Belajar adalah inti terdalam gagasan pendidikan.
Tanpa mampu belajar, pendidikan adalah sebuah kata yang hampa, tidak penting
sama sekali.
Dalam opini yang ditulis oleh Edward J Ray,
Presiden Oregon State University, dikutipkan sebuah survei yang mengungkap
lebih dari 90 persen CEO yang diwawancarai mengharapkan pekerjanya mampu
belajar hal baru secara berkelanjutan (Huffington Post College, 24 Juli 2013).
Ini berarti kemampuan mempelajari pengetahuan dan
kecakapan baru bukan saja dibutuhkan siswa di SD, melainkan juga pekerja
profesional di industri. Terlebih lagi, sejumlah pekerjaan baru saja muncul,
seperti analis media, di dekade ini. Jika mau berkarier, harus belajar.
Kecuali itu, dengan teknologi yang semakin cepat
dan luas penerapannya dalam kehidupan, semakin menyadarkan betapa dibutuhkan
kecakapan mendasar manusia sejak prasejarah itu. Manusia adalah mamalia yang
perlu waktu belajar sangat lama dalam hidupnya. Bahkan, untuk bergerak seperti
sosok dewasanya (berjalan, berlari, dan melompat), manusia perlu belajar
sekitar lima tahun. Kebanyakan manusia modern di kota besar saat sini butuh
waktu sekitar 18 tahun (lulus sekolah menengah) untuk belajar hidup mandiri.
Belajar dan manusia memang dua unsur tak
terpisahkan. Masyarakat yang berhasrat belajar juga akan menjamin inovasi dan
pengembangan yang dibutuhkan pembangunan. Tidak itu saja, masyarakat belajar
juga akan merawat keselarasan sosial. Keselarasan sosial ini dampak langsung
mutu pendidikan. Oleh karena itu, budaya belajar harus menjadi bagian penting
dari keseharian masyarakat.
Di saat sekarang, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sepertinya sebuah kementerian yang menggarap dua hal terpisah:
pendidikan dan kebudayaan. Karena itu, perlu upaya perumusan ulang yang lebih
sesuai zaman dan sekaligus menggagas kedua konsep itu menjadi satu keterpaduan
yang erat saling terjalin.
Kebudayaan di era sekarang perlu dimaknai bukan
sekadar tarian, seni patung, atau barang- barang kuno. Namun, ini adalah segala
pemikiran, upaya, dan tindakan manusia yang mungkin terkait kehidupan manusia
banyak. Oleh karena itu, satu hal yang kokoh nalar bagi pemerintah mendatang
jika merumuskan ulang kementerian pendidikan, misalnya, menjadi kementerian
budaya belajar. Tugas utamanya: menjamin penyediaan pengalaman belajar bermutu
bagi setiap warga sehingga hasrat belajar terawat di masyarakat.
Menebar dan mengembangkan layanan belajar ke
seluruh masyarakat di semua penjuru kota, desa, pulau, dan sudut Nusantara luas
ini tak mudah. Memang sulit jika menggunakan cara pandang dan peralatan dua
abad lalu. Apalagi ketersediaan dan penyebaran guru bermutu terbatas. Namun,
teknologi sudah mengubah segalanya.
Teknologi
Suka atau tidak, pemanfaatan teknologi dalam dunia
belajar- mengajar sudah ada di depan mata. Bukan lusa atau esok, tetapi detik
ini, teknologi sudah bekerja. Dua ilustrasi berikut meyakinkan kenyataan ini.
Ilustrasi pertama dari pengurus Dewan Pendidikan
Jawa Timur, Sulistyanto Soejoso. Dia mengisahkan bahwa di dekat sebuah masjid
di Surabaya, di bulan Ramadhan tahun ini, ada yang menjual kerak telor. Ini
tentu penganan khas Betawi. Ternyata sang penjual yang dari Jombang, Jawa
Timur, belajar membuat kerak telor melalui internet. Ini bukti gamblang bahwa
belajar berbasis internet sudah berfungsi. Masyarakat kelas bawah juga sangat
terbantu oleh internet guna belajar serta mengembangkan dan menyejahterakan
dirinya.
Ilustrasi kedua dari eksperimen One Laptop
Per Child oleh Nicholas Negroponte, anggota staf Massachusetts
Institute of Technology (MIT Technology Review, 29 Oktober 2012).
Bersama timnya, ia membagikan sejumlah sabak digital ke anak-anak di dua desa
sangat terpencil di Etiopia.
Saat memberikan sabak digital yang dilengkapi sumber
daya listrik bertenaga surya, mereka tak menjelaskan cara penggunaannya,
kecuali hanya cara mengisi ulang dayanya. Tim peneliti ini membagikan tiap
sabak digital tersebut dalam keadaan masih terbungkus rapat dalam kardus
pengemasnya. Perlu dicatat, penduduk di desa ini buta huruf, bahkan tak sedikit
yang belum pernah melihat bahan cetakan, seperti buku, koran, atau kardus
pengemas sepanjang hidupnya.
Tiap minggu tim merekam apa yang telah dikerjakan
dengan tiap sabak. Hasil temuannya sangat mengejutkan. Ternyata, hanya lima
hari pertama tiap hari anak-anak telah mengoperasikan 47 aplikasi dalam sabak
tersebut. Beberapa anak terus asyik belajar menyusun aksara menjadi kata dan
beberapa yang lain belajar mengeja lewat nyanyian. Satu anak bahkan sanggup meretas
sistem operasi untuk mengubah pengaturan sabak tersebut agar kameranya
berfungsi karena sebelumnya kamera dimatikan tim. Jadi, kita harus yakin dengan
kemampuan anak-anak di pedalaman untuk beradaptasi dan memanfaatkan teknologi.
Kementerian budaya belajar bersama masyarakat harus
menebarkan kasmaran belajar. Caranya dapat dengan menginisiasi ”awan belajar”
yang merupakan fasilitas maya tempat pengetahuan, peranti lunak, dan
bersosialisasi. Ini adalah masa depan teknologi belajar-mengajar. Jika masalah
ketersediaan dan penyebaran guru bermutu seperti masalah tak berjawab saat ini,
awan belajar dapat membantu.
Tak bisa
lagi menunggu
Pelayanan pendidikan bermutu bagi setiap warga
dapat diwujudkan. Ditambah penyediaan sumber listrik tenaga surya atau alternatif
lain yang teknologinya makin terjangkau, pemerintah mendatang diharapkan
memfasilitasi upaya menumbuhkembangkan kasmaran belajar di pelosok Nusantara.
Sampai kapan harus menunggu tersedianya kurikulum
dan buku bermutu? Sampai kapan harus menunggu tersebarnya guru kelas dunia di
lereng pegunungan terpencil? Sampai kapan harus menunggu adanya fasilitas
laboratorium sekolah di pedalaman? Sampai kapan harus menunggu usainya
transaksi politik dalam kebijakan pendidikan?
Anak bangsa ini tak punya kemewahan untuk menunggu.
Masyarakat dan lembaga pendidikan yang berdaya harus bergerak untuk meyakinkan
agar setiap anak segera menjalani belajar bermutu yang mendukung pengembangan
kecakapan belajar dan berpikir.
Iwan
Pranoto ;
Guru Besar ITB
KOMPAS, 12 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi