Penundaan ujian nasional di 11
provinsi menjadi berita utama di media massa dan menarik perhatian Presiden SBY
untuk menginstruksikan dilakukannya investigasi terhadap persoalan yang ada.
Sementara proses investigasi masih
berlangsung dan para pengkritik di milis, media massa, ataupun media sosial
menyoroti kekacauan dalam pengelolaan administrasi ujian nasional, akan lebih
bermanfaat jika kita bisa menimba pelajaran dari realitas penyelenggaraan ujian
nasional berdasarkan prinsip-prinsip penilaian pendidikan dan menawarkan solusi
perbaikan untuk masa mendatang.
Walaupun kritikan terhadap ujian
nasional terus dilayangkan dan Mahkamah Agung telah memenangi gugatan
masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional
pada 2009, pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan
standardisasi.
Secara legal, keputusan MA masih
memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional
dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana
dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di
Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan
psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.
Kebersikukuhan kedua pihak—Kemdikbud
versus pengkritik ujian nasional—pada posisi masing-masing bisa menjadi
penghambat proses pengembangan dan penyempurnaan suatu sistem standardisasi dan
penilaian pendidikan.
Dalam konteks negara Indonesia
dengan tingkat kemajuan pendidikan yang sangat beragam antardaerah, sistem
penilaian hasil belajar peserta didik dipercaya bisa memberikan gambaran
standardisasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu.
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat juga melaksanakan
standar pendidikan secara ketat untuk mengatasi ketertinggalan dari berbagai
tes perbandingan antarnegara. Tentu saja sistem penilaian pendidikan di mana
pun selalu menyisakan ruang untuk perbaikan.
Peningkatan mutu pendidikan nasional
membutuhkan keterbukaan dari pihak pemerintah untuk mengkaji
kelemahan-kelemahan serta kearifan para pemerhati yang peduli terhadap
pendidikan untuk memberikan kesempatan dan ruang perbaikan sistem. Bahkan,
ujian sekaliber TOEFL, SAT, IELTS, dan GRE pun telah mengalami proses
bertahun-tahun pelaksanaan dan banyak forum pakar untuk bisa memperbaiki sistem
administrasi ataupun meningkatkan mutu soal.
Perbaikan Sistem
Perbaikan sistem penilaian
pendidikan mencakup empat isu sentra. Pertama, prinsip penilaian belajar. Ada
berbagai macam tujuan, bentuk, dan format penilaian belajar. Salah satu pepatah
yang juga berlaku dalam penilaian belajar: Not everything that counts
can be counted and not everything that can be counted counts (tidak
semua yang bermakna bisa dihitung dan tidak semua yang bisa dihitung bermakna)
mensyaratkan adanya penilaian alternatif dan otentik dalam proses belajar
mengajar.
Ujian berbentuk pilihan ganda
seperti ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk menilai prestasi,
kemajuan, dan kekurangan peserta didik. Sebenarnya Kemdikbud sudah menerima
kenyataan ini dan memutuskan ujian nasional bukan satu-satunya penentu
kelulusan. Namun, upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih
perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan
kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna
melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan
ujian nasional sebagai penilaian standar.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
sebagian besar guru di Indonesia pada saat ini masih belum cukup kompeten dan
terampil menyusun instrumen penilaian belajar yang baik dan tepat. Tentu saja
situasi ini tidak seharusnya dijadikan alasan pembenaran untuk pelanggengan
ujian nasional tanpa batas.
Kedua, pelanggaran dalam
penyelenggaraan tidak semestinya ditoleransi dengan label ekses dan oknum. Ini
bukan persoalan persentase dalam statistik. Dalam pendidikan, rasio pelanggaran
(yang dianggap) sangat kecil sudah menjadi persoalan sangat serius karena
memberikan dampak modeling negatif yang akan sangat merusak proses pendidikan
karakter anak dan bangsa. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari.
Skandal kecurangan guru dalam ujian
ternyata juga terjadi di Amerika Serikat. Juri memutuskan kepala dinas
pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru bersalah atas manipulasi nilai
ujian di Atlanta, akhir Maret 2013. Kepala Dinas Dr Beverly Hall, yang pernah
dinobatkan sebagai kepala dinas teladan pada 2009, diancam hukuman penjara 45
tahun.
Sistem pendidikan Atlanta telah
menghabiskan 2,5 juta dollar AS untuk investigasi pelanggaran ini. Temuan
paling penting dalam skandal ini adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan
pejabat yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru
telah memicu pelanggaran kode etik pendidik. Karena itu, sistem ini harus
diinvestigasi dan ditinjau ulang.
Ketiga, kasus keterlambatan
pencetakan dan distribusi soal-soal ujian nasional tahun ini seharusnya
mendorong pemerintah mulai memikirkan administrasi secara online. Bagi banyak
daerah di Nusantara, pelaksanaan ujian online sungguh merupakan kemungkinan
yang tak terbayangkan karena sejumlah permasalahan infrastruktur. Dalam hal
ini, Kemdikbud perlu merintis kemungkinan-kemungkinan itu bersama PLN dan
Kementerian Kominfo. Pelaksanaan ujian kompetensi guru secara online yang
kurang mulus baru-baru ini seharusnya tidak dijadikan bahan cemooh untuk
menghambat langkah maju dan perbaikan sistem secara berkelanjutan.
Akhirnya, perbaikan sistem
membutuhkan evaluasi secara terus-menerus. Soal-soal dan sistem administrasi
tes seperti TOEFL dan yang semacamnya sering menjadi bahan kajian terbuka dalam
forum-forum para pakar dan peneliti. Bahkan, soal-soal dalam tes terdahulu bisa
diakses publik secara terbuka. Selama beberapa dekade pelaksanaannya, ada
banyak sekali perubahan dan kemajuan mendasar. Mekanisme evaluasi internal
ataupun hasil kajian publik telah memungkinkan tes-tes tersebut meningkatkan
kesahihan dan keterandalannya secara berkelanjutan.
Anita
Lie ;
Guru
Besar Program Pascasarjana Unika Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS, 18 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi