Beda UU PT dan UU BHP
Meski sudah
secara aklamasi dinyatakan disetujui oleh DPR bersama pemerintah, penolakan
pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) masih terjadi. Bahkan, ada
kelompok yang akan mengajukan judicial review atau peninjauan kembali ke
Mahkamah Konstitusi (MK) segera setelah UU ini diundangkan atau ditandatangani
oleh presiden dan dimasukkan dalam lembar negara, sebagaimana lazimnya UU lain.
Perdebatan
yang terjadi seputar pemberian hak otonomi. Selain otonomi, ada juga kelompok
masyarakat yang menyejajarkan UU PT dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP),
yang telah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010, yang dinilai tidak sesuai
dengan konstitusi karena memaksakan pengelolaan perguruan tinggi harus
berbentuk badan hukum.
Sangat Berbeda
Logikanya,
pemerintah maupun DPR tidak ingin `jatuh' di lubang yang sama untuk menyiapkan
dan membuat UU. Jika sebelumnya UU BHP telah dibatalkan karena dinilai telah
mencederai hak konstitusi berkait dengan pengelolaan perguruan tinggi, dalam UU
PT hal yang berkait dengan kemungkinan akan dibatalkannya UU ini di MK pun
menjadi pertimbangan.
Jika
dilihat substansinya, tentu sangat berbeda konsep otonomi yang pernah ada dalam
UU BHP dan apa yang ada dalam RUU PT. Klausul dan pertimbangan yang
melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.
Dalam amar
putusan MK No 11-1412-126-136/PUU-VII/2009 tertanggal 31 Maret 2010 dinyatakan
bahwa tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan, pemerintah
tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan, dan
tidak terjadi liberalisasi serta komersialisasi pendidikan. Amar putusan MK ini
menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan UU PT sehingga memang
sangat berbeda dan tidak bisa disejajarkan antara UU PT dengan UU BHP.
Berkait
dengan kekhawatiran pemberian otonomi, wajar adanya karena pengalaman
membuktikan, praktik dari tujuh PT BHMN nyata dirasakan telah memberatkan dan
membatasi akses masyarakat kurang mampu masuk ke perguruan tinggi. Tapi, itu
`cerita lama' karena setelah dibatalkannnya UU BHP oleh MK yang kemudian
melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 2010, telah jelas diatur bahwa
sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN harus memberikan porsi minimal 20
persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.
Dalam UU
PT, kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk bisa mengenyam pendidikan
tinggi yang sebelumnya diatur dalam PP, kini diperkuat dengan kehadiran UU ini.
Hal ini sangat penting karena selama ini menunjukkan, masyarakat tidak mampu
yang melanjutkan dan mengakses pendidikan tinggi baru mencapai 2,8 persen pada
2009.
Dengan UU
PT ini, pemerintah juga berharap ke depan bukan hanya akses bagi masyarakat
tidak mampu yang terwadahi, melainkan kenaikan terhadap angka partisipasi kasar
(APK) pendidikan tinggi, yang pada 2010/2011 baru mencapai angka 26,34 persen.
Dalam UU PT sejak awal dinyatakan, perguruan tinggi dikelola dengan prinsip
nirlaba. Itu sebabnya, UU PT ini mengamanatkan pula bahwa bagi PTN, penentuan
besaran biaya pendidikan akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri
dengan mempertimbangkan pada indeks kemahalan wilayah (pasal 88 ayat 5).
Dua Otonomi
Soal
otonomi yang diperdebatkan sesungguhnya ada dua hal. Pertama, otonomi,
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah.
Untuk hal ini, sudah melekat dalam pengelolaan
pendidikan tinggi.
Artinya,
otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas.
Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi,
penelitian, akan diatur melalui peraturan menteri. Sekali lagi, ini adalah
bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat
ini banyak perguruan tinggi yang membuka progran studi yang tidak jelas dan
tidak terakreditasi.
Kedua,
otonomi pengelolaan keuangan. Ada dua bentuk pengelolaan keuangan bagi PTN
sebagaimana tercantum dalam pasal 65 ayat 1. Pertama, PTN dengan pengelolaan
keuangan berbentuk satuan kerja badan layanan umum (BLU).
PTN dalam
kelompok otonomi ini adalah perguruan tinggi dengan organisasi dan tata kelola
berpola BLU di mana aset sepenuhnya milik negara, dengan anggaran atau
pendanaan melalui mekanisme APBN di kementerian. Sementara, penerimaan dana
masyarakat dibukukan sebagai PNBP yang bisa langsung digunakan setelah melalui
pelaporan dan pencatatan.
Kedua, PTN
Berbadan Hukum (PTN BH). Perguruan tinggi yang diberikan otonomi penuh di dalam
organisasi dan tata kelola yang asetnya bisa dipisahkan antara milik negara dan
milik perguruan tinggi dengan alokasi pembiayaan APBN melalui mekanisme subsidi
atas penyediaan pelayanan publik.
Dalam hal
memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan itulah diperlukan
penilaian dari kementerian. Dalam konteks inilah, otonomi diberikan oleh
pemerintah melalui proses dan penilaian (pasal 65 ayat 1). Penilaian ini
menjadi penting, antara lain berkait dengan kemampuan keuangan dan pengelolaan
sumber daya sehingga ke depan dapat mewujudkan tata kelola perguruan tinggi
yang baik dan bersih.
Melalui
penilaian inilah pemerintah harus dapat memastikan PTN yang akan menjadi PTN BH
telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan, mampu melakukan
pemberdayaan terhadap sumber daya yang dimiliki, dan dapat bersinergi. Dengan
demikian, tidak mementingkan diri sendiri.
Sementara
untuk pengelolaan keuangan, sepenuhnya berada di tangan badan penyelenggara
yang dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 60 ayat 1 dan 2). Itulah beberapa
perbedaan antara UU PT dan UU BHP. Dengan perbedaan yang signifikan itu dan
mengandung nilai-nilai kesetaraan dalam mengakses pendidikan tinggi, kita
berharap UU ini tidak kandas lagi di meja MK.
Sukemi
Staf Khusus Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
REPUBLIKA, 19 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi