendek kata, mereka tidak perlu susahsusah menempuh jalur
lumrah dengan mengikuti ujian dan mengerjakan soal sendiri. Tinggal menyewa
orang lain dengan imbalan puluhan bahkan ratusan juta rupiah, semua sudah
beres!
Pada fenomena itu, ketinggian
budi dan karakter yang menjadi ancangan mulia pendidikan menjadi tergadaikan.
Ketika hendak masuk kuliah saja sudah melegalkan praktik haram, tidak menutup
kemungkinan yang bersangkutan akan terus meng ulang hal serupa nanti. Ironis
bukan?
Di sisi lain, praktik perjokian
menandakan fenomena menipisnya kesadaran dan kecerdasan spiritual di kalangan
kaum muda. Benar dari segi kecerdasan intelektual yang diasosiasikan pada
kemampuan otak kiri, mereka tidak diragukan lagi. Namun aspek kecerdasan otak
kanan--yang salah satunya menunjukkan kepekaan pada kepatutan secara sosial dan
spiritual--tidak ada sama sekali.
Maraknya praktik perjokian
disebabkan tidak ada hukuman tegas baik bagi joki yang tertangkap maupun siswa
yang menyewanya. Hukuman yang tidak tegas tidak akan memberikan efek jera bagi
pelakunya. Hal itu bahkan bisa memberikan inspirasi bagi munculnya joki-joki
baru. Dengan imbalan bayaran yang tinggi, mereka tetap akan ambil risiko untuk
menjadi joki.
Para orangtua harus dilibatkan.
Pasalnya, mereka juga memiliki peran penting bagi mulus tidaknya praktik
perjokian. Peran orangtua sangat sentral dalam masalah tersebut, terutama untuk
membina a anak mereka agar mengajark kan kejujuran. Keberhasilan anak di masa
depan tak hanya ditentukan tempat dia berkuliah, tapi juga bagaimana anak
diajari norma-norma yang baik sebagai bekal hidupnya nanti di masyarakat. Para
orangtua harus mencerahkan putra-putri mereka agar tidak memilih jalur `pintas
dan sesat'. Singkatnya, dalam diri anak harus ditanamkan rasa percaya diri
untuk mengikuti SNMPTN atau UMPTN dengan kemampuan sendiri, bukan dengan
bantuan orang lain.
Peran
Pendidikan
Antropolog Koentjaraningrat jauh
hari sudah mengingat kan betapa bahayanya mentalitas menerabas itu. Benar bahwa
menerabas, dalam hal-hal tertentu, menjadikan hidup ini mudah. Tanpa harus
mengalami susah payah, berpikir, dan bekerja keras, dengan cara menerabas
kebutuhannya terpenuhi. Akan tetapi, mental seperti itu sebenarnya sangat
membahayakan di masa depan. Mental menerabas tidak akan mendidik. Itu bahkan
akan melahirkan bencana di masa mendatang. Seorang yang suka hidup menerabas
akan selalu menanggung risiko di kemudian hari.
Selain itu, dalam mentalitas
menerabas, segala cara dihalalkan demi mencapai hasil yang diinginkan.
Keinginan untuk mencapai hasil dalam waktu yang singkat dengan menghalalkan
segala cara sering kali membuat akal sehat tak bisa bekerja secara optimal.
Rasionalitas menjadi tumpul dan berganti ambisi meraih puncak tertinggi dan
dihormati banyak orang. Rasionalitas yang seharusnya menjadi tameng untuk
berdinamika dalam dunia pendidikan malah ditempatkan di urutan terakhir dari
pencapaian akademis.
Mentalitas menerabas merupakan
gejala laten yang harus diberantas demi perwujudan nilai-nilai dasar
pendidikan, yakni memanusiakan manusia. Integritas pribadi yang mulai luntur
harus dibenahi dengan mengevaluasi sistem pendidikan yang diterapkan di Tanah
Air ini. Kurikulum harus dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memberikan
pemahaman kepada anak didik akan pentingnya sebuah proses. Keberhasilan atau
pencapaian sesuatu harus dilihat sebagai sebuah proses panjang, bukan kerja
yang instan. Para guru dan segenap stakeholder pendidikan harus menjadi contoh
bagi anak didik bagaimana menghargai sebuah proses itu. Pendidikan karakter
harus kembali diefektifkan, bukan sekadar jargon politik yang menghias indah
kebesaran sang penguasa.
Jika mentalitas jenis itu terus
dipelihara dalam balutan pendidikan, kritik Ivan Illich tentang pentingnya
de-schooling society sebagai prinsip filosofis dalam membangun kejelasan karakter
dalam pendidikan sangat penting dan dibutuhkan. Sangat jelas bahwa niat dan motivasi
orang kebanyakan untuk belajar ialah ijazah dalam rangka mencari pekerjaan dan
mengejar jabatan. Itu sesuatu yang tentu saja sangat absurd dan menghilangkan
peran moralitas dan akal sehat. Semoga arah pendidikan kita ke depan dapat
mengatasi masalah mentalitas tak terpuji semacam itu.
Agus
Wibowo ;
Pemerhati
Pendidikan; Alumnus Pascasarjana UN Yogyakarta
MEDIA
INDONESIA, 8 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi