Saat ini bermunculan gerakan protes
dan gugatan formal terhadap Undang-Undang Pendidikan Tinggi 2012. Media
memberitakan, di berbagai perguruan tinggi negeri berlangsung acara-acara unjuk
rasa yang meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan. Sejumlah mahasiswa--dengan
bantuan lembaga swadaya masyarakat--juga mengajukan dua permohonan terpisah
kepada Mahkamah Konstitusi agar menetapkan undang-undang tersebut sebagai
bertentangan dengan UUD 1945.
Ada beberapa argumen yang
dikedepankan gerakan protes itu. Dicitrakan oleh para penggugat bahwa UU
Pendidikan Tinggi (Dikti) tersebut akan melahirkan otonomi perguruan tinggi
yang pada intinya adalah kemandirian kampus untuk melakukan komersialisasi
pendidikan. Dengan otonomi itu, biaya pendidikan akan menjadi mahal sehingga
hanya orang kaya yang diuntungkan.
Sebagai alternatif, mereka menuntut
pembatalan otonomi, sehingga tanggung jawab pendidikan tinggi dikembalikan ke
pemerintah. Perguruan tinggi kembali menjadi lembaga instansi pemerintah, dan
biaya kuliah bisa ditekan serendah mungkin. Para aktivisnya bahkan menyatakan
bahwa seharusnya--sebagaimana, misalnya, di Jerman--mahasiswa bisa kuliah
dengan cuma-cuma.
Menurut saya, gugatan itu
mencerminkan keterbatasan pengetahuan para perancangnya. Atau, lebih buruk lagi,
itu mencerminkan upaya memperdaya publik demi kepentingan kelompok kecil yang
sebenarnya sedang terancam oleh UU Dikti tersebut. Saya gunakan kata
"memperdaya" karena apa yang diperjuangkan oleh para penggugat
sebenarnya jauh dari keberpihakan pada rakyat kecil. Sebaliknya, mungkin tanpa
mereka sadari, mereka sedang memperjuangkan kenikmatan dan kemudahan bagi orang
kaya.
Selama berpuluh tahun di bawah Orde
Baru dan di awal reformasi, mahasiswa perguruan tinggi negeri di Indonesia
menikmati subsidi rakyat luar biasa. Mereka membayar sangat murah serta
memperoleh fasilitas pendidikan dan kualitas pengajaran terbaik di negeri ini.
Siapa yang menikmati? Kalangan menengah ke atas!
Begitu pula sekarang, kalau apa yang
diperjuangkan penolak UU Dikti berhasil, yang akan menikmati murahnya biaya
pendidikan berkualitas adalah kalangan borjuis yang--dengan menggunakan
Universitas Indonesia sebagai contoh--memenuhi lahan parkir kampus dengan
mobil-mobil mewahnya dan tinggal di apartemen-apartemen mahal yang dibangun di
sekitar kampus untuk memfasilitasi gaya hidup kaum muda kaya ini.
Realistis saja, daya tampung
perguruan tinggi terbatas, sehingga harus ada proses seleksi ketat untuk bisa
masuk ke sana. Hampir pasti, peluang siswa kaya yang datang dari sekolah-sekolah
menengah terbaik jauh lebih besar daripada siswa miskin dengan segenap
keterbatasan latar belakangnya. Singkat kata, kalau uang kuliah dibuat murah,
yang akan paling menikmati kemurahan itu adalah kaum elite. Orang miskin hanya
akan menjadi penonton yang mensubsidi.
UU Dikti ini justru hendak
menjalankan pola yang lebih adil. Berbagai universitas yang dulu dikenal
sebagai perguruan tinggi negeri di bawah pemerintah akan menjelma menjadi
perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH), yang memiliki kemandirian dari
pemerintah, namun pada saat yang sama tetap didanai negara sehingga tak boleh
berorientasi komersial dan tetap wajib mengabdi pada rakyat luas.
Tanpa ada preseden sebelumnya,
undang-undang ini mengharuskan setiap perguruan tinggi mengalokasikan 20 persen
kursinya untuk kaum ekonomi lemah. Lebih jauh lagi, undang-undang ini
menyatakan bahwa kelangsungan biaya pendidikan kaum 20 persen ini diperoleh
dari beasiswa pemerintah, pemerintah daerah, sumbangan masyarakat, dan lain
sebagainya.
Ini tidak pernah diamanatkan oleh
undang-undang mana pun sebelum ini. Melalui kewajiban ini, tidak akan ada
perguruan tinggi yang hanya diisi oleh kaum kaya. Kaum miskin diberi perlakuan
istimewa. Kompetisi bebas ditiadakan. Sebab, kalau proses pasar terbuka itu yang
dijalani, kaum papa pasti tersingkir sejak awal.
Kedua, undang-undang ini juga
membatasi ruang gerak pengelola PTNBH dalam menerapkan biaya kuliah. Mereka
yang berpikir akan bisa memanfaatkan perguruan tinggi sebagai ladang emas untuk
dikeruk kekayaannya harus gigit jari. Besar biaya kuliah per mahasiswa tidak
bisa ditetapkan semena-mena oleh rektor. Undang-undang mengamanatkan pemerintah
untuk menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara
periodik, yang akan digunakan sebagai dasar oleh tiap PTNBH untuk menetapkan
biaya kuliah di kampus masing-masing.
PTNBH tidak boleh mengandalkan
sebagian besar biaya pendidikan dari mahasiswa. Sekitar 70 persen dari biaya
pendidikan harus diperoleh dari sumber non-mahasiswa, misalnya melalui penelitian
dan bentuk-bentuk pencarian dana melalui kerja sama dengan pihak luar.
Undang-undang juga tidak menyatakan
bahwa pemerintah bisa lepas tangan dari kewajibannya atas pendanaan pendidikan.
Pemerintah harus tetap mendanai PTNBH, sehingga tak perlu terjebak dalam
kebutuhan untuk melakukan eksploitasi ekonomi atau terjerat dalam gurita
kepentingan ekonomi dan politik. Di sisi lain, undang-undang membatasi peran
pemerintah sehingga tak bisa mengintervensi otonomi pendidikan PTNBH.
Undang-Undang Dikti ini memang tidak
akan membuat biaya kuliah menjadi murah, melainkan akan menjadi lebih adil.
Mereka yang datang dari kalangan bawah dijamin kuotanya. Mereka yang tak mampu
ini dibebaskan dari biaya kuliah. Mereka yang kaya harus membayar lebih mahal,
namun itu pun dengan batas yang tak bisa ditentukan semena-mena oleh pengelola
perguruan tinggi. Untuk mempermudah pendidikan, undang-undang ini bahkan
mengatur ihwal skema pemberian pinjaman lunak kepada para mahasiswa yang
membutuhkan.
Saya tak hendak mengatakan undang-undang ini sempurna. Saya
percaya bahwa PTNBH di Indonesia akan tetap didominasi oleh kalangan muda
menengah ke atas. Tapi undang-undang ini perlu didukung, karena dia menjamin
otonomi kampus--suatu keniscayaan bagi pusat-pusat ilmu pengetahuan yang
berjarak dari kekuasaan. Dan, pada saat yang sama, undang-undang ini lebih
memenuhi rasa keadilan dalam pendidikan
Ade
Armando ;
Dosen
Komunikasi Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 19 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi