INDONESIA dikenal akan kekayaan sumber daya
alam (SDA) laut yang melimpah, seperti ikan, terumbu karang, wilayah wisata
bahari, sumber energi minyak dan gas bumi, serta mineral langka, sekaligus
menjadi media perhubungan antarpulau. Kawasan pantai dengan panjang 81 ribu km
merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem biologis yang kaya akan
keanekaragaman sumber daya hayati.
Sayangnya, kekayaan laut itu belum tergarap
secara optimal. Dari sumber daya perikanan misalnya, dari 7.872.347 ton potensi
lestari ikan, baru sekitar 4,7 juta ton yang bisa ditangkap. Nilai itu setara
dengan penghasilan US$1,76 juta. Padahal, pencurian ikan oleh nelayan asing, terutama
dari Thailand, setara dengan US$2 miliarUS$4 miliar. Itu artinya nilai kekayaan
laut yang dicuri bangsa asing jauh lebih besar daripada yang dimanfaatkan
nelayan domestik (Media Indonesia, 5/1/11).
Menurut data Statistik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (2009), investasi pada sektor kelautan sangat rendah. Hal itu
disebabkan minimnya sumber daya manusia (SDM) yang ahli kelautan, di samping
sedikit dari lulusan perguruan tinggi kelautan yang benar-benar ingin menekuni
bidang tersebut. Akibat kekurangan SDM pula, dari 8.500 jenis keanekaragaman
hayati laut Indonesia, baru sekitar 9-11 jenis yang diteliti. Padahal,
keanekaragaman hayati laut kita itu terbesar dan terlengkap di dunia.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa
kekayaan SDA laut kita yang melimpah itu belum bisa dimanfaatkan secara
optimal? Bagaimana strategi agar pendidikan kelautan bisa diberdayakan secara
optimal?
Kelas
Bawah
Menurut Antar Setiabudi (2010), generasi muda
kita kurang berminat menekuni sektor kelautan dan menjadikannya sebagai
profesi. Akibatnya, sebagian besar lembaga pendidikan bidang kelautan di
berbagai jenjang selalu kekurangan peserta didik. Setiap tahun ajaran baru,
jumlah kekurangan itu tidak bergeser pada angka 50%-70% dari fasilitas yang
disediakan. Di perguruan tinggi (PT), kondisi serupa juga terjadi. Animo
sebagian besar generasi muda lebih pada jurusan-jurusan kependidikan,
kedokteran, teknik, dan sebagainya. Jurusan kelautan dan pertanian terkesan
`sepi' peminat.
Minimnya peminat jurusan kelautan, lanjut
Antar, dipicu pola pikir masyarakat yang cenderung `miring' terhadap laut.
Memang harus diakui, paradigma sebagian besar ma syarakat mengenai laut
diidentikkan sebagai kolam pembuangan, seperti kasus pembuangan limbah
industri, rumah tangga, dan pertanian. Pendek kata, laut itu tak lebih sebagai
tempat pembuangan sampah. Karena dianggap sebagai kawasan yang kotor, sektor
kelautan tidak lebih baik daripada sektor pertanian. Maka, profesi sebagai
pelaut dipandang tidak menguntungkan. Selain penuh risiko secara finansial,
taruhannya tidak tanggungtanggung, nyawa!
Bila dilihat dari status sosial, sebagian
masyarakat kita memandang profesi di sektor kelautan tidak lebih baik daripada
profesi petani. Padahal, profesi petani saja dianggap sebagai kelas dua atau
kelas bawah. Sementara itu, profesi sebagai abdi negara seperti PNS, tentara,
dan polisi dianggap kelas satu atau kelas atas.
Pola pikir yang `miring' bahkan tidak jarang
negatif itu masih ditambah dengan belum berhasilnya pendidikan menggeser mitos
tentang laut. Mitos menggambarkan laut sebagai kawasan yang menakutkan, penuh
dengan `roh' halus yang setiap saat bisa merenggut nyawa. Di pesisir selatan
Pulau Jawa misalnya, ada mitos Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai ratu laut
selatan. Secara pasti, legenda yang lebih sering dimitoskan dan
dibesar-besarkan itu membekas dan memengaruhi pola pikir anak-anak mengenai
laut hingga mereka dewasa kelak.
Kondisi sebagaimana disebutkan diperparah
dengan minimnya pengetahuan kelautan yang dimasukkan ke kurikulum nasional.
Pendek kata, pengetahuan tentang laut hampir-hampir tidak disinggung dalam
kurikulum pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga menengah. Kalaupun sedikit
disinggung, itu atas inisiatif atau kreativitas dari guru yang mengajar, bukan
atas instruksi kurikulum. Hal itu tentu saja sangat berbeda dengan
negara-negara maritim besar di dunia. Di negara China, Jepang, dan Norwegia,
misalnya, sejumlah pengetahuan dasar mengenai kelautan sudah ditanamkan sejak
anak-anak duduk di tingkat dasar.
Revitalisasi
Sejatinya profesi di sector kelautan itu jauh
lebih menguntungkan, di samping kesempatannya masih terbuka lebar. Tidak hanya
bangsa kita yang kekurangan SDM di bidang kelautan, di negara-negara maritim
internasional juga tidak jauh berbeda. Menurut data International Maritime
Organization (IMO, 2010), kekurangan SDM di bidang kelautan mencapai lebih dari
60 ribu orang setiap tahun. Bahkan, pada 2014, sesuai dengan data IMO,
kekurangan SDM mencapai lebih dari 183 ribu perwira pelaut. Jika dilihat dari
tingkat penghasilan, gaji menjadi pelaut di dunia internasional tidak sedikit,
mulai US$2.000 hingga US$12 ribu.
Dengan sumber daya laut yang melimpah
sebagaimana disebutkan, tentu amat sayang jika itu tidak segera dimanfaatkan
demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini. Lebih sayang lagi jika suatu saat
kekayaan itu dieksploitasi SDM asing lantaran generasi muda kita enggan ke
laut. Sebelum hal itu menjadi mimpi buruk bagi generasi mendatang dan bangsa
ini pada umumnya, tampaknya perlu ada langkah berani dan strategis. Untuk
memulai langkah itu, pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder pendidikan
perlu bekerja sama, merumuskan roadmap pendidikan kelautan yang tepat.
Revitalisasi pendidikan dan pembangunan yang
berorientasi kelautan paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu memasukkan
kurikulum pendidikan berbasis kelautan, mulai tingkat dasar (SD/MI) hingga
perguruan tinggi. Benar dalam kurikulum terbaru (KTSP) sudah ada kebebasan bagi
guru untuk memberikan muatan-muatan materi yang sifatnya lebih sesuai dengan
konteks di sekitar anak didik. Bagi yang dekat dengan laut, potensi kelautan
itu mungkin selalu disinggung. Namun bagi mereka yang ada di gunung, tentu lain
lagi ceritanya.
Dengan dimasukkannya kurikulum berbasis
kelautan itu, tulis Y Paonganan (2010), bangsa ini ke depan dapat memusatkan
perhatian pada pembangunan kelautan guna menggali potensi kekayaan laut
tersebut.
Kedua, pendidikan tinggi kelautan perlu
diperbaiki, baik dari sisi kurikulum maupun fasilitasnya. Karena minimnya
pengetahuan tentang kelautan sejak dasar, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi
kelautan kurikulumnya kurang adaptif, tidak mengherankan jika SDM yang
diluluskan tergolong rendah.
Lulusan pendidikan kelautan kita, kata Kepala
Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo
(2010), masih jauh dari standar internasional. Akibatnya, mereka sulit bersaing
dengan tenaga kelautan asing.
Guna memperbaiki kelemahan sekaligus mengatasi
ketertinggalan dari bangsa maritim lain, kurikulum pendidikan tinggi kelautan
harus lebih adaptif dengan kemajuan dan perlu mempertajam kecakapan
mahasiswanya di bidang kelautan, di samping lebih fokus pada pendalaman materi
bahasa Inggris. Pendalaman bahasa Inggris menjadi penting mengingat untuk
memenuhi kebutuhan pasar dunia internasional, salah satu syaratnya ialah lulusan
harus benar-benar fasih berbahasa asing. Di Filipina, misalnya, pelajaran
kelautan sudah disampaikan dalam bahasa Inggris.
Ketiga, pola pembangunan perlu segera
diorientasikan ke pengembangan bidang kelautan. Orientasi tersebut bertujuan
agar SDA kelautan bisa dimanfaatkan secara maksimal demi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Pengelolaan tata ruang daerah juga perlu dialihkan dari
darat (kontinental) ke laut.
Selama ini banyak daerah sebenarnya memiliki
pantai yang panjang, tetapi orientasi tata ruang mereka lebih dominan ke darat.
Untuk mewujudkan hal itu, dalam jangka panjang, pemerintah tentu tidak bisa
bekerja sendiri. Pemerintah perlu berkoordinasi dan bekerja sama dengan
berbagai pihak. Koordinasi pemerintah terutama Kementerian Kelautan dan
Perikanan bersama dengan perguruan tinggi, misalnya, bertujuan untuk
berinvestasi mencetak tenaga ahli kelautan. Sementara itu, koordinasi
pemerintah dengan industri juga diperlukan untuk mengintegrasi investasi
(terutama infrastruktur) dalam menggarap potensi kelautan tersebut.
Pembangunan yang berorientasi kelautan pada
awalnya memang membutuhkan anggaran tidak sedikit. Andai saja SDA laut kita
bisa dimanfaatkan secara maksimal, kata banyak para pakar dan ahli, tidak akan
ada lagi pengangguran atau penduduk miskin di negeri ini. Tentu saja
pemanfaatan yang benar-benar sampai dan dinikmati segenap rakyat Indonesia,
tidak hanya pada segelintir orang, golongan, atau oknum tertentu.
Pertanyaannya, beranikah pemerintah bersama stakeholder merevitalisasi
pendidikan kelautan yang ditopang dengan pembangunan berorientasi kelautan?
Agus
Wibowo ;
Magister
Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2013
Artikel Terkait:
MEDIA INDONESIA
- Mitos Pengelolaan Biaya Pendidikan
- Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia
- Tantangan Implementasi Kurikulum 2013 pada Madrasah
- Bias Gender dan Pemihakan Kurikulum Kita
- Tragedi Pendidikan dalam Tes Keperawanan
- Enam Ciri yang Membebaskan Pendidikan dari Korupsi
- Pendidikan Agama dan Keteladanan
- Mata Rantai Kekerasan dalam Pendidikan
- Universitas Menuju Knowledge
- Ramadhan dan Pendidikan Antianarki
- Guru dan Mutu Pendidikan
- Sarmili dan Guru Inspiratif
- Kurikulum Baru dan Peningkatan Standar Proses
- Memaknai Kebebasan Guru
- Tantangan Universalitas Pendidikan
- Ke Mana Arah Pendidikan Kita?
- Memikirkan Kesatuan Visi Pendidikan Nasional
- Pendidikan Tinggi untuk Siapa?
- University Social Responsibility
- Memperluas Jaringan Peneliti
- Geng Sekolah dan Kekerasan
- Pancasila dan Tertib Sosial
- Ujian Nasional dan Urgensinya
- 5 Perkara Menuju Pendidikan Berkualitas
- Berjuang di Pendidikan 2.0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi