Mata Rantai Kekerasan dalam Pendidikan

TAHUN ajaran 2013/2014 ini dunia pendidikan masih menyisakan persoalan kekerasan yang terjadi pada saat orientasi siswa. Beberapa waktu lalu seorang siswi sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, harus tewas mengenaskan lantaran mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS). Adalah Anindya Ayu Puspita, meninggal karena diminta melakukan squat jump oleh seniornya hanya gara-gara tidak membawa sepatu. Rupanya, panitia MOS di sekolah itu tidak tahu jika Anindya tidak kuat dan pingsan jika dibentak apalagi dihukum berat. Tak ayal, kejadian tragis itu membuat gerah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh. Mendikbud segera memerintahkan jajaran di bawahnya untuk menginvestigasi kejadian yang mencoreng korps pendidikan itu (Media Indonesia, 23/7).

Dengan belajar dari tragedi MOS di Bantul itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kekerasan ternyata masih membayangi dunia pendidikan. Meski berbagai tuntutan sudah dialamatkan kepada para stakeholders, tetapi kekerasan masih menjadi alat dominan dalam pendidikan kita. Alih-alih bukannya anak didik semakin menikmati proses pendidikan yang menyenangkan dan mencerahkan, malah justru bersiap menanti giliran menjadi korban keberingasan itu. Ironis sekali.

Sebenarnya Mendikbud Mohammad Nuh (2013) jauh hari sudah mengingatkan para stakeholdersdi tingkat sekolah untuk berhati-hati dalam melaksanakan MOS. Itu karena tindak kekerasan mengalami kenaikan yang cukup signifikan justru pada pelaksanaan MOS. Jika dikelola dengan baik, kata Nuh, MOS bisa menjadi sarana efektif bagi siswa untuk mengenal, memahami, dan berusaha menjadi bagian dari sekolah, sebelum mereka terlibat dalam proses pembelajaran. Singkatnya, melalui orientasi ini diharapkan siswa mengenal bagaimana proses pembelajaran yang nantinya akan mereka jalani: mengenal lingkungan sekolah, sarana prasarana sekolah dan pemanfaatannya, sistem pembelajaran, guru dan model pembelajarannya, serta daya dukung pembelajaran.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, lanjut Nuh, bisa saja MOS menjadi ajang kekerasan bahkan anarkisme. Kekerasan itu bisa berwujud kekerasan lisan atau kata-kata kasar yang bisa menimbulkan kekerasan psikologi. Kekerasan dalam MOS tidak jarang menyebabkan kematian. Itulah yang harus menjadi perhatian utama stakeholders pendidikan di sekolah.

Balas dendam?

Berdasarkan data, sampai dengan tahun ajaran 2012/2013 lalu, MOS dan sejenisnya lebih sering menjadi monster mengerikan--yang siap merampas nyawa anak didik. Data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setahun lalu menunjukkan bahwa angka kekerasan kepada siswa, baik dalam proses MOS maupun kegiatan belajar mengajar (KBM) masih tinggi. Hasil survei di 9 provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total 1.026 responden, menyebutkan masih tingginya tindak kekerasan kepada siswa. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 56,3% siswa (578 siswa) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan senior mereka selama MOPDB, kemudian 66,5% siswa (628 siswa) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, dan 74,8% siswa (767 siswa) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas.

Kekerasan tidak dianjurkan dalam pendidikan, apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa, jelas sangat dikutuk. Benar dalam ajar tuk. Benar dalam ajaran kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning) kekerasan bisa dijadikan alternatif mendidik siswa. Namun, menurut penulis, itu sudah tidak relevan dengan konteks kekinian. Pendidikan bukan lagi tempat pukul-memukul dan penjara bagi siswa--dengan aneka kebengisan di dalamnya. Pendidikan, kata Ki Hadjar Dewantara (1977:14), mestinya menjadi proses sebuah bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan secara baik, untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmaninya, serta agar bisa selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sementara itu, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan bertujuan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ber dasarkan UU Sisdiknas itu, jelas bahwa kekerasan bukan bagian dan metode tepat dalam pendidikan kita.

Jika benar kekerasan diharamkan dalam dunia pendidikan, pertanyaannya kemudian, mengapa tindak kekerasan itu masih terus terjadi? Galtung (2003) dan Robert Gurr (2000) melihat kekerasan dalam dunia pendidikan disebabkan deprivasi relatif. Sementara itu, Abdurrahman Assegaf (2004) dan Simon Fisher (2001) menyebut kekerasan dalam dunia pendidikan sebagai kekerasan konteks dan struktur, yaitu tindak kekerasan berdasarkan sistem yang mengakibatkan penderitaan orang lain.

Senada dengan Assegaf dan Fisher, penulis berpendapat jika kekerasan di sekolah lebih sering dipicu budaya `balas dendam' yang terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut akan sangat terasa, khususnya dalam dunia pendidikan militer dan kedinasan.

Segera hentikan

Tujuan panitia MOS memerintahkan siswa baru memakai aneka atribut aneh memang baik. Namun, mereka lupa--atau memang belum tahu--bahwa psikologis siswa sekarang berbeda dengan 10 tahun lalu. Sebagian besar siswa mungkin merasa malu mengenakan atribut itu! Karena takut mendapat sanksi jika tidak menuruti pihak sekolah, siswa rela menjadi `badut' yang ditonton para senior mereka (Agus Wibowo, 2012). Ketika junior mendapatkan tindak kekerasan dari seniornya, tidak ada keberanian untuk langsung membalasnya, kecuali menyimpan dan menjadi dendam psikologis yang menumpuk.

Dendam yang mendalam akan di lampiaskan manakala ada kesempatan. Apabila menjadi panitia MOS, tersalurkan sudah dendam yang selama ini menumpuk kepada para junior mereka. Belum lagi jika kekerasan juga kerap dipertontonkan para guru mereka, baik di dalam maupun di luar kelas. Guru beranggapan jika kekerasan merupakan sarana efektif `menundukkan' dan `mendisiplinkan' siswa. 

Sementara itu, istilah `disiplin' atau mendisiplinkan siswa, selama ini lebih sering menjadi tameng bagi sekolah, khususnya para guru dalam memberikan hukuman fisik. Padahal, berbagai bentuk hukuman fisik bisa membuat trauma siswa, serta berakibat buruk bagi perkembangan psikologis mereka kelak.
Menurut banyak ahli pendidikan, kekerasan akan terus terulang selama mata rantainya tidak secara bertahap dan komprehensif dihilangkan. Guna meminimalkan tindak kekerasan pada siswa, Mendikbud dan KPAI merekomendasikan agar pihak sekolah dan dinas pendidikan memastikan bahwa pelaksanaan MOS tidak melenceng dari tujuan pendidikan. Kepala Sekolah bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan MOS dan tidak boleh lengah.

Pengawasan yang ekstra ketat juga harus dilaksanakan Kemendikbud. Tidak kalah pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah, harus berpartisipasi mengontrol pelaksanaan MOS ini agar berjalan bagus, bermakna, sejalan dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan.

Bagaimanapun MOS diperlukan agar anak didik menjadi `kenal' dengan lingkungan beserta seluk-beluk pembelajaran di sekolah, sebelum mereka terjun di dalamnya. Yang perlu dihilangkan ialah budaya kekerasan dalam pelaksanaannya. Sudah saatnya para guru dan stakeholders sekolah memahami bahwa esensi dasar pendidikan adalah wahana membentuk jati diri dan perilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku).
Bukan sarana balas dendam yang mengarah pada tindak kekerasan sehingga muaranya mencetak siswa yang beringas dan tidak berkemanusiaan.
Semoga.

Agus Wibowo ;  
Magister Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 12 Agustus 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi