Einstein, Tuhan, dan Alquran


“Sains kerap tidak dapat menembus ruang misteri, tapi melalui partikel suci fitri selalu saja ada hidayah yang membimbing manusia untuk menyentuh energi misteri itu."

BERMULA dari rumus E=mc2, di usia 26 tahun, pada 1905 Albert Einstein menemukan energi fitri dalam lintas cahaya mahadahsyat. E=mc2 menjelaskan persamaan nilai antara energi (E) dan massa (m), yang disetarakan secara langsung melalui konstanta kuadrat laju cahaya dalam vakum (c2). Energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya. Einstein terperangah! Dalam ruang kontemplasi nalar ia bertawaf pada ruang mahaagung jagat raya, matahari, planet, bintang, dan entah apalagi. Itu tentu butuh energi luar biasa untuk menciptakan massa. Di situ, Einstein memosisikan energi sebagai emanasi Zat Mahaagung sekaligus Zat Mahaagung itu sendiri!

Cosmic religion khas Einstein yang memosisikan cahaya dalam vakum (c2) untuk menjabarkan abstraksi energi itu ternyata 14 abad sebelumnya telah disitir dalam Surah An-Nur (24): 35, “Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“

Surah An-Nur ayat 35 mengisyaratkan bahwa misykab/cela merupakan simbol religi, azzujaj merupakan komunitas manusia berzikir nalar, dan al mishbah adalah kalbu. AsySyajarahb merupakan sosok manusia yang bersih, steril, dan istikamah. Minyak adalah simbol rahasia-rahasia Allah. Matsalu nurihi/ perumpamaan cahaya-Nya adalah cahaya makrifat. Hal itu diadopsi Einstein sebagai `the most beautiful experience we can have is t the mysterious'. Adalah ruang misteri sekaligus perjalanan emosi ketika manusia berada pada titik temu terjauh di antara seni sejati dan sains sejati. Emang sih, sains kerap tidak dapat menembus ruang misteri, tapi melalui partikel suci fitri selalu saja ada hidayah yang membimbing manusia untuk menyentuh energi misteri itu.

Energi misteri benih telur (ovarium) yang melekat pada dinding rahim perempuan, misalnya, hanya mencapai panjang 0,125 milimeter. Itu pun untuk 200 benih telur dijejerkan dalam satu deret lurus. Namun ovarium bisa menjadi luar biasa. Itu terjadi ketika benih telur tersebut mendapat sentuhan pembuahan dari benih sperma lelaki. Satu ovarium masak bertemu dengan satu benih sperma sehat akan menghasilkan 46 kromosom, yaitu 23 kromosom berasal dari ovarium dan 23 kromosom dari sperma. Perpaduan kromosom itu setiap harinya akan membelah diri menjadi dua sel, terusmenerus, dan lewat proses ajaib jadilah apa yang disebut fetus. Itulah calon makhluk berakal yang banyak disebut sebagai manusia.

Kendati tercipta bermula dari sari pati air yang hina, keberadaan manusia sangatlah istimewa. “Manusia adalah mahkota serta puncak alam semesta,“ tutur Hamzah dari Pansur, empat abad lalu. Lain lagi Abbas Mahmud al-Aqqad. Ia menulis bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan. Adapun Syams Al Din dari Pasai, pada abad XVI bertutur bahwa manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling sempurna. Adinegoro menulis bahwa manusia adalah alam kecil, sebagian dari alam besar di atas bumi.

Aneka pendapat tersebut, dalam kajian filsafat abad XVI, menjadi acuan dalam memosisikan dan memaknai hakikat manusia. Di dataran pemikiran itu, kedudukan manusia ditempatkan pada dimensi religius yang kukuh. Ia terposisikan pada konstruksi pusat periferal keajekan alam. Seperti sebuah samudra mahaluas, manusia ialah penghubung antara Zat Mutlak dan segala penciptaanNya. Alam mikrokosmos yang mengungkapkan alam makrokosmos. “Seperti halnya air menjadi penghubung antara ombak dan laut,“ ungkap Hamzah.

`Sebagai pangkat terakhir penjelmaan Zat Mutlak, manusia bisa diposisikan sebagai titik balik bagi perjalanan kembali kepada Allah. Secara potensial manusia adalah tempat pertemuan antara tanazzul dan taraqqi, atau tempat pertemuan pengaliran keluar dan pengaliran kembali', tulis Harun Hadiwijoyo. Seorang Soeryanto Poespowardojo bahkan menuturkan bahwa manusia ketika terlempar dalam situasi tertentu butuh bentuk-bentuk pengejawantahan yang perlu direalisasikan, yaitu dinamika dan histori. Artinya, keseluruhan jati diri manusia adalah potensi dinamis penuh daya cipta, karsa, dan rasa. Paparan tersebut diakses Albert Einstein sebagai sinergi emanasi energi misteri E=mc2.

Tidak aneh manakala empirisme emosional mengantarkan manusia pada sains-sains ilahiah: jalinan mikroskopis membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan, dan Big Bang yang telah memuntahkan samudra partikel, kemudian material subatomik itu membentuk miliaran galaksi hingga terwujudlah `sebutir pasir' bernama bumi yang kini kita tempati.

Yang ajaib, sebagai makhluk yang hinggap di sebutir pasir, manusia ternyata memiliki potensi fitri dalam mengembangkan kebudayaan yang cemerlang. Pada titik yang terjauh, manusia bahkan memiliki moralitas yang tidak dimiliki hewan apa pun, termasuk apa yang dijelaskan dalam teori evolusi Darwin. Einstein bahkan memberi apresiasi tinggi terhadap pandangan filsuf Baruch de Spinoza seputar `jiwa' yang tak berwujud dan tubuh yang berwujud adalah satu. Adalah primordial spirit (jiwa utama) yang zikirkan moralitas Idul Fitri.

Potensi energi fitri tersebut selalu saja ditelikung perumitan dilematis bersifat holistis. Potensi yang dimiliki untuk memperluas kesempurnaan sebagai bayang-bayang energi fitri direduksi langkah laku pembodohan jiwa. Hamzah menyebutnya gaflat. Hamzah menulis, `Adapun rupamu itu, bayang-bayang jua, namamu itu gelar-gelaran jua; dari pada gaflatmu kausangka engkau bernama dan berupa'. Manusia akhirnya kehilangan apa yang seharusnya tetap melekat di dalam pencahariannya, yaitu nur Allah!

Einstein, Tuhan, dan Alquran? Ah, saya jadi teringat saat ikut khuruj fi sabilillah bareng Jamaah Tablig. “Sesungguhnya di sekitar Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya, yang di antaranya terdapat suatu kaum yang menggunakan pakaian cahaya,“ tutur tausiah amir, “Wajah mereka bercahaya dan mereka itu bukan nabi, juga bukan para syuhada. Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang yang saling menjalin cinta kasih karena Allah, dan saling bermajelis (duduk memikirkan sesuatu) karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah semata.“

Saya tersenyum. Bisa jadi salah satu di antara mereka yang berpakaian cahaya surga itu, atas rida Allah SWT, adalah Albert Einstein yang wafat pada usia 76 tahun di Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, pada 18 April 1955.

Tandi Skober
Budayawan
MEDIA INDONESIA, 07 Agustus 2012


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi