Tulisan
Hendra Gunawan (Kompas, 19/8) sangat menarik dan patut disimak semua insan yang
terlibat dalam kegiatan pendidikan tinggi.
Hendra mengupas fakta kerdilnya perguruan tinggi
(PT) kita dibandingkan dengan PT di negara jiran sekalipun; jangan dulu
dibandingkan dengan PT di negara maju. Rayap-rayap kecil di bawah tanah yang
sulit terlihat telah menggerogoti akar PT kita sehingga sulit tumbuh meski
sudah dirawat dengan perhatian penuh dan penanganan khusus.
Beberapa PT kita sudah berusia lebih dari 50 tahun,
tetapi pertumbuhan mutunya tak normal. Karena PT bukanlah pohon yang sembarang
dapat ditebang dibuang begitu saja, satu-satunya jalan, ya, membongkarnya.
Jelas dari paparan Hendra, solusi harus radikal,
sampai ke akar. Jika tidak, program insentif, hibah, akreditasi, dan
sertifikasi tak akan pernah menumbuhkan pohon PT kita sebagaimana pohon di
negara tetangga atau di negara maju. Hendra memaparkan delapan masalah. Saya
hanya membahas tiga yang urgen: sistem, kualitas dosen, dan dana yang bermuara
pada riset di PT.
Benar bahwa semuanya berawal dari sistem perguruan
tinggi kita yang kurang/tidak berbasis merit. Sistem perekrutan dosen,
sistem penilaian kinerja, hingga sistem kepangkatan kita terlalu manusiawi:
beberapa dosen PTN masih tetap menikmati gaji meski hanya datang ke kampus
satu-dua kali seminggu. Tak perlu mati-matian riset, asal ada satu-dua di
antara berkas yang diajukan terindeks Scopus, seorang dosen dapat menjadi
profesor. Di negara maju betapa sulit memperoleh posisi profesor di PT sana.
Mental amtenar
Ada benarnya bahwa kualitas dosen kita rendah
karena sistem perekrutan dosen kita tak pernah diperbaiki sejak tempo dulu.
Kualitas dosen PTN seharusnya lebih tinggi dari yang lain, tetapi mental
amtenar sudah menjelma menjadi salah satu rayap tadi. Meski mengamini ihwal
ini, saya masih yakin bahwa cukup banyak dosen kita berkualitas mumpuni untuk
bersaing di dunia internasional. Buktinya, banyak dosen kita yang menamatkan
S-3 di PT papan atas negara maju dengan hasil riset yang bahkan mencengangkan
koleganya di sana. Sayangnya, pembusukan akademis selama puluhan tahun di Tanah
Air telah menurunkan kualitas kebanyakan mereka hingga hampir mencapai titik
nadir.
Cerita tentang dana riset PT membosankan, tetapi
tetap mengherankan mengapa hingga kini pemerintah tak berambisi berinvestasi
besar-besaran di PT? Mestinya pemerintah berani karena, jika tidak, PT kita
akan makin jauh ketinggalan dari PT di Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan
Vietnam (”Antara Langit dan Bumi”, Kompas24 November 2011).
Pemerintah harus berupaya memberi otonomi
seluas-luasnya kepada PTN meski bagi sekelompok orang di republik ini, otonomi
sudah masuk barang haram karena diterjemahkan dengan kamus yang tak tepat.
Sebenarnya tanpa otonomi, PTN akan terus dibebani para amtenar yang menuntut
lebih banyak hak dibandingkan dengan menunaikan kewajiban. Dengan otonomi, PTN
ditantang membuat sendiri sistem yang sehat, berbasis merit yang
dituntut Hendra, yang tidak mengizinkan hidupnya rayap-rayap tadi.
PTN, misalnya, dapat langsung menghukum dosen yang
malas atau memberi jabatan profesor untuk yang berprestasi tanpa harus menunggu
izin pemerintah. Sistem berbasis merit ini rasanya sulit diciptakan
secara nasional karena disparitas mutu PT di Tanah Air yang sangat lebar.
Harus diakui bahwa bukan hanya PTS yang melakukan
bisnis pendidikan. PTN pun turut mengais rezeki. Meski bisnis ini halal selama
tidak menzalimi orang, kegiatan ini harus dikurangi agar PT mulai berorientasi
kepada riset. Tingginya kegiatan pendidikan di PTN yang terlihat dengan
tingginya aktivitas para dosen, baik dalam kelas maupun dalam pembuatan
perangkat pendidikan, jelas mengindikasikan kelalaian pada riset. Jumlah
mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang berimbang merupakan syarat mutlak
perbaikan kualitas PT, asalkan program pascasarjana tersebut berbasis riset.
Tidak ada pilihan lain, kecuali dosen yang direkrut
adalah lulusan terbaik yang ada. Dosen yang direkrut haruslah berjenjang S-3
sehingga dapat langsung masuk ke dunia riset di kelompoknya. Apabila masih S-1
atau S-2, kemungkinan yang bersangkutan pindah bidang sewaktu studi S-3
sehingga menyulitkan pengembangan kelompok riset yang sudah ada.
Dosen yang periset
Perekrutan harus langsung melibatkan departemen
bahkan kelompok riset karena hanya mereka yang lebih tahu bidang dan dengan
kualifikasi apa seorang pelamar bisa diterima. Harus ditekankan, seorang dosen
adalah juga periset sehingga pelamar yang tak berbakat riset hanya akan
merepotkan PT di belakang hari. Jadi, perekrutan melalui sistem pegawai negeri
seperti yang berlaku saat ini jelas tak tepat. Di sini otonomi PTN mutlak
perlu.
Profesor yang sebenarnya adalah profesor paripurna
yang sudah didefinisikan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49
Ayat 3 dan 4). Meski memiliki ribuan kum, profesor yang ada saat ini belum
tentu profesor sebenarnya dan mungkin harus direposisi ke jabatan profesor
asosiasi atau madya.
Untuk mendapatkan jabatan paripurna, profesor harus
dinilai ulang atau harus melakukan penelitian lebih giat lagi untuk memenuhi
tuntutan ayat 3 yang mensyaratkan pengakuan internasional sehingga posisinya
jelas setara dengan posisi profesor di negara maju dan dampaknya jelas
signifikan dalam menaikkan kualitas PT.
Profesor adalah jabatan, bukan hadiah atau gelar.
Yang berhak mendapat jabatan itu ialah mereka yang mampu mengemban tugas
jabatan. Pikiran bahwa profesor adalah hak bagi mereka yang telah memiliki sejumlah
kum tertentu jelas akan terus mengerdilkan PT.
Pada akhirnya rekomendasi di atas tak dapat
dijalankan jika tak ada komitmen pemerintah berinvestasi besar-besaran dalam
dunia riset PT. Riset di PT butuh dana sangat besar. Tak semua menghasilkan
produk hilir yang langsung dinikmati masyarakat.
Memanggil lulusan terbaik jadi dosen tak mudah jika
insentif dan fasilitas yang ditawarkan tak menarik. Namun, dengan PDB lebih
dari Rp 1.500 triliun rasanya tak mustahil mewujudkan hal ini. Lagi pula, apa
mungkin kita dapat memancing ikan paus dengan umpan ikan teri seperti yang
selama ini kita lakukan?
Terry
Mart ;
Pengajar Fisika FMIPA UI
KOMPAS, 30 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi