UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 12 Ta
hun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) patut disyukuri. Melalui UU itulah
kini keterjangkauan diharapkan bukan lagi menjadi kendala bagi masyarakat yang
secara ekonomi sangat terbatas.
Pidato Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada 16 Agustus 2012, baik pidato kenegaraan menyambut HUT
Kemerdekaan Ke-67 RI yang disampaikan pagi hari maupun pidato pengantar nota
keuangan untuk RAPBN 2013 pada malam harinya, menyatakan untuk mengoptimalkan
pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh seluruh rakyat,
anggaran pendidikan terus ditingkatkan. Dengan anggaran pendidikan yang terus
meningkat tiap tahunnya, kita mendorong terjadinya reformasi pendidikan,
terutama dalam perluasan akses dan peningkatan kualitas di seluruh jenjang
pendidikan.
Kehadiran UU Dikti kiranya sangat
relevan dengan apa yang disampaikan Presiden dalam pidato pada 16 Agustus
tersebut. Betapa tidak? UU itu telah mengamanatkan, dalam setiap penerimaan
mahasiswa baru, perguruan tinggi negeri (PTN) wajib mencari dan menjaring calon
mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara
ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk
diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru, tersebar pada semua
program studi (Pasal 74 ayat 1).
Di pasal yang sama, ayat 2
menyatakan program studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari pemerintah,
pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan/ atau masyarakat.
Bukan hanya itu, pesan yang disampaikan
dalam pidato tersebut juga sangat tepat mengingat kini dalam upaya
mengimplementasikan UU Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) sedang menyiapkan BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Negeri), yang diharapkan akan dapat berpengaruh pada aspek keterjangkauan dan
kualitas.
Gagasan BOPTN mengadopsi program
BOS di jenjang pendidikan dasar yang membuat tiap peserta didik mendapatkan
bantuan biaya operasional yang diberikan melalui sekolah. BOPTN juga diberikan
kepada PTN yang besarnya sangat bergantung tidak hanya pada jumlah mahasiswa di
PTN (student body), tapi juga mempertimbangkan program studi dan jurusan yang
ada di PTN tersebut serta pola penganggaran dan pembiayaannya.
BOPTN merupakan bantuan
operasional bagi perguruan tinggi yang diharapkan akan dapat mengurangi biaya
yang selama ini menjadi beban mahasiswa atau orangtua, sekaligus mendorong
terciptanya kualitas perguruan tinggi.
Dua
Tantangan
Secara umum terdapat dua
tantangan yang dihadapi PT di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan realitas
bahwa lokasi PT lebih banyak di kawasan tertentu, khususnya di kota-kota besar.
Kedua, berkaitan dengan kualitas, termasuk kemampuan PT menghasilkan lulusan
yang bisa diterima lapangan kerja atau mampu secara mandiri sebagai wirausaha.
Jika dilihat dari sisi geografis,
sebaran PT di Indonesia lebih banyak di Jawa dan Indonesia bagian barat. Hal
itu bisa dipahami karena wilayah tersebut secara ekonomi lebih dahulu
berkembang dan memiliki jumlah penduduk yang lebih besar jika dibandingkan
dengan wilayah lain. Akan tetapi, keterjangkauan PT pada kenyataannya tidak
hanya berkaitan dengan masalah geografis. Secara sosial, PT kita juga
menghadapi masalah keterangkauan. Apabila dilihat dari asal usul status sosial
mereka, sebagian besar mahasiswa yang belajar di PT berasal dari kelompok
menengah ke atas. Lulusan sekolah menengah atas yang berasal dari kelom pok
bawah atau dari keluarga yang kurang beruntung sejak awal sudah merasa tersingkir
dari kompetisi memasuki PT.
Data yang ada menunjukkan, pada
2010, hanya 2,77% masyarakat dari kelompok tidak mampu yang mengenyam
pendidikan di PT. Itu mulai menunjukkan kenaikannya berkat kebijakan program
Bidik Misi (bantuan bagi masyarakat tidak mampu untuk kuliah di PTN tanpa
biaya) sehingga naik menjadi 3,30% pada 2011. Bantuan itu mencakup biaya kuliah
dan biaya hidup. Melalui kebijakan tersebut, para lulusan sekolah menengah atas
yang memiliki kemampuan akademik baik tidak perlu khawatir tidak bisa
melanjutkan ke PT.
Mahalnya biaya pendidikan di PT
acap kali dijadikan di PT acap kali dijadikan alasan pokok mengapa PT dipandang
kurang ramah terhadap kelompok bawah. PTN yang sebelumnya dijadikan tempat
bersandar bagi kelompok itu belakangan juga diragukan. Hal tersebut tidak lepas
dari pembukaan jalur penerimaan mahasiswa berbiaya besar di PTN.
Selain itu, ada pemikiran yang
berkembang di sebagian pengelola PT, yakni mampukah mereka yang berasal dari
kelompok tidak mampu berprestasi? Keraguan tersebut dapat segera terjawab
karena fakta menunjukkan, dari peserta program Bidik Misi, terbukti mereka
mampu berprestasi. Mereka yang mampu mencapai indeks prestasi sempurna (empat)
sebanyak 0,7%. Adapun yang memiliki indeks prestasi di atas 2,75 sebanyak 81,07%.
Itu tentu menjadi fakta. Jika
kesempatan diberikan, mereka yang dari kelompok ekonomi terbatas sekalipun bisa
meraih prestasi. Itu sebabnya berulang kali Mendikbud Mohammad Nuh, dalam
beberapa kali kesempatan, meminta pimpinan PTN mengembangkan program keramahan
sosial bagi kelompok masyarakat kurang mampu.
Mempercepat
Kualitas?
Munculnya kebi jakan bagi PTN
tertentu untuk membuka ruang bagi penerimaan mahasiswa berbiaya besar didasari
keinginan untuk mempercepat kualitas PTN-PTN itu agar sejajar dengan PT-PT
terkemuka di dunia. Bila belajar dari negara-negara lain, percepatan itu bisa
dilakukan melalui pemberian anggaran yang besar dari pemerintah kepada PT atau
PT itu dimungkinkan untuk memiliki otonomi di dalam mengelola anggaran sendiri
termasuk menarik biaya lebih mahal dari mahasiswa.
Anggaran pendidikan di Indonesia
memang mengalami peningkatan yang sangat berarti dalam satu dekade belakangan.
Namun, peningkatan anggaran itu belum cukup berarti untuk mendorong PT
meningkatkan kualitas. Karena itu, PTN tertentu diberi keleluasaan yang lebih
besar di dalam mencari dan mengelola anggaran. Hanya, konsekuensi yang
ditimbulkan ialah PTNPTN tersebut dianggap kurang ramah terhadap kelompok bawah
dan keluarga-keluarga yang kurang beruntung.
Sebagaimana diamanatkan
konstitusi, di antara tugas pokok pemerintah ialah `mencerdaskan kehidupan
bangsa'. Yang menjadi sasaran dari tugas itu jelas bukan kelompok-kelompok
tertentu, melainkan seluruh warga negara Indonesia. Karena itu, dalam konteks
PT, tantangan yang dihadapi pemerintah yaitu memberikan akses yang lebih besar
kepada seluruh lulusan sekolah menengah atas untuk memperoleh pendidikan tinggi
yang berkualitas.
Tantangan semacam itu memang
tidak mudah dijawab. Namun, dalam tahuntahun terakhir ini, pemerintah telah
berusaha menjawab tantangan itu melalui tiga kebijakan pokok. Pertama, membuka
PTN di daerahdaerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) di luar Jawa. Tidak
sekadar membuka, tetapi juga menjadikan PTN di luar Jawa menjadi pusat
unggulan. Kemudian membuka PTN yang memiliki konsentrasi keilmuan tertentu yang
selama ini belum berkembang di luar Jawa, seperti Institut Teknologi Kalimantan
dan Institut Teknologi Sumatra.
Selain itu, mulai tahun ini,
sebagaimana tertuang dalam UU Dikti, pemerintah sedang membangun Akademi
Komunitas, program vokasional diploma satu dan dua di berbagai daerah di
Indonesia.
Kedua, mewajibkan PT menerima
sekurang-kurangnya 20% mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu dan
mahasiswa dari daerah 3T. Ketiga, pemerintah berusaha memperbaiki kualitas PT,
baik negeri maupun swasta, seperti melalui pemberian dana-dana stimulus.
Untuk meningkatkan kualitas
tenaga pendidik, telah disediakan beasiswa untuk para dosen guna meneruskan
pendidikan S-2 dan S-3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak hanya
itu, yang sudah memperoleh pendidikan S-3 dan memiliki gelar akademik guru
besar juga diberi anggaran khusus untuk melakukan penelitian dan penulisan
karya ilmiah di universitas-universitas di luar negeri.
Reorientasi kebijakan mengenai PT
semacam itu kini memiliki landasan konstitusional yang lebih tinggi seiring
dengan pengesahan UU Dikti. Di dalam UU tersebut, kerangka pengembangan PT di
masa depan telah terbingkaikan. Melalui BOPTN itulah diharapkan, keterjangkauan
dan kualitas PT dapat direalisasikan. Semoga
Sukemi
;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA
INDONESIA, 17 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi