RINTISAN sekolah
bertaraf internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal menuju SBI (sekolah
bertaraf internasional) ibarat bunga rontok sebelum berkembang. Bukan hanya
layu, melainkan sudah rontok sekaligus sebelum berkembang dengan keluarnya
Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No 5/PUU-X/2012 Perilah Pengujian UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap UUD 1945 yang
mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, bahwa Pasal 50 ayat (3) UU
Sisdiknas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Pembubaran
RSBI/SBI itu sama sekali tidak akan mengurangi kualitas pendidikan nasional
karena sekolah-sekolah yang dilabeli RSBI/SBI itu sudah bermutu sejak semula.
Justru karena sudah bermutu itu, mereka dilabeli RSBI/SBI. Kekhawatiran akan
memengaruhi kualitas itu bila yang dilabeli RSBI/SBI itu ialah sekolah-sekolah
tidak bermutu, setelah dilabeli kemudian bermutu. Namun, ini tidak.
Implikasi
putusan MK tersebut ialah RSBI harus bubar karena tidak memiliki landasan hukum
lagi. Mempertahankan nama RSBI/SBI jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali
sebab hal itu berarti pembangkangan terhadap putusan MK.
Munculnya
dissenting opinion dalam sidang MK disebabkan hakim konstitusi Achmad Sodiki
mungkin lebih mendasarkan pada logika linier saja daripada mendasarkan
realitas. Bila hakim konstitusi Achmad Sodiki memiliki referensi lapangan yang
cukup, pastilah suaranya akan tunggal.
RSBI/SBI yang Menyesatkan
Keberadaan
RSBI/SBI sejak awal telah menimbulkan masalah karena dalam praktiknya
menyesatkan. Praktik RSBI/SBI yang menyesatkan itu tecermin dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Pertama, dari
batasan pengertian RSBI/SBI, dalam permendiknas tersebut dikatakan bahwa yang
dimaksudkan dengan sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI
adalah sekolah yang memenuhi standar nasional penm didikan dan diperkaya dengan
mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) atau negara maju lainnya. Tujuannya meningkatkan
daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak,
perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya.
Itu sungguh
batasan yang konyol mengingat negara-negara OECD itu banyak dan masing-masing
memiliki sistem pendidikannya sendiri, lalu kita akan mengikuti negara mana?
Tujuan pendidikan sekadar untuk meningkatkan daya saing juga merupakan bentuk
reduksionisme terhadap makna pendidikan itu sendiri sebagai proses pemerdekaan
manusia dan proses budaya.
Apalagi ketika
hanya untuk memperoleh medali emas, jelas ini amat instrumentalis.
Kedua, kurikulum
RSBI/SBI disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang
diperkaya dengan standar negara anggota OECD atau negara maju lainnya. SBI juga
menerapkan satuan kredit semester (SKS) untuk SMP, SMA, dan SMK (Pasal 4) serta
mempergunakan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju
lainnya. Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lain sebagai pengantar
untuk mata pelajaran, kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia, pendidikan
agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah, dan muatan lokal (Pasal
5).
Aturan tentang
kurikulum dan standar proses yang demikian jelas amat menyesatkan karena secara
sadar kita menghamba pada sistem pendidikan bangsa lain yang belum tentu cocok.
Terbukti krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara anggota OECD (Eropa dan
Amerika Serikat) sampai sekarang belum reda juga.
Ketiga, Pasal 7
Permendiknas No 78/2009 tersebut juga mengamanatkan bahwa SBI diberikan hak
untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik bila tidak ada pendidik WNI
yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk mengampu mata
pelajaran/bidang studi tertentu (ayat 1). Pendidik warga negara asing tersebut
paling banyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik (ayat 2). Itu
sungguh-sungguh pasal yang kurang ajar karena ayat (1) tersebut sama dengan menghina
dan meremehkan bangsa kita sendiri.
Masak dari 4.000
guru besar dan 23.000 doktor di negeri ini tidak ada yang dapat mengampu materi
di tingkat SD-SMTA sehingga harus impor guru?
Ayat (2)
tersebut sama saja mengundang penjajah asing untuk datang ke Indonesia dengan
peran sebagai guru di sekolah-sekolah RSBI/SBI.
Bila pasal
tersebut terlaksana, berarti keberadaan RSBI/SBI menggusur 30% guru-guru dalam
negeri di sekolah-sekolah tersebut dan digantikan guru asing. Sulit dipahami
oleh akal sehat bahwa banyak lulusan LPTK (lembaga pendidikan tenaga
kependidikan) yang belum mendapatkan pekerjaan, tapi yang sudah menjadi guru
(di RSBI/SBI) justru di-PHK demi memberi tempat bagi tenaga kerja asing.
Keempat, Pasal 9
(ayat 3) memberikan kebebasan kepada SBI memungut biaya pendidikan untuk
menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RKS
(rencana kerja sekolah) dan RKAS (rencana kerja dan anggaran sekolah). Oleh karena
RSBI/SBI itu meliputi tingkat SD-SMTA, per mendiknas itu jelas-jelas
bertentangan dengan UUD 1945 mengingat pendidikan dasar menurut UUD 1945 itu
gratis.
Kelima, masalah
pengelolaan SBI yang harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar
pengelolaan sekolah di negara anggota OECD dan negara maju lainnya; serta
menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; jelas
menyesatkan. Keharusan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000
versi terakhir itu sama saja memperlakukan sekolah seperti perusahaan
manufaktur.
Berdasarkan
kajian terhadap Permendiknas No 78/2009 itulah penulis memiliki keyakinan bahwa
implementasi dari konsep sekolah bertaraf internasional seperti dimaksud dalam
Sisdiknas 20/2003 Pasal 53 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, 29,
31, 32, dan 36. Kami patut mengapresiasi putusan MK tersebut yang mencerminkan
keluasan berpikir dan kewicaksanaan bertindak para hakim konstitusi.
Agar putusan MK
tentang RSBI tersebut dipatuhi Kemendikbud, kontrol dari publik harus terus
dilakukan. Jangan pengalaman sebelumnya terjadi, yaitu UU BHP (Badan Hukum
Pendidikan) dibatalkan oleh MK, tapi kemudian muncul UU PT (Pendidikan Tinggi).
Dengan kata lain, harus ditolak pula ketika RSBI/SBI dibubar kan, tapi kemudian
muncul SKM (sekolah kategori mandiri) atau sejenisnya yang hanya merupakan
ganti baju.
Semua regulasi
yang mengatur tentang RSBI/SBI, termasuk Permendiknas No 78/2009 dan
turunannya, harus dicabut. Alihkan alokasi dana untuk ke RSBI/SBI ke
sekolah-sekolah swasta pinggiran atau yang ada di daerah-daerah tertinggal demi
pemerataan mutu pendidikan.
Para penentu
kebijakan pendidikan perlu menyimak kembali amanat para founding father kita
yang disampaikan melalui `Subpanitia Pendidikan dan Pengajaran' BPUPKI, yang
diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan para anggotanya terdiri dari Prof Dr
Husein Djajadiningrat, Prof Dr Asikin, Prof Ir Rooseno, Ki Bagus Hadji
Hadikusumo, dan Kiai Hadji Masykur, yang kelak menjadi landasan rumusan Pasal 31
UUD 1945 asli.
Mereka
mengamanatkan bahwa “Dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung
dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi
agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah `keselamatan' dan `kebahagiaan'
masyarakat“. Menciptakan sistem pendidikan yang mengekor ke negara-negara OECD
dengan meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa, sama saja meninggalkan amanat
para pendiri bangsa.
Darmaningtyas ;
Perguruan Tamansiswa Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 Januari 2013
good article....
BalasHapusharusnnya dibaca dan dipahami dengan baik oleh para pendidik kita..