Keprihatinan Awal Tahun Ajaran


Negeri ini belum memiliki visi dan misi pendidikan yang benar, Pancasilais, dan solid. Diakui atau tidak, pemerintah masih suka mencoba-coba berbagai sistem pendidikan dengan alasan peningkatan kualitas. Karena, setiap ganti menteri ada kecenderungan ganti kebijakan, maka boleh dikatakan sistem pendidikan kita terus berubah-ubah dari waktu ke waktu, bahkan sistem yang satu belum dipahami, sudah ganti sistem baru.

Kalau begitu, penanganan pendidikan di Indonesia sering membingungkan. Aneka titipan dari kepentingan kementerian-lementerian dimasukkan. Sehingga, anak didik dibebani mata-pelajaran yang over-loaded. Metode-metode pembelajaran yang didapat dari negara-negara asing begitu saja diterapkan, sehingga terciptalah visi-misi pendidikan yang amburadul, tidak karuan. Karena hal itu telah berlangsung lama, maka tidak mengherankan kalau hasil-hasil pendidikan di Indonesia semakin ketinggalan dari negara-negara yang lebih memiliki visi dan misi pendidikan nasional jelas dan kuat.

Salah satu ekses dari kebijakan yang berubah-ubah itu, maka muncullah ketidakadilan dalam pendidikan. Tiap sekolah atau lembaga pendidikan membuat label-label sendiri sebagai daya tarik merekrut siswa baru. Karena itu, tidak mengherankan, di negeri ini masyarakat menyebut sekolah menengah (terutama SLTP dan SLTA) ada yang berlabel favorit atau top, walaupun sekolah-sekolah tersebut jauh dari tempat kediamannya.

Padahal, sekolah favorit itu sendiri sebenarnya tidak ada, kecuali sebagai ciptaan atau penafsiran kalangan masyarakat saja. Sebab, bagaimana pun kualitas dan keadaan sekolah-sekolah negeri tersebut semuanya sama, berkat pengaturan yang demikian rupa oleh pemerintah. Mereka berpendapat, jika bisa masuk sekolah favorit maka akan mudah melanjutkan atau mendapat pekerjaan.

Buntut dari pengkotak-kotakan itu, maka sistem rekrutmen siswa menjadi mencemaskan, para orangtua merasa runyam dan pusing memikirkan sekolah anak-anaknya yang berada di sekolah-sekolah negeri atau sekolah swasta, sebab ternyata biayanya jauh dari yang dibayangkan dan hampir-hampir tak terjangkau oleh kekuatan ekonominya.

Semula, banyak orangtua murid mengira bahwa masuk ke sekolah negeri biayanya akan jauh lebih murah. Itu kan dulu, sebelum otonomi. Namun, setelah otonomi, tiap sekolah bisa mengatur sendiri anggarannya. Bahkan, dengan adanya Komite Sekolah, banyak kegiatan bisa dimunculkan, yang ujung-ujungnya duit pula. Karena itu, banyak orangtua terkejut melihat sejumlah uang yang segera harus dibayar agar nama anaknya tidak dicoret dari sekolah yang akan dimasuki itu.

Bagi para orangtua berpenghasilan cukupan, dan punya sejumlah anak yang harus sekolah di TK, SD, SLTP dan SLTA, bahkan perguruan tinggi, mereka harus memeras otak untuk mendapatkan uang agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. Karena itu, kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak, terutama kebutuhan orangtua, terpaksa ditunda.

Walaupun demikian, ada juga sekolah-sekolah yang dana pengembangan pendidikannya sedang-sedang saja, namun masih cukup mahal untuk ukuran pegawai negeri golongan rendah. Karena itu, jika ada anak pegawai negeri saja tidak bisa melanjutkan belajar karena tipisnya dana yang ada.

Kadang-kadang kemiskinan orangtua membawa penderitaan berganda. Di samping biaya untuk anaknya yang masuk sekolah hanya pas-pasan, kondisi makan juga berkadar rendah menyebabkan anak mengalami kelambatan berpikir. Jadi, keluarga miskin merasa sangat berat untuk membayar uang sekolah, sedangkan anak yang dibiayai juga hanya memiliki kemampuan yang pas-pasan saja.

Dengan demikian, dalam tahun ajaran baru 2012/ 2013 ini, banyak orangtua kembali harus mengalami keprihatinan dalam mengupayakan lanjutan pendidikan putra-putri mereka. Untuk mendapatkan tempat di sekolah-sekolah yang diinginkan, ternyata gagal. Hal ini disebabkan, selain tempat yang tersedia terbatas, juga peminatnya melimpah. Lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap baik dan bermutu pun, menuntut pembayaran yang relatif tinggi.

Banyak orangtua dan anak-anak kita pun harus kecewa, karena keinginan untuk mendapatkan tempat belajar yang baik belum terpenuhi. Mereka kalah dalam hal prestasi studi lewat tes dan kemampuan finansial.

Adalah benar bahwa salah satu dari kedua faktor penyebab kegagalan itu sering dapat mengkompensir atau mengimbangi faktor yang lainnya. Misalnya, prestasi studi yang baik dapat mengkompensir kemampuan finansial yang kurang, dan sebaliknya, sehingga akhirnya dapat diterima. Namun, kebanyakan mereka harus mengalami kekecewaan itu memang lemah untuk kedua-duanya, sehingga tidak dapat tertolong lagi.

Dalam kesempatan ini kita tidak merefleksikan mahalnya biaya pendidikan yang bermutu yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Hal itu sudah merupakan kenyataan yang sampai saat ini masih sulit dicarikan jalan keluarnya, meski ada label sekolah gratis, karena masalahnya kompleks dan sukar dipecahkan.

Dhus, kiranya dapat kita ketahui bahwa peluang dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pada umumnya lebih terbuka hanya bagi mereka yang berasal dari lingkungan sosial-ekonomi kuat. Di sisi lain, kaum lemah atau si miskin tetap terpinggirkan. Keprihatinan ini selalu terjadi di setiap tahun ajaran baru.

Di sinilah letak persoalannya, apabila kita mempermasalahkan keadilan di bidang pendidikan. Sebab, kenyataan yang tidak adil itu telah membelenggu sebagian besar masyarakat kita. Mudah-mudahan problema pendidikan yang gawat itu terus menggetarkan hati para pimpinan kita, sebab sebenarnya masih banyak cara dan upaya lain yang masih bisa ditempuh.

A Kardiyat Wiharyanto
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 06 Agustus 2012



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi