Keterjangkauan
Pendidikan Tinggi
Pada tingkat makro, pendidikan tinggi mempunyai
peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi
peradaban manusia.
Secara pragmatis-ekonomis, pendidikan tinggi akan
mengembangkan komunitas warga terdidik, terampil, berbudaya, dan berakhlak
mulia untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan pendidikan tinggi
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional
tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945.
Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang
semakin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi diharapkan mampu
menjalankan peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa
Indonesia demi peradaban manusia. Pada tingkat individual, pendidikan tinggi
merupakan salah satu rute yang bisa diambil warga masyarakat untuk
mempertahankan atau meningkatkan status dan kelas sosial-ekonomi.
Setelah melalui beberapa proses revisi, Rancangan
Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) direncanakan untuk disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR pada 13 Juli 2012. Bisa dipastikan UU PT yang baru
akan menghadapi proses uji materi di Mahkamah Konstitusi karena kalangan
akademisi, terutama dari PTN, mencemaskan pengebirian otonomi perguruan tinggi.
Penempatan permasalahan dalam perspektif berbagai kepentingan bisa membantu
memberikan alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap
pendidikan tinggi.
Pusaran
Kepentingan
Komplikasi dalam pembuatan dan implementasi
kebijakan pendidikan tinggi tampak dalam dinamika pro-kontra yang berakhir pada
pembatalan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). DPR dan
pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sebagai pemegang kewenangan
berupaya melegalisasi kewenangan pengaturan tata kelola pendidikan tinggi dalam
UU PT. Rully Chairul Azwar, anggota Komisi X DPR, menyebutkan tiga permasalahan
pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan
kompetensi-relevansi) sebagai alasan pengesahan RUU PT.
Kalangan akademisi mencemaskan UU PT yang baru
akan berakhir pada pengebirian otonomi dalam pengelolaan Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Potensi intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi dikhawatirkan,
seperti soal kurikulum, pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian
masyarakat, akan menghambat inovasi, kreativitas, dan keunggulan akademik.
Bahkan, sebagian kalangan akademisi ini ”merindukan” kembali ke UU No 9/2009
tentang BHP yang dianggap lebih membawa semangat otonomi. Kalangan akademisi
juga berupaya menepis kekhawatiran masyarakat bahwa otonomi universitas akan
menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu (Sulistyowati Irianto,
2012).
Sementara itu, kalangan warga masyarakat
(mahasiswa dan sebagian akademisi yang lain) mencemaskan implementasi otonomi
sebagai pengurangan akses bagi masyarakat miskin. Wacana ”kastanisasi” oleh
Darmaningtyas dkk dan penolakan terhadap penyeragaman oleh kalangan PTS menjadi
motor dalam proses pembatalan UU tentang BHP. Komisi X DPR memberi tagline yang
terdengar populis, MPR (Melindungi Stakeholders, Pro-Rakyat, Relevan) untuk UU
PT baru.
Pendanaan
Pengelolaan perguruan tinggi harus berdasarkan
prinsip nirlaba, akuntabilitas, dan transparansi. Negara tidak boleh melepaskan
tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, kehidupan seluruh bangsa
Indonesia, bukan segolongan tertentu. Karena itu, banyak pihak yang
beranggapan, sudah selayaknya pemerintah bertanggung jawab atas pembiayaan
pendidikan tinggi negeri, setidaknya mencegah terjadinya privatisasi dan/atau
komersialisasi pendidikan tinggi sehingga calon mahasiswa dari keluarga miskin
tidak menjadi terpinggirkan.
Namun, realitas keterbatasan anggaran pemerintah
serta komitmen pendidikan dasar untuk semua dan pengalokasian yang lebih besar
untuk pendidikan dasar dan menengah menyebabkan pilihan-pilihan yang sulit bagi
perguruan tinggi.
Dalam era keterbatasan ini, kompetisi untuk
merebut sumber-sumber dana dari masyarakat menjadi makin marak. Pada masa
pra-BHMN (badan hukum milik negara), kompetisi hanya terjadi secara kasatmata
di kalangan PTS. Namun, kini PTN pun terseret dalam kompetisi ini. Bahkan,
beberapa PTN tidak segan-segan membuka cabang di kota lain dengan mengirim
dosen terbang. Ketika pendidikan tinggi sudah menjadi komoditas, diskriminasi
terhadap kalangan miskin akan terjadi secara sistematis dan legal. Pendidikan
tinggi yang prorakyat menjadi sebuah keharusan mengingat salah satu strategi
pembangunan nasional yang didengung-dengungkan adalah prorakyat.
Otonomi perguruan tinggi memang menjadi hakikat
yang tidak bisa diganggu gugat demi penjaminan mutu dan pencapaian keunggulan. Ini
membutuhkan biaya besar. DPR dan pemerintah sudah menunjukkan niat mulia untuk
mengatur dan memastikan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya
tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) bisa
diatasi. Namun, pasal-pasal dalam UU PT justru berlebihan dalam pengaturan.
Kebebasan dalam pengelolaan akademik maupun
non-akademik dalam perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, harus dijamin
dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kekhawatiran terhadap PTS ”kelas
ruko” yang dilontarkan oleh kalangan PTN terlalu berlebihan karena seiring
dengan berjalannya waktu dan pendewasaan masyarakat, PTS semacam ini pada
akhirnya harus mengambil pilihan membenahi dan meningkatkan diri atau tumbang
dalam persaingan dengan PTS lain dan PTN.
Alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan
keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi adalah alokasi dana beasiswa oleh
suatu badan yang terpisah dari PTN. Bisa saja para rektor perguruan tinggi
terpilih (negeri ataupun swasta) menjadi bagian dari badan ini, tetapi
penyaluran dana tidak seperti block grant yang diberikan langsung kepada PTN.
Mahasiswa dari PTN dan PTS terpilih bisa
mengajukan serta mendapat beasiswa atau pinjaman berdasarkan merit dan/atau
kebutuhan. Dana disalurkan ke akun mahasiswa di perguruan tinggi dan hanya bisa
digunakan untuk biaya pendidikan. Praktik ini dilakukan di beberapa negara,
seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Singapura.
Bahkan, beberapa korporasi di Indonesia juga sudah
menjalankan program beasiswa ini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Solusi ini akan membantu sebagian permasalahan keterjangkauan
tanpa intervensi terhadap otonomi perguruan tinggi dalam pencapaian keunggulan
akademik. Selain itu, solusi ini juga akan menerobos dikotomi PTN-PTS dan
menempatkan tanggung jawab pendidikan tinggi secara bersama-sama oleh negeri
dan swasta secara adil dan kompetitif.
Anita Lie
Guru
Besar Unika Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS,
18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi