Tampilkan postingan dengan label RSBI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RSBI. Tampilkan semua postingan

Mematikan Konflik Pendidikan


   Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini layak disambut gembira, karena sama dengan mematikan embrio konflik pendidikan dan diskriminasi pendidikan.

 Ke depan, jangan pernah ada lagi kelas berlabel RSBI di sekolah-sekolah dasar dan menengah, dengan biaya lebih tinggi yang identik dengan memisahkan si kaya dengan si miskin. Karena hal itu sama dengan embrio konflik dalam arti luas bagi anak-anak bangsa yang akan mewarisi masa depan.

 Jika embrio konflik tersebut tidak dibunuh, cepat atau lambat hubungan antarsiswa rentan diwarnai keresahan dan ketegangan. Dalam hal ini, ada dua jenis keresahan dan ketegangan yang bisa terjadi, yang sama-sama menimbulkan ketidaknyamanan bagi masing-masing siswa.

 Pertama, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami siswa di kelas biasa. Mereka juga bisa kurang percaya diri atau rendah diri dalam menghadapi masa depan karena belajar di kelas yang tidak istimewa. Pada titik ini, mereka bisa menyesali nasib dan keadaan orangtuanya yang tidak mampu.

 Kedua, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami siswa di kelas istimewa. Dalam hal ini, mereka bisa merasa terbebani tuntutan dan harapan orangtua yang menginginkannya berprestasi lebih tinggi dari siswa kelas biasa. Pada titik ini, mereka bisa dirundung stres atau depresi psikis kronis yang terlambat diketahui oleh orangtua maupun guru.

Embrio Konflik
 RSBI memang harus disebut sebagai embrio konflik pendidikan yang bisa meledak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Jika embrio konflik pendidikan tersebut meledak di lingkungan sekolah, pasti akan melibatkan siswa di kedua kelas yang berbeda.

 Misalnya, karena masing-masing dirundung ketegangan maka siswa kelas istimewa dan siswa kelas biasa mudah bertengkar. Bisa saja pertengkaran dipicu masalah sepele, seperti saling ejek. Jika mereka sudah bertengkar, kenyamanan belajar pasti akan sirna, meski perdamaian bisa dilakukan. Dalam hal ini, perdamaian setelah pertengkaran yang dipicu diskriminasi pendidikan tidak bisa tulus.

 Jika embrio konflik pendidikan meledak di lingkungan rumah, pasti akan melibatkan siswa dengan orangtua masing-masing. Misalnya, siswa kelas biasa bersikap tidak hormat kepada orangtua yang tidak mampu membiayai mereka untuk masuk RSBI. Atau, siswa membenci orangtua yang memaksanya masuk RSBI padahal siswa lebih nyaman belajar di kelas reguler.

 Dalam rumus psikososial, konflik antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan orangtua akibat diskriminasi pendidikan bisa berlangsung samar maupun terang-terangan. Konflik yang berlangsung samar sulit diketahui sehingga akibatnya bisa lebih runyam dibanding konflik terang-terangan.

 Misalnya, jika siswa selalu merahasiakan perasaan ketidaknyamanan dalam belajar, akibatnya bisa membuatnya mengalami kesulitan-kesulitan meraih prestasi. Dalam hal ini, makin banyaknya siswa yang tidak lulus ujian nasional dibanding tahun-tahun sebelumnya bisa jadi akibat konflik samar yang dialami siswa di sekolah maupun di rumah.

 Ke depan, konflik yang dialami siswa akibat diskriminasi pendidikan bisa saja lebih runyam lagi. Misalnya, karena merasa tidak nyaman belajar di sekolah maupun di rumah, kasus-kasus tawuran antar siswa makin sering terjadi.

 Dibukanya RSBI di lingkungan sekolah dasar dan menengah yang identik dengan diskriminasi pendidikan layak dianggap merupakan bukti adanya salah perhitungan yang berdampak negatif bagi proses belajar siswa di sekolah maupun di rumah.

 Disebut salah perhitungan, karena diskriminasi pendidikan di sekolah dasar dan menengah identik dengan beda kasih dalam pola pengasuhan. Pola pengasuhan (termasuk pendidikan) beda kasih sejak dulu dipercaya akan berakibat buruk bagi anak-anak. Dalam hal ini, siswa sekolah dasar dan menengah belum dewasa atau masih berjiwa kanak-kanak, yang seharusnya diasuh dan dididik tanpa beda kasih.

 Karena salah perhitungan dan mengandung risiko merunyamkan pendidikan, kelas istimewa harus segera ditutup, kecuali jika semua kelas biasa bisa diubah menjadi kelas RSBI. Artinya, bagi sekolah yang telanjur membuka kelas RSBI harus segera mengubah semua kelas biasa menjadi RSBI sehingga tidak ada lagi diskriminasi pendidikan.

 Kini, pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang pendidikan, harus melarang sekolah membuka kelas RSBI untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, kecuali jika semua kelas biasa diubah menjadi kelas RSBI. Dengan kata lain, diskriminasi pendidikan di tiap sekolah harus dihapus, agar siswa kembali nyaman belajar di sekolah maupun di rumah.

 Jika RSBI tidak dilarang, sangat mungkin semua sekolah akan berlomba-lomba membuka kelas RSBI dengan berbagai alasan, misalnya sebagai eksperimen meningkatkan kualitas proses belajar mengajar sesuai tuntutan era global.

 Padahal, di baliknya ada aroma persaingan yang tidak sehat dan berpotensi mengorbankan kenyamanan dan keharmonisan yang bisa berkembang menjadi konflik sosial atau kekerasan horizontal yang meluas.

Asmadji As Muchtar ;  
Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo
SUARA KARYA, 06 April 2013

Selengkapnya.. »»  

Awas, Jangan Salahkan Guru


 TIDAK bisa dimungkiri, guru mempunyai peran khusus di sekolah. Guru berperan mengajar sambil mendidik atau olehnya pendidikan dilakukan melalui pengajaran. Pengakuan itu diperkuat saat pelaksanaan usaha pengembangan atau perubahan kurikulum; sudah seyogianya pengembangan kurikulum senantiasa memperhitungkan keberadaan dan peran guru. Pengalaman masa lalu yang masih dengan mudah diingat menjelaskan hal itu. Sewaktu kurikulum 2004 yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diresmikan, sangat kentara bahwa guru mendambakan ataupun diharapkan berperan aktif dalam mengembangkannya untuk menjawab kebutuhan peserta didik.

 Lantas sebagai jawaban untuk memberdayakan guru, muncullah kurikulum 2006 yang dinamai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum itu sangat istimewa, yakni memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk mengembangkannya sesuai dengan kekhasan dan kebutuhan sekolah masing-masing. Kurikulum 2006 sangat menantang guru yang, bagaimanapun, harus dan bersedia belajar untuk mengembangkannya. Maka tak jarang terdengar cemoohan (semoga tidak dari pemerintah dalam hal ini Kemendikbud) `dulu minta berperan, sekarang sesudah diberi kesempatan ternyata tidak becus'.

 Dugaan kuat muncul, kurikulum 2013 merupakan jawaban atas tuduhan ketidakbecusan guru dalam mengelaborasi kurikulum bagi sekolah masing-masing. Guru dinilai gagal memanfaatkan KTSP. Guru diperdaya.

Perubahan Bukan Demi Perubahan

 Atas diskurus perihal kuri kulum 2013, beberapa guru besar dengan semangat menyatakan pendapat mereka bahwa perubahan kurikulum diperlukan. Ya, itu semua bisa dimengerti dan memang sebaiknya demikian. Setuju bahwa pendidikan mesti mengedepankan hasrat untuk berubah bila mau berkembang maju. Namun, dalam kasus kurikulum 2013, tidak atau belum tampak ada tanda-tanda kurikulum yang akan diberlakukan itu akan membawa kemajuan atau menjawab kebutuhan peserta didik.

 Yang lebih menonjol ialah kesan kuat bahwa ketergesaan dan pemaksaan lebih dikedepankan Kemendikbud dan jajaran mereka. Contohnya, bukankah hingga saat ini tidak didapatkan sebuah telaah akademik-evaluatif atas kurikulum yang lama? Oleh karena itu, tidak mengherankan bila di antara para pemerhati pendidikan yang kritis atas kurikulum 2013, muncul pendapat yang terjadi ialah perubahan demi perubahan. Pokoknya berubah!

 Itu jauh dari kultur akademik yang semestinya mengedepankan hasrat dan kesediaan untuk cermat dalam menata perubahan termasuk memperhitungkan catatancatatan kritis. Sosialisasi kurikulum 2013 dan Rembuk Nasional 11 Februari 2013 (yang sama sekali tidak ada rem buknya, yang berarti tanpa dialog secara terbuka dan mendalam) yang digelar pun tidak menampakkan makna partisipatif-kritis; lagi-lagi disampaikan sebuah penegasan yang bernada pemaksaan diri bahwa pelaksanaan kuriku lum 2013 harus terjadi, jangan ditunda-tunda, demikian pesan Wapres Boediono.

 Kebijakan akademik dikemas dengan jargon `dilaksanakan secara bertahap' (untuk menepis suara sumbang?) yang sebenarnya untuk menandaskan lagi bahwa pokoknya kurikulum 2013 harus dilaksanakan.

 Respons yang pas atas pelbagai catatan kritis terhadap perubahan kurikulum semestinya diupayakan untuk memperjelas perubahan dilakukan bukan demi perubahan, melainkan perbaikan yang terarah jelas. Apalagi respons dari pejabat Kemendikbud yang menyiratkan ketidakbijakan; sekadar contoh, keputusan MK dalam judicial review untuk memberhentikan RSBI/SBI ditanggapi dengan ungkapan yang kurang lebih berbunyi `kerepotan muncul lagi'.

 Atas kritikan atau kekhawatiran terhadap kurikulum 2013 ditepis dengan `jangan khawatir, semuanya sudah disiapkan, tidak usah repot-repot, guru tinggal melaksanakan saja'. Apa yang sesungguhnya mau disampaikan?  Manakah respons yang pedagogis? Respons yang tidak pas akan menambah kesan kuat bahwa perubahan dilakukan demi perubahan.

Untuk Apa Memperdaya Guru?

 Sekolah adalah lembaga pendidikan. Artinya, yang paling berperan di dalamnya para pendidik atau guru. Mereka ialah pribadi-pribadi yang terpanggil untuk mengajar sambil mendidik. Oleh karena itu, maju-mundurnya mutu peserta didik ditentukan guru. Jadi, gurulah yang berperan di garis paling depan untuk melaksanakan apa saja di sekolah demi perkembangan peserta didik.

 Nah, berkaitan dengan kurikulum 2013 yang diharuskan berlaku mulai Juli 2013, di manakah peran guru? Bagaimana guru bisa berperan aktif untuk menjalankan kurikulum, yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya, dan apalagi dengan sebutan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, serta diminta untuk menjalankan begitu saja? Guru ialah pribadi yang semestinya diundang atau diajak berperan aktif alias berpikir dan bertanggung jawab untuk mewujudkan proses pencerdasan.

 Guru adalah pribadi yang berharkat, punya passion dan akal budi untuk berperan aktif agar berkembang. Guru bukan sekadar tukang atau pesuruh untuk mengajar dan mendidik, terlebih atas dasar apa yang tidak dimengerti dan atau diyakininya; demikian pula halnya terhadap master-teacher yang akan diciptakan demi keharusan pemberlakuan kurikulum 2013. Jadi, semestinya gurulah yang harus diberdayakan demi terselenggaranya proses mengajar-belajar (teaching-learning) yang bermutu; itulah yang paling utama harus diusahakan Kemendikbud.

 Tanpa bermaksud menggerogoti harapan penanggung jawab pendidikan nasional, yang akan terjadi ialah guru akan menjalankan kurikulum baru 2013 dengan begitu saja, sekadar mengikuti petunjuk atau arahan, ABS; tanpa passion, tidak ada pilihan lain. Secara tidak langsung, yang dihidupkan adalah roh sekadar untuk menuruti atau mengikuti petunjuk demi terlaksananya kurikulum 2013. Roh itulah yang bergentayangan selama berlangsungnya proses pembuatan kurikulum yang baru itu.

 Tampaknya, tidaklah salah sebut bahwa yang sedang dan akan berlangsung ialah proses pemerdayaan, bukan pemberdayaan guru. Maka, bila nanti tidak terjadi perbaikan mutu peserta didik, jangan salahkan guru!

Baskoro Poedjinoegroho  ; 
Pendidik, Koordinator Forum Studi Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 07 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Implementasi Pendidikan


Meskipun di tingkat fondasi dan filosofi terdapat persoalan, berbagai anomali pendidikan kita kebanyakan bersumber dari ranah politik pendidikan. Problemnya: implementasi.  Kasus dikabulkannya beberapa gugatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta ditolaknya kasasi pemerintah tentang ujian nasional oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa pada tingkat pelaksanaan, pendidikan kita memang bermasalah.

Mengakali Pendidikan
 Sejak Reformasi, ada beberapa ketetap- an yang secara normatif tepat dan seyo- gianya membuat pendidikan nasional semakin baik.

 Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

 Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.

 Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.

 Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewu- judkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada sis- wa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.

 Meski Presiden Susilo Bambang Yudho- yono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.

 Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.

 Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.

 Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.

 Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.

 Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.

 Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.

 Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).

 Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.  Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.

Hanya Perbaikan Ekonomi Guru
 Setelah lebih dari lima tahun berlangsung, hasil riset Bank Dunia menunjukkan, sertifikasi portofolio berdampak positif hanya pada perbaikan ekonomi guru dan peningkatan minat menjadi guru. Adapun kinerja guru dan prestasi belajar murid, tak ada efek perbaikan signifikan.
 Kebijakan profesionalisme guru yang seharusnya mengubah peran dan substansi lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam menyiapkan calon guru hingga sejauh ini belum dilakukan. Sementara itu, program pendidikan profesi guru baru mulai diujicobakan tahun ini.

 Tampaknya berbagai implementasi pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengakali pendidikan bukan upaya memformulasikan kebijakan agar efektif dan memajukan. Pengelolaan pendidikan seperti bermain istana pasir atau tari poco- poco (istilah Megawati Soekarnoputri), sibuk bangun-runtuh, maju-mundur, walhasil tetap di situ.

 Untuk mengurangi semangat arbitrer dalam implementasi barangkali diperlukan institusi brain trust, pemikir, sekaligus pengawas pendidikan tepercaya. Ini semakin penting bila mengingat alokasi terbesar APBN dan APBD ada pada bidang pendidikan.

Mohammad Abduhzen ; 
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 06 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Kesadaran Hukum Kemendikbud


Setelah dihujani kritik tajam tentang kurikulum 2013, Kemendikbud dikritik lagi sebagai kementerian dengan kesadaran hukum paling rendah (Utomo Dananjaya, Kompas, 1/2, dalam opininya, ”Pendidikan dan Konstitusi”).

Wajar bila kementerian atau lembaga yang banyak bersinggungan dengan urusan masyarakat luas mendapat sorotan, kritik, bahkan tuntutan hukum. Kemendikbud akhir-akhir ini sering menjadi obyek kritik, tetapi tak berarti ia paling buruk atau lemah kesadaran hukumnya.

Kemendikbud mengurus hal yang bersinggungan hampir dengan setiap orang atau keluarga. Kita tahu banyak kementerian yang jarang diberitakan dan dibicarakan, bahkan kita tak tahu apa yang mereka lakukan. Berapakah dari kita tahu yang dilakukan Kementerian Koperasi atau Kementerian Sosial?

Begitu juga personel menteri yang paling banyak melakukan perubahan (meski kadang tak berhasil), pasti dia paling sering dihujani komentar dan kritik. Mau aman dari kritik? Duduk manis. Namun, bukan itu yang dibutuhkan negara ini. Lebih baik berbuat sesuatu yang diyakini benar meski banyak dikritik.

Tidak Tepat

Ketika Utomo menyatakan Kemendikbud adalah kementerian yang paling lemah kesadaran hukumnya, kita tahu pernyataan itu tidak tepat. Kita bisa membandingkannya dengan kementerian lain yang tidak mendapat tuntutan hukum dari masyarakat atau kementerian lain yang tak kedengaran kabar apa yang ia lakukan. Mungkin di sana pelanggaran hukum lebih besar.

Mestinya, fakta-fakta dari lembaga setingkat harus dilihat lebih akurat. Kasus yang disampaikan dalam tulisan itu sebagai bukti kerendahan kesadaran hukum pun tak tepat. Pertama, pemerintah (mungkin juga DPR) tak melaksanakan amanat konstitusi, tak mengalokasikan 20 persen APBN untuk dana pendidikan. Jelas, ini domain pemerintah pusat, bukan Kemendikbud. Mengapa Kemendikbud yang disalahkan? Kedua, kasus pembubaran pelaksanaan ujian nasional (UN) yang sudah sampai ke tingkat kasasi. Kalau MA menolak adanya UN, apakah di sekolah tak akan dilakukan evaluasi untuk menentukan kelulusan? Lalu, bagaimana bentuk jaminan mutu pendidikan di sekolah?

Tentu Kemendikbud punya banyak alasan melakukan itu. Tak semua siswa atau masyarakat menolak UN. Fakta bahwa UN punya kelemahan, itu harus diakui dan akan terjadi jika diganti dengan sistem lain. Ketika Kemendikbud punya ide UN dibuat beda untuk Jawa dan luar Jawa, buru-buru satu daerah dari Indonesia timur protes bahwa mereka tidak mau dikelasduakan.

Dalam hal RSBI, mestinya harus dipilah antara UU dan pelaksanaan. Dalam pelaksanaan, banyak sekolah berkategori RSBI memungut biaya mahal, mestinya bukan UU-nya yang disalahkan. Benarkah pemerintah memberi dana dan mengistimewakan RSBI? Mungkin benar, tetapi rasanya wajar sekolah bagus mendapat dana lebih karena memang dana diberikan berdasarkan kriteria mutu.

Itu juga terjadi dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Universitas bermutu akan cenderung dapat bantuan lebih besar, baik melalui penelitian maupun sumbangan khusus untuk, misalnya, dapat akreditasi internasional. Kenapa tak semua perguruan tinggi negeri mendapatkannya? Tak benar RSBI membatasi rakyat miskin sekolah di sana. Semua siswa bisa masuk asal memenuhi syarat akademis. Kalau di RSBI Jakarta terjadi pungutan besar, di Surabaya itu tak terjadi. Ini jelas bukan soal UU, tetapi implementasi. Yang dituntut mestinya bukan UU-nya.

Untuk kasus lain bisa juga diberikan argumentasi akademik. Kita perlu melengkapi kerangka berpikir kita bahwa pengadilan tak selalu mengambil keputusan cukup obyektif. Pengadilan tidak sedang mengadili kasus pidana atau perdata yang lebih jelas hitam putihnya. Mengadili kebijakan dan aturan tentu sangat bergantung pada kondisi persidangan, misalnya saksi ahli yang diundang. Jika saksi yang didatangkan tak obyektif, putusan yang diambil bisa tak obyektif. Masyarakat juga perlu menimbang apakah suatu kebijakan perlu diajukan ke pengadilan dari sisi kemanfaatan dan kerugiannya bagi masyarakat luas.

Budi Santosa ; 
Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
KOMPAS, 23 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Gejala Inden Sekolah dan Best Process


MUSIM pendaftaran siswa baru untuk tahun ajaran 2013/2014 memang belum dibuka secara resmi. Tetapi, jika diamati, ada banyak sekolah tingkat dasar dan menengah yang telah membuka pendaftaran siswa baru. Itu terutama dilakukan sekolah swasta berkategori unggulan dengan menggunakan sistem inden.

Langkah itu tentu tidak dapat disalahkan karena sekolah sejatinya hanya merespons keinginan masyarakat. Bahkan, sistem inden juga dilakukan sekolah berkategori non unggulan dengan tujuan agar tetap memperoleh siswa baru untuk menjamin keberlangsungan sekolahnya.

Ada sekolah yang laris manis sehingga pendaftarnya melampaui daya tampung. Bahkan, dengan gagah, sekolah tersebut menolak banyak pendaftar. Fenomena itu biasanya dialami sekolah berkategori mapan dengan segudang prestasi.

Sementara di tempat lain yang berjarak tidak terlalu jauh, ada sekolah yang harus berjuang hingga tetes keringat penghabisan untuk mendapatkan siswa baru. Bahkan, hingga tahun ajaran baru dimulai, sekolah tersebut masih menerima pendaftaran. Kondisi itu biasanya dialami sekolah berkategori kecil dan miskin prestasi.

Perbedaan nasib sekolah itu terjadi karena faktor keunggulan. Itu berarti jika lembaga pendidikan berkategori unggul, di mana pun posisinya pasti akan dicari. Pada konteks itulah, lembaga pendidikan harus memberikan layanan yang bermutu. Jika tidak begitu, pasti sekolah akan ditinggalkan stakeholder-nya.

Sekolah unggul merupakan terjemahan dari beberapa istilah seperti effective school, efficience school, high performance school, dan excellent school. Dalam praktiknya, untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa sekolahnya bermutu biasanya digunakan branding sekolah unggul, sekolah juara, sekolah plus, sekolah favorit, dan sekolah model.

Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), label RSBI juga digunakan untuk menunjukkan keunggulan sekolah. Tentu saja, beberapa branding itu absah digunakan asalkan di sekolah tersebut diterapkan budaya mutu. Artinya, ada jaminan standar mutu layanan yang ditetapkan sekolah.

Persoalan layanan mutu itu penting karena ada kalanya orang memahami pendidikan unggul sekadar dilihat dari sarana fisik, besarnya SPP, dan muridnya yang memang pilihan. Akibatnya, muncul persepsi bahwa sekolah unggul itu harus serba-''wah''.

Tom J. Parkins (2003) dalam penelitiannya tentang pendidikan unggul di tanah air menyatakan bahwa ada tiga indikator yang harus dimiliki sekolah unggul, meliputi input, proses, dan output. Menurut Tom, sekolah unggul dapat dicapai melalui dua strategi, yaitu best input dan best process.

Strategi best input meniscayakan sekolah untuk memperoleh siswa yang bermutu. Dalam praktiknya, sekolah berkategori best input menerapkan tes masuk yang sangat ketat, terutama yang berkaitan dengan kemampuan akademik siswa. Harapannya, sekolah memperoleh siswa yang terbaik. Dengan demikian, output yang dihasilkan sekolah pasti lulusan dengan capaian akademik luar biasa.

Pertanyaannya, capaian akademik yang luar biasa itu dikarenakan proses pendidikan di sekolah atau faktor lain? Diduga, anak-anak hebat lulusan sekolah yang menekankan strategi best input itu karena anaknya memang hebat sejak semula. Fasilitas bimbingan belajar di luar sekolah juga sudah disiapkan begitu rupa oleh orang tua siswa. Itu berarti kontribusi guru dalam proses pendidikan pada sekolah yang menekankan best input sangat kecil.

Sekolah unggul kategori kedua menekankan strategi best process. Sekolah tersebut biasanya tidak begitu menekankan kepada kualitas akademik anak saat awal masuk. Dalam kondisi apa pun, siswa yang mendaftar akan diterima. Semua siswa yang mendaftar akan dipetakan berdasar keunggulannya. Jadi, tidak ada proses seleksi yang ''jelimet'' untuk sekolah tersebut karena setiap guru telah menyiapkan diri menjadi agen perubahan (agent of change) bagi siswa.

Setiap guru di sekolah berkategori best process juga menyadari betul ungkapan Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education (2006) yang mengatakan bahwa recovery begins with teachers. Karena ujung tombak pendidikan adalah guru, para guru di sekolah yang menekankan strategi best process berusaha secara maksimal mengubah karakter anak dari yang biasa menjadi luar biasa. Guru di sekolah tersebut meyakini bahwa setiap anak pasti telah memiliki keunggulan, minat, dan bakat yang unik sebagai anugerah dari Tuhan. Tugas guru ialah menfasilitasi anak agar memaksimalkan potensi bawaan tersebut.

Rasanya tipe sekolah berkategori best process itulah yang layak disebut pendidikan unggul. Tetapi, sayang, jumlah sekolah yang menekankan keunggulan pada best process ternyata sangat sedikit. Hasil penelitian Tom menunjukkan bahwa 99 persen sekolah unggul di tanah air membangun keunggulannya dengan strategi best input. Itu berarti hanya satu persen sekolah yang menekankan keunggulannya melalui strategi best process.

Tugas kita sebagai stakeholder pendidikan ialah mendorong sebanyak mungkin sekolah agar menempuh strategi best process dengan guru hebat. Itu penting ditekankan karena jantung pendidikan sejatinya ada pada proses pembelajaran dengan guru-guru yang andal.

Biyanto ; 
Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS, 20 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Pengkhianatan Kaum Pendidik?


Lulusan institusi pendidikan kita menjadi sibuk memajukan profesinya sendiri demi meraih kemakmuran ekonomi di dalam dunia kerja yang mereka geluti.

Apabila kita melihat deretan tragedi dalam dunia pendidikan : kian tak terjangkaunya biaya pendidikan seperti diamini Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya ketika membubarkan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI); banyaknya oknum administrator sekolah maupun praktisi pendidik di sekolah negeri yang mengangkangi anggaran dari negara yang seyogianya diperuntukkan bagi anak didik mereka; dan lain-lain, semua itu kian mengeja satu fakta yang memiriskan hati. Yaitu, betapa dunia pendidikan kita semakin jauh dari fitrahnya sebagai sarana untuk mendidik manusia. Terbukti, dunia pendidikan kita ternyata telah berkhianat atau menyimpang jauh dari tradisi mulia orientasi pendidikan yang sudah menjadi pakem universal dalam dunia pedagogi di mana pun.

Sebagaimana dikemukakan Thomas Hidya Djaya (dalam Bentara, 2003), khazanah teori pendidikan mengenal sekurangnya dua tradisi orientasi pendidikan yang sama-sama luhur niatnya, tapi bersimpang jalan dalam filosofinya.

Pertama, tradisi skolastisisme. Berdasarkan tradisi ini, pendidikan bertujuan untuk mengajarkan kepada peserta didik berbagai kebenaran yang bersifat ilmiah, filosofis, maupun religius. Singkat kata, tradisi ini memberikan penekanan pada hasrat mencari kebenaran.

Karena itu, tujuan bagi institusi pendidikan yang menganut tradisi ini adalah mencetak orang-orang yang dapat mengemukakan pendapat sendiri, menganalisis, serta mengkritik argumen-argumen orang lain yang tidak logis. Juga, karya-karya para lulusan institusi pendidikan ini diharapkan bersifat sistematis dan menghasilkan pengetahuan objektif. Jadi, kita boleh mengatakan bahwa tujuan hakiki pendidikan dalam tradisi ini adalah mendidik proses bernalar dan berpikir logis siswa. Sehingga, bekal keterampilan berpikir itu diharapkan dapat mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan-permasalahan hidup mereka sendiri di dunia nyata selepas sekolah.

Kedua, tradisi humanisme. Menurut tradisi ini, hasrat utama pendidikan adalah mencetak manusia-manusia yang dapat menunjukkan pengabdian kepada masyarakat luas. Salah satu caranya, lulusan institusi pendidikan pengikut tradisi ini dididik untuk memiliki kefasihan lisan dan tulisan yang ulung dalam membujuk masyarakat banyak untuk bertindak. Selain itu, lulusan institusi pendidikan humanistis dipersiapkan untuk menjalankan keutamaan kewargaan (civic virtue) dalam bentuk pemberian pelayanan publik. Maka dari itu, kurikulum pendidikan humanistik umumnya ingin membentuk pribadi yang cakap dengan mengembangkan kualitas moral serta kemanusiaan bagi pelayanan kepada orang banyak.

Apabila kita bandingkan kedua tradisi di atas, perbedaan yang teramati adalah tradisi pertama mencetak para pelaku grounded science, seperti pemikir, matematikawan, fisikawan, filsuf, dan lain sebagainya yang berkutat dengan pemikiran abstrak dan spekulatif. Sementara tradisi kedua menghasilkan para aktor applied science, seperti dokter, insinyur, sosiolog, pakar komunikasi, dan lain sebagainya yang berkutat dengan penerapan ilmu bagi kepentingan masyarakat luas. Keduanya sama penting, sehingga, yang satu sebenarnya tidak lebih utama daripada yang lain.

Menyimpang

Sayangnya, alih-alih melakoni atau sekurangnya memetik manfaat dari kedua tradisi di atas, dunia pendidikan kita justru memilih jalan 'sesat' dari keduanya. Sebab, dunia pendidikan kita sekarang ini cenderung begitu komersial dan melulu menjanjikan dan berpikiran untuk memproduksi lulusan-lulusan yang 'siap-pakai' di dunia kerja demi memajukan kepentingan sempit anak didik. Alhasil, sebagian besar lulusan dari dunia pendidikan kita hanya peduli terhadap kemajuan dirinya sendiri dan abai terhadap manfaat yang bisa ia berikan kepada orang lain, apalagi terhadap kebenaran yang semestinya mereka coba gapai. Pendeknya, mereka tercerabut dari dunia idealistis kebenaran sekaligus juga dari masyarakat mereka sendiri.

Menapaki jalan menyempal ini, lulusan institusi pendidikan kita, entah itu dokter, insinyur, sosiolog, dan lain sebagainya menjadi sibuk memajukan profesinya sendiri demi meraih kemakmuran ekonomi di dalam dunia kerja yang mereka geluti. Tak terlintas sedikit pun dalam pikiran mereka mengabdikan pemikiran untuk pengembangan keilmuan mereka secara lebih jauh, yaitu, melakukan pencarian kebenaran yang didambakan tradisi skolastisisme. Atau, mencurahkan karya dan bakti mereka untuk kemaslahatan orang banyak seperti diidam-idamkan tradisi humanisme.

Akhirnya, institusi pendidikan dan kaum pendidik kita hanya memberi negeri ini gelombang demi gelombang generasi yang hanya memikirkan kepentingan diri atau kelompoknya sendiri. Akibatnya, pendidikan kita tak memberikan bekas penting dalam bidang keilmuan atau kemasyarakatan. Sebaliknya, pendidikan dan kaum pendidik kita malah hanya melanggengkan suatu situasi di mana negeri ini dipenuhi dengan generasi-generasi yang kehilangan jati diri, melulu bersibuk dengan hajat ekonomi, tak kenal budi pekerti, dan acuh tak acuh terhadap kemudaratan yang dialami oleh rekan warga mereka (fellow citizens) di bumi Pertiwi ini. Jadi, rasanya sudah saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali orientasi dunia pendidikan kita!

Intan Indah Prathiwie ;  
Alumnus Psikologi UI, Peserta Program Pascasarjana UNJ
SUARA KARYA, 15 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Quo Vadis Kurikulum 2013?


Dunia pendidikan nasional kembali digegerkan dengan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melaksanakan Kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014. Bahkan di media sosial seperti Twitter dan Facebook mulai ramai diperdebatkan dan sebagian masyarakat menentang kebijakan tersebut.

Tidak hanya itu. Kalangan lebaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti koalisi pendidikan, praktisi dan terakhir para guru besar se-Indonesia juga menyampaikan aspirasi dengan cara mengirim surat kepada Presiden SBY untuk mempertimbangkan kembali rencana Kemendikbud yang terkesan pemaksaan pelaksanaan kurikulum baru. Argumentasi yang disampaikan karena perubahan Kurikulum 2013 tidak memiliki visi dan latar belakang yang kuat, apalagi kurikulum lama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 belum dievaluasi.

Persoalannya apakah perubahan kurikulum baru ada jaminan kualitas pendidikan di Indonesia semakin membaik, biaya pendidikan semakin murah (gratis), dan setiap warga negara bisa mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 UUD 1945. Prakteknya, pendidikan di Indonesia tak pernah lepas dari faktor komersialisasi dan menjadi ladang subur koruptor di balik jubah dan toga pendidikan.

Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Buktinya, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberantas pungutan liar yang ada di sekolah-sekolah, begitu pula kebocoran setiap kali pelaksaan ujian nasional mulai dari jenjang pendidikan SD hingga SMU.

Apalagi saat ini, Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR yang membidangi pendidikan masih debatebel dan belum satu suara menyetujui atau tidak perubahan kurikulum 2013. Antara Panja dan pemerintah belum menyepakati poin-poin krusial dari draf kurikulum yang diajukan pemerintah. Yang lebih parah, Kemendikbud sudah mengklaim melakukan uji publik tentang kurikulum baru. Melanggar Konstitusi Sepanjang Indonesia merdeka sejak 1945, dunia pendidikan nasional sudah mengalami sembilan kali pergantian kurikulum. Itu dimulai sejak 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Sayangnya, setiap kali terjadi pergantian kurikulum sama sekali tidak membawa perbaikan yang berarti dalam peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan setiap kali terjadi perubahan kurikulum tidak serta merta menjadikan sektor pendidikan mampu berkompetisi secara global, memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pergantian kurikulum justru menciptakan kasta-kasta dalam dunia pendidikan.

Pelaksanaan RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang belum lama ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, semakin memperjelas adanya kasta-kasta dan diskriminasi dalam dunia pendidikan yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Padahal, sektor pendidikan sesuai amanat UUD 1945 merupakan sektor strategis yang mendapat porsi 20 persen dari anggaran APBN. Yang lebih fantastis dari goncang-gancing kurikulum 2013 justru anggaran yang digunakan sangat besar yang semula hanya sekitar Rp 684,4 miliar, tapi secara mengejutkan membengkak menjadi Rp 1,457 triliun dengan rincian anggaran pencetakan buku sebesar Rp 1,03 triliun dan biaya pelatihan guru sebesar Rp 422 miliar. Kenaikan anggaran kurikulum 2013 tersebut seyogyanya perlu dicermati karena bukan saja berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran, tapi juga merugikan peserta didik jika pemerintah tetap memaksa menerapkan kebijakan tersebut.

Salah satu potensi penyalahgunaan anggaran adalah alokasi proyek buku panduan serta biaya pelatihan guru yang seringkali menggunakan modus mark up anggaran. Pasalnya, ada ruang yang sangat terbuka "permainan anggaran" sekalipun dengan dalih penyediaan paket buku disesuaikan dengan kebijakan baru dan menjadi kewajiban siswa untuk membeli sebagai salah satu sarana peningkatan kualitas pendidikan dan peserta didik di Indonesia.

Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana peserta didik mampu mengikuti proses belajar mengajar serta kualitas guru yang memadai. Persoalannya, banyak sekolah-sekolah negeri masih memiliki guru-guru yang sudah tidak memadai bahkan hanya sekedar kegiatan rutinitas tanpa mampu melakukan kreasi dan memotivasi kreatifitas peserta didik untuk mampu berkompetisi. Dengan demikian dapat dipahami perbaikan mutu pendidikan di Indonesia sangat penting sebagai salah satu sarana pencerdasan anak-anak bangsa, termasuk perbaikan dan kualitas guru. Sebab, yang diperlukan sekarang ini bukanlah perubahan kurikulum, tapi perubahan budaya mengajar dan kualitas para guru.

Pemerintah juga perlu memberikan apresiasi kepada para guru untuk memotivasi semangat mengajar. Sehingga, motto pahlawan tanpa tanda jasa itu memiliki spirit dan motivasi untuk memberikan keteladanan kepada peserta didik. Bukan hanya sekedar formalitas semata. Mudah-mudahan saja tidak!

Rusmin Effendy ; 
Tenaga Ahli DPR RI
SUARA KARYA, 13 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Impian Sekolah Berkualitas


Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang telah menyedot anggaran triliunan rupiah sejak digulirkan pada tahun ajaran 2006/ 2007 kini tinggal kenangan. Yang tersisa dari kontroversi RSBI adalah tidak surutnya impian untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Kini, sampai berakhir tahun ajaran 2012/2013, sebagaimana ditegaskan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, terjadi masa transisi pada sekolah berlabel RSBI. Langkah tersebut sebagai respon terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 sebagai payung hukum penyelenggaraan RSBI tidak sesuai konstitusi.

Masa transisi diperlukan sebab sekolah RSBI sudah memiliki anggaran dan rencana kerja selama satu tahun anggaran. Selain itu, sekolah RSBI juga sudah menampung sumbangan dari wali murid dan orangtua siswa. Maka, kata Mohammad Nuh, rencana kerja dan anggaran RSBI tahun ajaran ini harus dijalankan terlebih dahulu. Sesuai dengan putusan MK, Mendikbud melarang pungutan sumbangan baru di sekolah eks RSBI. Sekolah eks RSBI juga diwajibkan untuk melepaskan label dan atribut RSBI (www.jurnas.com, 22 Januari 2013).
Bagaimana pun, kita tentu perlu mengapresiasi setiap ikhtiar pemerintah (cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Kemdikbud) meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kita tidak mungkin menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian masyarakat menilai kebijakan RSBI bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan pendidikan. Penolakan terhadap sekolah dengan label RSBI hendaknya dimaknai pemerintah sebagai bentuk harapan masyarakat di negeri ini untuk menjadikan institusi sekolah sebagai wahana meniti masa depan yang lebih baik. Bagaimana pun juga, sekolah tetap diharapkan untuk menciptakan perubahan sosial.

Dengan jutaan anak bangsa yang memiliki potensi di negeri ini, pemerintah memang menghadapi tantangan besar agar seluruh anak bangsa bisa berkembang dan mengaktualisasikan potensi dirinya. Pemerintah masih berikhtiar sepenuh daya untuk melunasi janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah tetap dihayati pemerintah sebagai wahana memajukan anak-anak bangsa agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, persepsi antara pemerintah dan para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan nasional kerapkali berlainan.

Prinsip bahwa setiap warga negara harus memperoleh kesempatan belajar yang sama tentu saja telah dimengerti oleh pemerintah. Hanya saja, sebisa mungkin soal kualitas sekolah selayaknya tak ada diskriminasi. Apalagi dengan kebijakan ujian nasional (UN), amat tidak masuk akal apabila siswa-siswa yang berada di sekolah yang kualitasnya tidak sama harus menempuh UN yang sama. Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan, dijelaskan Doni Koesoema (2007), adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan melaksanakan kegiatan belajar.

Di sekolah, siswa mendapatkan metode pengajaran yang berkualitas dengan materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.

Untuk meningkatkan kualitas sekolah, daya dukung anggaran tidak mungkin diabaikan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa tingkat korupsi terbesar pada tahun 2012 lalu terjadi di dunia pendidikan perlu dijadikan evaluasi Kemdikbud. Naiknya anggaran pendidikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS) disinyalir sebagai pemicu kasus korupsi. Upaya peningkatan kualitas sekolah tentu memerlukan manajemen anggaran secara akuntabel dan transparan.

Dalam meningkatkan kualitas sekolah, Kemdikbud memang diharapkan dapat mengimplementasikan standar pendidikan nasional di setiap sekolah. Standar nasional itu meliputi standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Namun, yang perlu digarisbawahi, standarisasi tetap perlu memperhatikan potensi dan kekhasan masing-masing daerah di negeri ini. Proses dan isi penyelenggaraan pendidikan sekolah di daerah dengan potensi kelautan, misalnya, tidak perlu disamaratakan dengan daerah-daerah agraris. Begitu pula potensi dan kekhasan budaya adiluhung masing-masing daerah perlu diperhatikan. Muatan lokal pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodasi kekhasan masing-masing daerah di Indonesia, namun harus diakui pelaksanaannya belum berjalan secara baik.

Jadi, proses pendidikan sekolah perlu memasukkan potensi dan kekhasan masing-masing daerah, sehingga mampu membekali kemampuan siswa-siswanya untuk membangun dan memajukan daerahnya. Sejatinya kemajuan daerah yang digerakkan oleh putra dan putri daerahnya akan turut menopang kemajuan bangsa dan negara ini. 

Contoh menarik barangkali bisa melihat Australia. Menurut Ki Supriyoko (2010), kurikulum sekolah di Australia bisa berbeda apabila provinsi atau teritorinya berbeda. Billanook School dan Trinity School yang dikenal sebagai sekolah berkualitas di Australia memiliki perbedaan dalam ukuran kualitasnya.

Tentu, bicara peningkatan kualitas sekolah, kebijakan yang tepat dari Kemdikbud amat sangat dinantikan. Hal-hal yang beraroma diskiriminasi dan komersialisasi, sebagaimana pengalaman selama ini, cenderung sensitif dan disikapi negatif oleh masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah masih menjadi pekerjaan tak mudah. Namun, optimisme harus terus tercipta untuk melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hendra Sugiantoro ;  
Pendidik & Pegiat Transform Institute, Tinggal di Yogyakarta
SUARA KARYA, 12 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Idealisme ala Eks RSBI


Amar putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi pada pembubaran rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Namun kita perlu melihat kilas balik tujuan awal penyelenggaraan model sekolah itu. Pemerintah membuat sekolah itu antara lain untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi.

 Guna merealisasikan tujuan itu, Kemendikbud merancang serangkaian program. Semua itu berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sarana pendidikan, kualitas tenaga pendidik/kependidikan, termasuk pengembangan kurikulum. Konsekuensinya, alokasi dana untuk RSBI mengalami peningkatan signifikan ketimbang alokasi dana untuk sekolah bukan RSBI.

 Meski alokasi dana dari pemerintah sudah meningkat secara signifikan, program yang dibuat oleh RSBI tak mampu dipenuhi oleh pemerintah. Akhirnya, sekolah, melalui komite sekolah, membuka komunikasi guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan program itu.

 Alokasi pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, termasuk kabupaten/ kota, ditambah partisipasi dari masyarakat acap menimbulkan kecemburuan bagi sekolah non-RSBI, yang tidak memperoleh keistimewaan seperti halnya RSBI. Hingga akhirnya Kemendikbud menerbitkan Surat Edaran Nomor 017/MPK/ SE/2013 tanggal 30 Januari 2013 tentang kebijakan transisi RSBI.

 Surat edaran itu mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kelembagaan, proses belajar mengajar, pembiayaan, dan tanggung jawab pemerintah pusat/ provinsi/kabupaten atau kota. Kini, secara kelembagaan eks RSBI berstatus sekolah reguler, dan dibina oleh pemprov/pemkab/pemkot. Simbol/atribut kelembagaan berupa papan nama, kop surat, dan stempel sekolah bertuliskan RSBI tak boleh digunakan lagi dalam manajemen sekolah.

 Berkait dengan menjaga kesinambungan, proses kegiatan pembelajaran pada RSBI tetap berlangsung hingga akhir tahun ajaran 2012/ 2013, sesuai rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS), serta mengacu pada standar nasional pendidikan. Dari sisi pembiayaan Kemendikbud memerintah pemprov/pemkab/ pemkot menyediakan anggaran guna menjamin tetap terselenggaranya pendidikan bermutu pada sekolah eks RSBI.

Sumbangan Masyarakat

 Sebagai sekolah reguler maka eks RSBI wajib mematuhi ketentuan dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Artinya sekolah tak boleh lagi melakukan pungutan tapi diperbolehkan menerima partisipasi masyarakat dalam bentuk sumbangan.

Bagi sekolah eks RSBI, surat edaran ini ibarat angin surga. Program-program pembelajaran yang disusun untuk satu tahun pelajaran masih dapat dilanjutkan, sesuai dengan RKAS. Pasalnya bila  program yang sudah matang itu dibatalkan secara tiba-tiba pasti menimbulkan kerugian luar biasa, terutama terkait dengan peningkatan kompetensi peserta didik.

 Dari sisi pembiayaan surat edaran ini juga menimbulkan optimisme bagi sekolah. Pasalnya,  program yang dibuat sekolah, umumnya membutuhkan biaya relatif besar. Tidak  menutup kemungkinan sebagian perlu didukung oleh partisipasi masyarakat. Sekolah dan komite sekolah wajib menjalin komunikasi dengan masyarakat guna meningkatkan peran dan partisipasi mereka.

 Pemprov/ pemkab/ pemkot wajib melakukan upaya-upaya signifikan terkait dengan nasib eks RSBI. Bagaimanapun, investasi pada sekolah model itu harus tetap dijaga dari sisi kebermanfaatannya. Sarana pembelajaran berupa lab IPA, bahasa, dan TIK yang pada umumnya butuh biaya operasional besar, harus tetap mendapat perhatian serius.

Yang tak kalah penting adalah mempertahankan keberadaan tenaga pendidik/ kependidikan non-PNS yang direkrut guna menunjang program RSBI. Mahkamah Konstitusi bisa mengeliminasi RSBI tetapi idealisme dan semangat untuk mendirikan sekolah bermutu tidak boleh dibatalkan oleh siapapun karena masyarakat masih membutuhkan banyak sekolah bermutu, seperti  RSBI dulu.

Adi Prasetyo ; 
Ketua PGRI Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Februari 2013

Selengkapnya.. »»