Hal yang membedakan negara yang
dianggap sudah berhasil dalam pembangunan pendidikan dengan negara yang belum
maju adalah angka partisipasi tinggi, pemerataan, mutu, dan efisiensi. Di
Indonesia, peningkatan angka partisipasi kasar dan murni dianggap sebagai
keberhasilan strategi pembangunan pendidikan.
Pencapaian tiga target
selanjutnya membutuhkan koherensi sistem dan kebijakan, kesungguhan dan
kejujuran dalam pelaksanaan strategi pendidikan, serta kerja keras pemerintah
dan masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan bisa
dilakukan melalui reformasi kurikulum sebagai suatu perangkat apa yang kita
impikan untuk anak-anak Indonesia, apa yang harus kita ajarkan, dan akhirnya apa
yang akan diserap oleh anak-anak. Evaluasi kurikulum memang mutlak dilaksanakan
secara berkala untuk menilai relevansi kurikulum dengan anak-anak dalam konteks
tempat dan waktu yang terus berubah secara drastis. Reformasi kurikulum untuk
menjadikan anak-anak kita cerdas, bermoral, kreatif, komunikatif, dan toleran
membutuhkan lebih dari sekadar penambahan jam belajar dan pengurangan mata
pelajaran seperti yang diberitakan (Kompas, 3-4 September 2012).
Evaluasi kurikulum perlu mengkaji
kesinambungan falsafah dan visi pendidikan dengan praktik-praktik pendidikan
sebagai pengejawantahan dari kebijakan dan menilai keluaran dan capaian. Ada
beberapa model evaluasi kurikulum yang bisa jadi acuan. Model mana pun yang
diacu, hasil dari evaluasi kurikulum seyogianya bisa jadi masukan untuk
penyusunan, revisi, atau pengembangan selanjutnya.
Carl Glickman (Leadership for
Learning) mengingatkan, setiap upaya perbaikan kurikulum seharusnya tetap setia
pada fokus pendidikan: pembelajaran siswa. Para pakar pendidikan mengungkapkan
pandangan berbeda mengenai apa yang siswa perlu dipelajari. Sebagian
berpendapat, siswa perlu mengembangkan strategi kognisi dan keterampilan untuk
bisa bertahan dan berkompetisi di abad ke-21. Beberapa pakar lain yakin,
kurikulum tak boleh mengorbankan penguasaan materi pengetahuan untuk memberikan
lebih banyak ruang bagi pengembangan keterampilan.
Keterampilan
Abad ke-21
Rencana mengurangi mata pelajaran
tampaknya mendapat banyak dukungan publik karena memang jumlah mata pelajaran
dalam kurikulum SD-SMA terlalu banyak dan mubazir. Keinginan ini juga sejalan
dengan kebutuhan anak muda untuk memperoleh keterampilan abad ke-21, di
antaranya kecakapan hidup dan karier, literasi media dan keterampilan teknologi
informasi (www.21stcenturyskills.org).
Selain itu, berdasarkan analisis
terhadap ribuan mata kuliah di tahun pertama pendidikan tinggi, David Conley
(2011) mengidentifikasi lima strategi kognisi utama: formulasi permasalahan,
riset, interpretasi, komunikasi, dan ketepatan/ketelitian. Walaupun siswa
mengambil manfaat dari muatan pengetahuan umum dalam beberapa disiplin yang
utama, pengetahuan ini saja tidak cukup tanpa strategi kognisi yang andal.
Penguasaan materi seharusnya
tidak menjadi tujuan dari proses pembelajaran, tetapi sebagai jalan untuk
mencapai tujuan. Pengajaran yang efektif melibatkan siswa untuk menemukan
aplikasi dari pengetahuan. Guru perlu berjuang agar tak terjebak dalam godaan
untuk kegiatan persiapan ujian. Kurikulum yang mencakup formulasi masalah,
investigasi, debat, simulasi, permainan, bertanya ala Socrates, presentasi, dan
proyek akan membantu siswa menguasai muatan dan konsep pengetahuan.
Fokus
Penguasaan Pengetahuan
Penekanan terhadap pengembangan
keterampilan dan pengurangan muatan pengetahuan yang sedang menjadi tren di
Amerika Serikat dianggap biang dari kemerosotan negara adidaya ini dalam
Program for International Student Assessment (PISA). Dalam PISA 2009, siswa AS
menempati peringkat ke-17 dalam membaca, ke-23 dalam sains, dan ke-31 dalam
matematika; di bawah Slowakia, Hongaria, dan Polandia.
Lynne Munson (2011) mempelajari
sembilan negara yang mengungguli AS, yakni Finlandia, Hongkong (China), Korea
Selatan, Jepang, Kanada, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Swiss. Tentu
saja sistem dan strategi pendidikan di setiap negara adalah unik. Sebagian dari
negara-negara ini mempunyai standar nasional kurikulum, tetapi sebagian lainnya
tidak. Sebagian memberlakukan kebijakan ujian nasional, tetapi sebagian lainnya
tidak.
Ada dua kesamaan yang ditemukan
di antara sembilan negara ini. Pertama, semua menunjukkan kesungguhan dalam
program pendidikan umum: ilmu sosial budaya dan sains. Di hampir semua negara
yang mencapai peringkat atas dalam PISA, seni, kesusastraan, sejarah, geografi,
kewarganegaraan, sains, bahasa asing, dan matematika jadi mata pelajaran wajib.
Kedua, negara berperingkat atas tersebut tidak menggeser penguasaan pengetahuan
demi keterampilan serta tidak hanya fokus pada membaca dan matematika.
Peta
Kurikulum
Ketika pengurangan mata pelajaran
menjadi suatu keniscayaan, kita patut bertanya apa yang akan dikurangi. Jangan
sampai kita melakukan kesalahan yang sudah pernah dibuat negara lain karena
kelalaian mempelajari dan mengkaji permasalahan dengan tepat. Apakah
pengurangan mata pelajaran ini sekadar penggabungan beberapa mata
pelajaran—antropologi dan sosiologi menjadi IPS Terpadu, misalnya—sehingga
jadwal pelajaran harian anak sekolah jadi lebih ringkas? Ataukah cakupan materi
pengetahuan juga akan dikurangi? Jika cakupan akan dikurangi, kita perlu kajian
lebih mendalam materi apa yang harus dipertahankan dan apa yang bisa dibuang.
Terkait dengan argumentasi
keterampilan versus muatan pengetahuan, setiap pendidik pasti menyadari bahwa
siswa membutuhkan keduanya (selain nilai dan karakter, tentunya). Resep yang
baik akan menghasilkan makanan yang lezat dan bergizi jika memuat informasi
bahan dan cara memasak yang tepat. Demikian pula dengan kurikulum. Informasi
bahan memuat komposisi beragam materi dengan takaran yang sesuai. Materi ini
tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa pengolahan dengan keterampilan dan
strategi yang efektif.
Selain itu, konsep kurikulum yang
baik seyogianya juga mempertimbangkan kesiapan di ruang kelas. Penambahan jam
belajar dan pengurangan mata pelajaran mengasumsikan kesiapan sekolah untuk
mengurangi keluasan dan menggali kedalaman (depth over breadth).
Asumsi ini mengandung prasyarat
bahwa para guru sudah kompeten dan terampil dalam mengelola kelas serta
merancang dan memfasilitasi sesi-sesi pembelajaran bermutu, yang mengajak para
siswa belajar secara aktif dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Jika keluasan cakupan dikurangi, padahal guru belum siap menggali kedalaman,
siswa akan kembali menjadi korban
Anita
Lie ;
Guru
Besar Unika Widya Mandala, Surabaya;
Anggota
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
KOMPAS,
18 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi