Pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat
sekolah dasar (SD/ MI) hingga menengah (SMA/MA) dalam hitungan hari. Anak didik
mulai disibukkan berbagai kegiatan persiapan UN, seperti pendalaman materi/les,
latihan mengerjakan soal UN di sekolah, hingga mengikuti berbagai bimbingan
belajar (bimbel). Akibat padatnya kegiatan menyongsong UN itu, waktu anak didik
untuk bermain, mengembangkan kreativitas melalui seni, olahraga, kewirausahaan,
dan karakter mulia lain sama sekali tidak mendapat porsi. Singkatnya, seluruh
waktu anak didik habis digunakan untuk mempersiapkan diri, dengan harapan kelak
bisa menjawab soal dan lulus UN.
Karena anak didik disibukkan persiapan
menghadapi UN itu, ujung-ujungnya konsentrasi mereka mengikuti pendidikan
menjadi berubah arah. Bagaimana tidak? Awalnya, tujuan utama belajar ialah
memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan, di samping menempa karakter dan
kepribadian anak. Namun, tujuan itu bergeser--atau sengaja digeser--sekadar
lulus UN. Kepentingan itu sangat pragmatis dan jelas tidak sesuai dengan tujuan
pendidikan bangsa sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dari fenomena kesibukan anak didik menghadapi
UN itu, terlihat sekali bahwa sebenarnya UN telah menjadi alat pereduksi makna
pendidikan, yang semula sebagai wahana pengembangan potensi, menjadi instrumen
pengukur kecerdasan kognitif semata. Alihalih memberikan anak ruang kreativitas
dan berimaji, itu justru menjadi `monster' yang merampas kebebasan serta hakim
penentu nasib anak didik. Itulah yang ditengarai Prof Hamid Hasan (2008)
sebagai proses pereduksian makna pendidikan, dari wahana pe ngembangan potensi
menjadi instrumen pengukur kecerdasan kognitif semata.
Anehnya, pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tetap `ngotot' mempertahankan `monster'
itu walau dalam bentuk yang berbeda.
Beban
Psikologis?
Tampaknya, pemerintah melalui Kemendikbud
tidak pernah belajar--atau memang tidak mau tahu--fenomena di lapangan.
Berbagai kasus yang dilaporkan orangtua kepada Komisi Nasional (Komnas)
Perlindungan Anak sebagian besar disebabkan pelaksanaan UN, seperti anak yang
stres, bahkan depresi, gara-gara seharian penuh mengikuti pendalaman materi
menyambut UN. Bahkan ada anak yang rela menghabisi hidupnya karena merasa malu
teramat sangat tidak lulus UN.
Kemendikbud rupanya juga tidak mengkaji dengan
bijak, bahwa dampak kegagalan UN itu mencakup kawasan yang amat luas. Bukan
hanya pada institusi pendidikan semata, melainkan juga pada aspek yang lain,
seperti sistemstruktur, persoalan sosiologis, hingga psike konsumen pendidikan.
Bagi orangtua misalnya, kegagalan putraputri mereka menempuh UN menjadi semacam
`aib' yang mencoreng nama baik. Mereka juga akan mendapat sebutan sebagai
orangtua yang `gagal' mendidik anak.
Pun begitu pengaruhnya pada anak didik. Selain
memunculkan perasaan-perasaan negatif seperti anak didik merasa sebagai orang
yang gagal, tidak berguna, dan bodoh, kegagalan menempuh UN menimbulkan luka
psikologis yang amat dalam. Luka itu akan terus terbawa hingga anak didik
dewasa kelak. Luka itu teramat sakit, yang menyebabkan mereka melenceng dari
alur potensi atau `fitrah' nya.
Penderitaan rutin yang menimpa anak didik,
sepertinya tidak mendapat respons serius dari pemerintah. Buktinya, sampai saat
ini pemerintah masih saja mempertahankan UN sebagai alat evaluasi hasil
pendidikan. Alasannya selalu sama; demi kemajuan pendidikan dan peningkatan
human development index (HDI). Alasan demikian sepintas memang masuk akal.
Namun, sejatinya, itu sekadar alasan untuk menutupi ketidakberhasilan-untuk
mengatakan kegagalan--pemerintah dalam menciptakan instrumen evaluasi hasil
pendidikan nasional.
Benar pemerintah telah menciptakan format
penilaian terbaru, yang dianggap lebih adil dan holistis (ranah afektif,
psikomotorik, dan kognitif). Namun, pada pelaksanaannya, format penilaian itu
tetap hanya berkutat pada satu aspek (kognitif), sebagai akibat ketidaksiapan
segenap aspek pendukungnya; seperti banyaknya tenaga pendidik yang tidak lolos ujian
sertifikasi alias tidak kompeten, sarana prasarana yang tidak menunjang, serta
keterbatasan akses geografis.
Selain itu, pemerintah memang sudah menetapkan
stan dar nilai UN, dengan harapan terjadi pemerataan mutu dan kualitas
pendidikan secara nasional. Namun, fakta di lapangan berbicara lain.
Ketidakjujuran merebak sehingga begitu mudahnya sekolah memenuhi standar itu
lantaran terjalinnya kolusi yang demikian rapi; antara pengawas, siswa, dan
sekolah. Akibatnya, di atas kertas memang lulusan sebuah sekolah memenuhi
standar UN, tetapi yang senyatanya tidak demikian. Bukankah itu justru
merugikan tidak saja yang bersangkutan, tetapi juga dunia pendidikan kita pada
umumnya?
Kondisi yang karut-marut itu masih diperparah
adanya budaya buruk pendidikan kita; ganti menteri ganti pula kebijakan.
Akibatnya, model evaluasi pendidikan tidak semakin sempurna, tetapi justru
semakin runyam. Siapa lagi yang menanggung dampaknya jika bukan anak didik?
Setiap tahun ribuan bahkan jutaan anak didik yang gagal menempuh UN tersudut
pada beban psikologis yang amat berat.
Benar rupanya apa yang dikatakan R Tagore
(2000), “Pendidikan itu tak lebih siksaan yang disengaja.“ Dalam hal ini,
pemerintah melalui UN telah menyiksa generasi muda calon ahli waris negeri ini
di masa depan. Alangkah kejamnya.
Bukan
Solusi
Akibat takut tidak lulus UN, para orang tua
lantas menyuruh anak mereka mengikuti program kegiatan bimbingan belajar.
Fenomena itu jelas menguntungkan penyelenggara bimbel; yang ditandai
menjamurnya program bimbel bak cendawan di musim hujan; dengan beragam nama, jenis
pelayanan, dan lamanya. Seperti iklan tukang sulap saja, banyak lembaga
bimbingan belajar yang menggaransi jika peserta didik tidak lulus UN, uang
kembali!
Kegiatan bimbel sejatinya dilematis. Di satu
sisi menguntungkan, tetapi di sisi lain justru merugikan. Menguntungkan karena
secara psikologis anak didik sudah siap untuk mengerjakan berbagai macam bentuk
soal UN. Berbeda tentunya bagi mereka yang tidak pernah mengikuti bimbel,
selain asing dengan berbagai bentuk dan jebakan soal UN, mereka tidak menguasai
triktrik dan jalan pintas mengerjakannya. Penelitian para ahli pendidikan
setidaknya menemukan adanya korelasi yang signifikan antara kegiatan bimbel dan
kesiapan anak didik mengerjakan soal.
Kegiatan bimbel merugikan lantaran sifatnya
yang serbadarurat dan instan. Itulah yang sering luput dari perhatian para
orangtua. Memang dalam bimbel terjadi interaksi dan relasi yang dekat antara
tutor dan anak didik. Akan tetapi, sifatnya instan dalam rangka berlatih
mengerjakan soal, bukan bimbingan untuk mengembangkan kreativitas, pola
berpikir, rasa ingin tahu, wawasan, dan sikap anak didik.
Karena potensi-potensi anak tidak terbina
selama bimbel, yang timbul justru dampak negatif, yakni keyakinan memakai jalan
pintas guna mencapai tujuan--dalam hal ini tujuan lulus menjawab soal. Tanpa
disadari, anak didik diperkenalkan kepada mental-mental menerabas, yang picik
dan kerdil.
Ironisnya, dalam rangka mengejar target lulus
UN 100%, sekolah kita beralih haluan menjadi lembaga bimbel melalui kegiatan
pelatihan soal-soal ujian, seperti program pendalaman dan pengayaan materi.
Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan. Pasalnya, tatkala tujuan sekolah
sekadar lulus UN dengan mengabaikan pembentukan karakter anak didik, muaranya
pasti mereduksi makna dan tujuan pendidikan sebagai pembangun manusia yang utuh
dan cerdas.
Sudah saatnya semua pihak, entah orangtua,
pendidik, dan pemerintah menyadari penderitaan yang dialami anak didik ketika
menghadapi UN. Kritik membangun terhadap pelaksanaan UN memang harus terus
digulirkan. Tujuannya agar pemerintah terus berbenah dan menemukan format
instrumen yang tepat guna mengukur hasil sistem pendidikan nasional.
Bagaimanapun, pengukuran hasil atau evaluasi sangat diperlukan guna mengetahui
keberhasilan dan kemajuan sebuah program.
Namun, tidak arif tentunya jika para petinggi
pendidikan yang terbiasa dengan pengukuran secara kuantitatif (angka/nilai)
memaksakan kecenderungan tersebut--dengan tetap mempertahankan UN format saat
ini. Mereka lupa bahwa dalam kawasan ontologi dan epistemologi keilmuan, baik
kuantitatif maupun kualitatif memiliki derajat kebenaran, validitas, dan
reliabilitas yang sama. Tidak ada yang unggul melebihi yang lain, saling
melengkapi dan mengisi titik cela.
Oleh karena itu, perlu kiranya dipikirkan
sistem evaluasi dengan unjuk kinerja (psikomotorik), melalui standar kelulusan
yang ditetapkan secara kualitatif. Unjuk kinerja dalam hal ini berdasar pada
standar kompetensi yang sudah ditetapkan. Ujian seperti itu justru lebih
relevan dengan konteks kekinian karena lebih berorientasi pada keterampilan
nyata.
Anak didik tentunya merindukan pendidikan
tanpa model evaluasi seperti UN. Beban mereka sudah teramat berat, mulai
mencari biaya untuk sekolah (bagi anak tidak mampu), beban selama kegiatan pembelajaran,
beban menghadapi UN, hingga beban ketika bukti kelulusannya (STTB dulu) tidak
laku untuk melamar kerja. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah
pendidikan kita hanya untuk membebani anak dengan berbagai problem atau hendak
mencerdaskan mereka? Pertanya an ini patut dikajirenungkan para pemangku
kepentingan pendidikan kita. Walahualam.
Agus
Wibowo ;
Pemerhati
Pendidikan, Penulis Buku ‘Malpraktik Pendidikan’ (2008)
MEDIA
INDONESIA, 15 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi