Kurikulum Antikorupsi di Perguruan Tinggi


Kompas edisi 28 Juli 2012 halaman 12 memuat berita tentang semangat antikorupsi dari Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tanggapan pun datang dari Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengusulkan agar pendidikan antikorupsi jadi mata kuliah wajib. Bahkan, ada perguruan tinggi, antara lain Universitas Bina Nusantara, yang mengancam mencabut ijazah alumninya yang terlibat korupsi.

Sekalipun banyak teori tentang kausa kejahatan, semangat itu tetap harus diapresiasi. Sebab, sulit disangkal terkait adanya tuduhan bahwa perguruan tinggi, secara kriminologis, sedikit banyak dianggap turut andil dalam merebaknya tindak pidana korupsi di negeri ini. Hal ini mengingat banyak koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta—dari program S-1, S-2, ataupun S-3.

Korupsi bisa berupa penyalahgunaan kemampuan profesional untuk keuntungan personal (professional fringe violator) atau kejahatan kerah putih yang bisa dilakukan baik dalam jabatannya yang melekat status sosial tinggi maupun dalam bentuk kejahatan korporasi. Data di beberapa negara menunjukkan keterlibatan profesional dalam kejahatan transnasional terorganisasi.

Dengan demikian, yang dituduhkan bukan sekadar perbuatan malapraktik atau perbuatan di bawah standar profesi yang mengandung unsur kurang pengalaman, kurang pengetahuan, dan keterampilan, melainkan sudah mengandung kesengajaan jahat.

Keprihatinan itu juga melanda negara-negara lain. Sebab, banyak pejabat eksekutif korporasi mereka, yang merupakan alumni perguruan tinggi terkemuka, saat ini menghuni penjara di AS dalam waktu lama.

Mereka terbukti melakukan korupsi, kecurangan, kejahatan di dunia maya, perdagangan saham atau sekuritas yang melawan hukum. Termasuk juga sebagai orang dalam perusahaan memanfaatkan informasi internal, pelanggaran hak kekayaan intelektual, pencucian uang, investasi bodong, dan berbagai tindak pidana ekonomi lain. Kejahatan dilakukan secara individual ataupun sebagai kejahatan korporasi. Bahkan, tak jarang korporasi multinasional terlibat tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM di negara lain.

Terlalu Elitis

Akar permasalahan yang dirasakan sebenarnya adalah lemahnya kurikulum perguruan tinggi yang dianggap terlalu elitis. Bahkan, cenderung terlalu menonjolkan kurikulum bernuansa pengetahuan dan keterampilan (kognitif dan psikomotorik) yang berorientasi pada pasar kerja yang menjanjikan gaji tinggi sebagai pusat keunggulannya. Sebaliknya, aspek afeksi dalam bentuk kurikulum yang bernuansa kepekaan terhadap tanggung jawab sosial sangat lemah.

Samuel Huntington (1957) menekankan, elemen profesionalisme selalu mencakup tiga hal: pengetahuan dan keterampilan atau keahlian yang memadai, tanggung jawab, dan rasa kebersamaan. Dalam pendidikan tinggi ini harus direalisasikan dalam tiga domain pendidikan: kognitif, psikomotorik, dan afektif (Taksonomi Bloom, 1956). Pembaruan kurikulum seharusnya tak hanya memasukkan mata kuliah wajib antikorupsi, tetapi secara mendasar juga berusaha meningkatkan pendidikan tentang nilai profesionalisme dan afeksi di semua strata pendidikan. Sebutlah aturan (kode) integritas atau kejujuran intelektual, kode etik dan kode perilaku profesi atas dasar semangat kebebasan akademik dan budaya akademik, serta otonomi keilmuan. Perlu sosialisasi materi tentang HAM dan tanggung jawab asasi manusia sejak dini. Semua ini diharapkan akan menjadi indeks daya saing di samping kualitas pengetahuan dan keterampilan yang unggul.

Muladi
Mantan Rektor Universitas Diponegoro
KOMPAS, 07 Agustus 2012



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi