KETIKA saat ini sedang digalakkan
materi pendidikan karakter di sekolah-sekolah secara nasional, pertanyaan yang
kemudian selalu mengusik adalah, "Pendidikan karakter seperti apa yang
harus diberikan kepada peserta didik?"
Pertanyaan itu selalu saya
dapatkan dari tiap pelatihan untuk guru di berbagai daerah di berbagai provinsi.
Mereka selalu bingung, dan mengatakan, "Bagaimana cara memberikan
pendidikan karakter kepada peserta didik, apa materinya?"
Tentu saja, kalau dibaca
sepintas, pertanyaan itu terasa lucu, mengingat guru mau mengajar tetapi dibuat
bingung oleh materi. Namun kalau kita mau jujur dan berpikir jernih, justru
pertanyaan itu patut ditangkap sebagai ungkapan keprihatinan mereka, sebagai
ekspresi kebingungan yang mendalam.
Kemelemahan
Karakter
Pendidikan karakter bukan sekadar
rangkaian kalimat indah yang disusun dalam buku atau kurikulum melainkan harus
merupakan formulasi yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya berjiwa
luhur dan berbudi pekerti luhur. Tidak sekadar teori yang mudah disampaikan
tetapi sulit dilaksanakan.
Ia harus merupakan "obat
ampuh" untuk menyembuhkan kemerosotan moral, kemerosotan nilai-nilai dan
budi pekerti luhur, terlebih pendidikan karakter juga harus dapat menyembuhkan
"kerusakan perilaku" yang makin jauh dari nilai-nilai acuannya.
Kenyataan yang dihadapi guru
sangatlah rumit. Banyak sisi yang saling bertentangan dan sangat ambigu. Di
satu sisi guru merupakan agen perubahan yang seolah-olah "harus
bertanggung jawab" terhadap pendidikan generasi muda, baik secara
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Di sisi lain, guru dihadapkan pada
kenyataan sosial yang memiriskan hati siapa saja yang melihat.
Bagaimana tidak miris jika
berbagai perilaku kejahatan moral, dari korupsi, kolusi, nepotisme, hingga
suap-menyuap justru dipertontonkan oleh para punggawa negeri ini. Berita koran,
situs-situs, dan tayangan televisi menjadi sangat transparan, bahkan cenderung
vulgar dalam mengekspose perilaku korupsi dan suap-menyuap, dan hal ini sangat
mudah ditangkap oleh peserta didik, bahkan anak-anak sekalipun.
Padahal guru harus memberikan
contoh karakter terpuji, nilai-nilai luhur, jiwa kepahlawanan, dan sikap rela
berkorban; sementara secara sosial terjadi paradoks: terpapar beberapa
kenyataan yang sangat berlawanan? Bagaimana guru menafsirkan realitas sosial
itu? Bagaimana guru akan mengajarkan nilai-nilai luhur perilaku terpuji jika
para elite politik, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat justru menampilkan
sikap dan perilaku sebaliknya?
Sangat sulit untuk tidak menggeneralisasi
tafsir sosial atas kenyataan amburadul yang dipertontonkan para elite. Peserta
didik bisa skeptik, mencibir, dan berujung pada sikap apatis. Andai guru
"menyuruh peserta didik untuk tutup mata dan tutup telinga", yang
penting tetap menyampaikan ajaran pendidikan karakter yang sudah terangkai
dengan indah sekalipun, toh siswa dapat mengakses berita dari berbagai sumber
yang sudah mengglobal.
Jangan lupa, angkatan muda kita,
anak-anak kita adalah generasi produk milenium dan produk gadget yang canggih
sehingga mereka dengan mudah memperoleh akses informasi apa pun.
Jika hal itu yang terjadi maka
peserta didik juga bakal dihadapkan pada ambiguitas dalam menyerap nilai-nilai
pendidikan karakter yang diajarkan.
Lalu
Bagaimana?
Pertanyaan itu acap kali muncul
tiap saya memberikan pelatihan tentang budaya multikultur, nilai-nilai karakter
bangsa, dan pelatihan lainnya untuk para guru. Terus terang saya merasa bingung
karena saya juga merupakan bagian dari produk keambiguitasan masyarakat.
Dalam kecenderungan kebuntuan
semacam itu, sering saya harus membeberkan kenyataan dan harapan yang sangat
berbeda, memotivasi guru agar tetap mengajarkan nilai-nilai luhur kepada
peserta didik, sering hanya bisa menyarankan "marilah melakukan sesuatu
yang besar dimulai dari hal kecil", sering hanya bisa menyarankan
"mulailah dari diri sendiri, dan sekarang juga".
Kemampatan dan kebuntuan jalan
bagaimana sebaiknya memengertikan pendidikan karakter kepada anak didik
akhirnya hanya melahirkan ajakan dan motivasi kepada pendidik agar tetap
bersemangat dan memberikan keteladanan utama. Karenanya saya yakin, dengan
keteladanan perilaku luhur, tindakan yang luhur dan terpuji, generasi muda kita
akan dengan gembira menyerap nilai-nilai luhur dalam pendidikan karakter. Dengan
keteladanan akhirnya mereka merasa "butuh" berperilaku terpuji, bukan
sekadar "harus" berperilaku terpuji.
Tri
Marhaeni PA ;
Guru
Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA
MERDEKA, 18 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi