"LPTK, termasuk Unnes, perlu
kembali meneliti ilmu yang dulu disebut pedagogik, didaktik, dan metodik"
ARTIKEL Mendikbud M Nuh makin memperjelas
''filosofi'' pemerintah atas Kurikulum 2013. Salah satu roh kurikulum baru itu
adalah kompetensi inti yang menjadi pengikat antarkompetensi pada tiap mata
pelajaran (Kompas, 7/3/13).
Dengan kata lain, kompetensi inti akan
digunakan menjadi integrator horizontal. Kompetensi inti itu bebas dari mata
pelajaran dan ia bukan mata pelajaran. Dalam hal ini, mata pelajaran akan
menjadi pasokan kompetensi dasar yang nantinya diserap peserta didik melalui
proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti.
Kalau boleh disederhanakan, seorang guru harus
dapat menggunakan mata pelajaran yang diajarkan sebagai media untuk
mengantarkan, antara lain sikap hidup atau pandangan hidup, nilai hidup, serta
pengetahuan dan keterampilan hidup. Seorang guru mata pelajaran Fisika
misalnya, tidak saja mengajarkan Fisika sebagai pengetahuan namun juga lewat
mata pelajaran itu dia bisa membawa peserta didik menjadi insan yang memiliki
pandangan hidup, nilai hidup, sikap dan keterampilan hidup, dan sebagainya.
Saya masih ingat semasa SMA, guru mata
pelajaran Fisika mengajarkan subbahasan peredaran planet. Dia mengaitkan antara
lain dengan kebesaran Tuhan lewat cerita menarik, sehingga mencerahkan
spiritualitas peserta didik. Jujur, saya justru lebih ingat wajah guru Fisika
dibandingkan wajah guru Agama dalam hal pencerahan religiositas. Guru Agama
hanya mengajarkan soal halal-haram, dosa-pahala, dan surga-neraka.
Tulisan ringan ini tidak akan memperdebatkan
penerapan kelayakan Kurikulum 2013 dalam
dunia pendidikan namun sekadar mengambil momen perdebatan untuk
memikirkan bagaimana menghasilkan guru yang kreatif. Artinya, dapat
menghidupkan apa pun nama kurikulum itu, untuk membekali siswa agar lebih siap
menghadapi hidup dan kehidupan.
Penataan
Kurikulum
Pertanyaannya, mampukah lembaga pendidik calon
guru atau lembaga pendidikan tenaga pendidikan (LPTK) menghasilkan guru
kreatif, yakni guru yang dapat menjalankan kompetensi inti (meminjam istilah
dalam Kurikulum 2013) untuk tiap mata pelajaran yang diampu?
Harus dipahami pula bahwa sehebat apa pun
kurikulum itu dirancang, kunci keberhasilan pendidikan tetap terletak di tangan
guru yang cerdas dan kreatif, serta yang mengajar dengan sepenuh hati. Ibarat
kendaraan, meskipun bermerek Mercedes Benz, BMW, atau Lexus, jika si sopir
tidak ahli maka percuma saja.
Perubahan IKIP menjadi universitas, menyisakan
permasalahan tersendiri, yakni kesinambungan dosen bagi para calon guru yang
fokus menekuni penelitian dan pengembangan ilmu guru, ilmu keguruan, dan ilmu
kependidikan.
Jika Universitas Negeri Semarang (Unnes)
misalnya, ingin tetap menghasilkan guru yang kreatif maka harus ada pembagian
tugas yang jelas ketika para dosen meneruskan belajar pada jenjang S-2 dan S-3,
antara jurusan murni (nonkependidikan) dan mereka yang tetap berkonsentrasi
dalam dunia kependidikan.
Karenanya, LPTK, termasuk Unnes, perlu menata
kurikulum, perlu kembali meneliti ilmu-ilmu yang dulu disebut ilmu pedagogik,
didaktik, dan metodik. Bahkan bila perlu mendesain ulang, dan kembali menekuni.
Artinya dosen kependidikan lebih fokus meneliti dan mengembangkan ilmu-ilmu
tersebut. Demikian pula pengembangan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, administrasi
pendidikan, ilmu jiwa anak harus selalu didesain ulang dan diteliti untuk
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Ilmu pedagogik adalah ilmu bagaimana
membesarkan dan mengasuh anak; ilmu didaktik adalah ilmu tentang hal ikhwal
membuat persiapan mengajar, dan ilmu metodik adalah ilmu tentang hal ikhwal
cara mengajarkan ilmu-ilmu tertentu, seperti kesenian, menyanyi, menggambar,
atau pekerjaan tangan.
Guru harus menguasai ilmu pedagogik dengan
baik karena banyak persoalan seperti peningkatan persentase anak sekolah yang
misalnya terlibat kekerasan, tawuran, menyontek, dan tidak disiplin. Tentu
persoalan ini tak hanya bermula dari dunia pendidikan, namun setidak-tidaknya
harus ada cetak biru yang jelas mengenai cara-cara mengembangkan ilmu
kependidikan.
Guru perlu banyak dibekali wawasan
kewilayahan, bahasa asing, dan sebagainya. Bagaimana mungkin bangsa dan negara
besar ini, yang terdiri atas ribuan pulau, adat, bahasa, suku, tidak dipahami
oleh para guru mata pelajaran? Bagaimana mungkin kebudayaan bangsa ini dapat
dijadikan medium menghadapi tantangan global kalau hanya untuk menunjukkan
letak Bunaken atau Raja Ampat saja misalnya, 80 % guru tidak tahu, apalagi siswa? Belum lagi menjelaskan
keunikan budaya lokal lainnya.
Dalam menghadapi globalisasi saat ini dunia
pendidikan harus mampu mengantarkan siswa untuk menguasai kompleksitas pola
pikir dan pola tingkah laku yang mengarah kepada hasil karya dari pendayagunaan
seluruh akal budi. Selamat ulang tahun Unnes, tantanganmu sangat berat.
Saratri
Wilonoyudho ;
Dosen
Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Alumnus
S-3 Multidisiplin UGM
SUARA
MERDEKA, 31 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi