Andy Hargreaves dan Shirley Dennis (2009) menyebut jalan ke
empat pendidikan sebagai proses perubahan pendidikan yang inspiratif di masa
depan. Belum banyak negara yang mengarah ke sana. Namun, menurut Hargreaves
dalam artikelnya, Singapore: The Fourth Way in Action? (2012),
Singapura dianggap sedang melalui jalan keempat itu karena prestasinya yang
luar biasa di bidang pendidikan. Bagaimana dengan Indonesia?
Perubahan pendidikan secara teoretis bisa ditelaah melalui
pengamatan jejak sejarah (historical patterns) dari kebijakan,
implementasi dan praksis yang ada. Hargreaves dan Shirley melacak jejakjejak
perubahan kebijakan dan praksis pendidikan di beberapa negara, terutama
Amerika, sejak 1960 dan berhasil membuat pemetaan jalan pendidikan secara
menarik.
Inovasi
dan inkonsistensi
Inovasi dan inkonsistensi kebijakan pendidikan merupakan
ciri khas jalan pertama. Periode itu berlangsung dari masa setelah perang dunia
sampai tahun 1970-an. Di Amerika Serikat, Australia, Kanada, Inggris, dan
Selandia Baru, terdapat gerakan masif pembangunan pendidikan yang sifatnya dari
bawah ke atas (bottom-up).
Gerakan itu didukung pemerintah yang ditandai dengan
menjamurnya pendidikan menengah dan tinggi. Belanja pendidikan dianggap sebagai
investasi daripada pemborosan ekonomi (the drain of economy). Filsafat
yang digunakan ialah persamaan, keadilan, dan kesempatan. Dalam beberapa hal,
jalan pertama bersifat eksperimental dan inovatif.
Jalan pertama memuncak pada 1970, saat gerakan bersama itu
berbalik arah dan inovasi-inovasi penting justru muncul secara terfragmentasi
dalam gugus-gugus kecil sekolah. Perubahan massal secara kelembagaan tidak
mungkin lagi. Inovasi itu dibarengi dengan tidak adanya koherensi dalam
kepemimpinan sekolah, makin melebarnya jurang prestasi antarsekolah, jurang
sekolah kaya dan miskin. Akhirnya, runtuhlah fase jalan pertama pendidikan.
Pasar
dan Standardisasi
Kegagalan jalan pertama sering kali dikambinghitamkan pada
pengambilan kebijakan pendidikan yang sifatnya lebih ideologis ketimbang
berdasarkan hasil riset yang memadai. Untuk mengatasi kebangkrutan pendidikan
di jalan pertama, serta memperoleh kualitas pendidikan istimewa secara
menyeluruh dalam satu sistem yang konsisten dan stabil, diperlukan kebijakan
pendidikan yang lebih kaku. Dengan tata kelola yang ketat disertai dengan
pembatasan-pembatasan melalui regulasi disertai promosi melalui persaingan.
Sebagai akibatnya, sejak awal tahun 1970-an sampai akhir
1990-an, kebijakan pendidikan cenderung mengalami pergeseran dan perubahan dari
negara ke pasar. Pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pasar dan lembaga
privat agar belanja negara untuk pendidikan bisa dikurangi, serta ditetapkannya
kerangka kerja pendidikan yang berlaku secara terpusat disertai dengan ujian
standar.
Kebijakan pendidikan di satu sisi lebih terdesentralisasi
dari sisi pembiayaan, tapi dari segi kebijakan evaluasi pendidikan, terdapat
sentralisasi dengan standardisasi yang ketat. Sentralisasi itu tampak dari
berbagai macam kebijakan yang wajib diterapkan di sekolah-sekolah, misalnya
promosi persaingan sekolah melalui sistem pemeringkatan, dikuranginya alokasi
anggaran bagi pengembangan profesional guru, kurikulum tertulis serta ujian
standar yang mengikat seluruh sekolah. Akibatnya, hanya sekolah-sekolah yang
memiliki sarana prasarana bagus yang bisa bersaing, mampu menarik masuk banyak
peserta didik. Sementara itu, sekolah-sekolah miskin semakin tergusur karena
miskin prestasi dan sarana, serta kualitas guru.
Negara membayar mahal buah-buah kebijakan pendidikan yang
bersifat persaingan pasar bebas, egaliter, dan seragam berupa hilangnya
motivasi guru untuk mengajar, rendahnya semangat siswa dalam belajar secara
autentik, serta miskinnya kualitas kepemimpinan. Jalan pendidikan kedua itu pun
berakhir.
Performa
dan Rekanan
Jalan ketiga muncul sebagai situasi transisi, antara jalan
pertama dan kedua, tapi ia mengatasi kedua jalan tersebut dari segi teori dan
strategi. Pada jalan ketiga ini, ada dukungan perubahan pendidikan yang berasal
dari bawah (bottom-up support). Namun, juga disertai penyediaan
kebutuhan pendidikan dari atas, dengan menyertakan sistem pengawasan yang
ketat.
Itu tampak nyata dari disediakannya sarana-sarana dan
kesempatan bagi guru untuk mengembangkan kinerja profesionalnya, meningkatnya
kolaborasi lateral antarguru, baik di sekolah maupun antara guru mata
pelajaran, dan meningkatnya kepemimpinan inspiratif yang muncul di kalangan
pendidik. Melalui strategi itu, muncullah komunitas profesional guru, kuatnya
jaringan profesional antarguru, serta sekolah dapat belajar satu sama lain
sepanjang waktu.
Meskipun terdapat semacam kebangkitan kembali, jalan ketiga
ini tidak tanpa masalah. Mereka menghadapi godaan yang bisa berdampak pada
keberhasilan pendidikan. Seperti profesionalisme salah sasaran.
Pengembangan profesional yang mulanya ialah sarana pertemuan
guru untuk mendiskusikan tentang pengajaran dan pembelajaran, lama-lama berubah
menjadi kegiatan teknis, seperti membuat soal, mempelajari hasil tes, analisis
kisi-kisi, dll yang jauh dari tujuan semula.
Menuju
Jalan Keempat
Kegagalan dan `kelelahan' tiga jalan pertama membangkitkan
pertanyaan baru tentang prinsip-prinsip pendidikan dan pilar-pilar penting apa
bagi perubahan pendidikan yang menawarkan sebuah proses perubahan yang lebih
lestari (sustainable) dan bertahan di masa depan. Belajar dari
pengalaman di berbagai macam negara yang berhasil dalam mengelola pendidikan,
Hargreaves dan Shirley mengidentifikasi beberapa hal fundamental yang menandai
terbukanya jalan keempat pendidikan.
Ciri utama jalan keempat ini ialah adanya koherensi antara
visi nasional pendidikan, partisipasi profesional, serta dukungan publik dalam
rangka peningkatan prestasi dan performa pembelajaran. Jalan keempat diperkuat
dengan enam pilar tujuan dan kerja sama yang mendukung perubahan pendidikan,
tiga prinsip profesionalisme, dan empat katalis koherensi yang menyokong
perubahan yang lestari.
Keenam pilar itu ialah visi inklusif dan inspiratif,
partisipasi publik dalam pendidikan, investasi, tanggung jawab sosial dunia bisnis
bagi dunia pendidikan, siswa sebagai partner dan pemimpin, serta pembelajaran
dan pengajaran yang bernas (mindful). Keenam pilar itu menjadi dasar
bagi sebuah perubahan pendidikan yang efektif.
Selain enam pilar, ada tiga prinsip profesionalisme yang
menjadi ciri jalan keempat. Mereka ialah kualitas pembelajaran yang tinggi,
dengan negara mampu menarik banyak calon guru dari para kandidat yang bermutu
tinggi. Kedua, dinamisme tinggi dalam organisasi guru maupun asosiasi profesi.
Ketiga, lahirnya komunitas belajar yang hidup di lingkungan
sekolah sehingga dalam diri guru terdapat jaringan kerja sama yang kuat, baik
bagi guru baru maupun guru yang mau pensiun.
Semua itu bisa lestari bila disertai empat katalis berikut
ini. Pertama, kepemimpinan yang lestari. Artinya, sistem pendidikan yang baik
bisa mengatasi pergantian atau rotasi kepemimpinan. Bukan ganti menteri ganti
kebijakan! Ke dua, adanya jaringan kerja sama terintegrasi yang mengatasi
perubahan di level individual. Ketiga, menempatkan tanggung jawab pendidik di
jawab pendidik di atas akuntabilitas. Akuntabilitas mesti menjadi pengingat
yang tersisa ketika pendidik gagal memenuhi tanggung jawabnya. Keempat,
diferensiasi dan perbedaan dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Prinsipnya, siswa yang khusus harus mendapat perlakuan
khusus serta penghargaan terhadap keanekaragaman model dan cara belajar siswa.
Jalan
Indonesia?
Indonesia tentu tidak dapat disamakan dengan Singapura.
Namun, pemetaan jalan pendidikan berdasarkan jejak sejarah kebijakan pendidikan
bisa menjadi titik pijak reflektif bagi pengembangan pendidikan kita.
Indonesia mengalami jalan pertama pendidikan pada masa
kemerdekaan dan dilanjutkan dengan masa Orde Baru. Itu saja masih pada level
sekolah dasar! Era Orde Baru masih menyisakan jejak kehadirankehadiran sekolah
inpres yang sekarang sebagian besar sudah roboh. Robohnya sekolah-sekolah
inpres era HM Soeharto mengantar Indonesia pada jalan kedua.
Era reformasi lebih mengarah pada ciri pendidikan jalan
kedua. Yang terdapat desentralisasi semu, sentralisasi kebijakan pendidikan
berupa evaluasi standar, merebaknya sistem pemeringkatan, dan persaingan
antarsekolah tampak nyata. Sekolah banyak ditentukan melalui mekanisme pasar,
sedangkan standardisasi melalui ujian nasional, dan uji coba RSBI, telah gagal
menyetarakan kualitas pendidikan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Namun, ada beberapa tanda Indonesia telah memasuki jalan
ketiga, seperti hidupnya jaringan antarguru, lahirnya berbagai macam organisasi
dan asosiasi guru, peningkatan profesionalisme guru melalui sertifikasi, serta
meningkatnya partisipasi publik, terutama orangtua dan perusahaan dalam
peningkatan pendidikan. Tampaknya, Indonesia sedang berada dalam transisi
antara jalan kedua dan ketiga menurut terminologi Hargreaves dan Shirley.
Jalan keempat? Tampaknya masih jauh....
Doni
Koesoema A ;
Pemerhati
Pendidikan,
Master
Alumnus Boston College Lynch School of Education
MEDIA INDONESIA, 19 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi