Tampilkan postingan dengan label APBD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label APBD. Tampilkan semua postingan

Implementasi Pendidikan


Meskipun di tingkat fondasi dan filosofi terdapat persoalan, berbagai anomali pendidikan kita kebanyakan bersumber dari ranah politik pendidikan. Problemnya: implementasi.  Kasus dikabulkannya beberapa gugatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta ditolaknya kasasi pemerintah tentang ujian nasional oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa pada tingkat pelaksanaan, pendidikan kita memang bermasalah.

Mengakali Pendidikan
 Sejak Reformasi, ada beberapa ketetap- an yang secara normatif tepat dan seyo- gianya membuat pendidikan nasional semakin baik.

 Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

 Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.

 Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.

 Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewu- judkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada sis- wa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.

 Meski Presiden Susilo Bambang Yudho- yono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.

 Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.

 Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.

 Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.

 Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.

 Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.

 Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.

 Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).

 Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.  Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.

Hanya Perbaikan Ekonomi Guru
 Setelah lebih dari lima tahun berlangsung, hasil riset Bank Dunia menunjukkan, sertifikasi portofolio berdampak positif hanya pada perbaikan ekonomi guru dan peningkatan minat menjadi guru. Adapun kinerja guru dan prestasi belajar murid, tak ada efek perbaikan signifikan.
 Kebijakan profesionalisme guru yang seharusnya mengubah peran dan substansi lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam menyiapkan calon guru hingga sejauh ini belum dilakukan. Sementara itu, program pendidikan profesi guru baru mulai diujicobakan tahun ini.

 Tampaknya berbagai implementasi pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengakali pendidikan bukan upaya memformulasikan kebijakan agar efektif dan memajukan. Pengelolaan pendidikan seperti bermain istana pasir atau tari poco- poco (istilah Megawati Soekarnoputri), sibuk bangun-runtuh, maju-mundur, walhasil tetap di situ.

 Untuk mengurangi semangat arbitrer dalam implementasi barangkali diperlukan institusi brain trust, pemikir, sekaligus pengawas pendidikan tepercaya. Ini semakin penting bila mengingat alokasi terbesar APBN dan APBD ada pada bidang pendidikan.

Mohammad Abduhzen ; 
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 06 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Anggaran dan Pelapukan Pendidikan


Nelson Mandela pernah menuturkan bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah wajah dunia.

Singapura, meski tak memiliki sumber kekayaan alam yang memadai—lebih kecil daripada Pulau Samosir di tengah Danau Toba, bahkan tak memiliki sumber air minum, menjadi negara yang termasuk paling sejahtera dan maju di dunia. Sebab, negara ini telah berhasil mengelola pendidikannya dengan baik.

Demikian pula Korea Selatan. Di awal 1970-an, pendapatan per kapita Korsel di bawah 100 dollar AS, sementara Filipina 700 dollar AS. Saat ini pendapatan per kapita Korsel sudah 28.900 dollar AS, sedangkan Filipina hanya 3.800 dollar AS (World Fact, 2011). Keberhasilan Korea memajukan pendidikan telah mengantarnya dari tujuh kali lebih miskin menjadi tujuh kali lebih sejahtera daripada Filipina dalam waktu yang relatif singkat.

Atas kesadaran pentingnya memajukan pendidikan, sejak 2002 Indonesia telah menetapkan anggaran pendidikannya minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Komitmen ini sungguh luar biasa karena diambil di tengah kekisruhan tatanan politik global sebagai dampak tragedi 11 September 2001.

Unicef (2002) melaporkan, pascatragedi 11 September, AS, Rusia, dan China hanya mengalokasikan 2 persen anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 persen. Sementara anggaran untuk militer rata-rata mendekati 40 persen. Kecenderungan sama juga terjadi di negara-negara Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Eropa.

Proses Pelapukan
Luar biasa! Indonesia berani memilih jalan berbeda demi masa depan anak-anak bangsa. Hanya saja, sungguh patut disayangkan, meski anggaran pendidikan yang dialokasikan begitu besar, output-nya secara keseluruhan amat menyedihkan. Bahkan, jauh lebih baik ketika anggaran pendidikan belum sebesar saat ini. Kenyataan ini mengindikasikan adanya proses pelapukan pengelolaan pendidikan nasional. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir terlihat kecenderungan yang membahayakan.

Pertama, pendidikan nasional kelihatannya gagal berkontribusi bagi kemajuan keilmuan dan peradaban modern. Sejak 1985 hingga 2007, penetapan Hak atas Kekayaan Intelektual di seluruh perguruan tinggi Indonesia hanya 419. Padahal, jumlah pendidikan tinggi di Tanah Air, yang sangat berpotensi menghasilkan karya-karya ilmiah bagi pemajuan pembangunan bangsa dan peradaban modern umat manusia, mendekati 4.000.

Bandingkan Singapura yang hanya punya 5 perguruan tinggi negeri dan beberapa swasta, tetapi menyumbangkan sekitar 10.000 hak paten. Mereka tercatat penyumbang aplikasi hak paten di urutan ke-16 terbesar di dunia. Jepang di urutan pertama dengan sekitar 440.000 hak paten, disusul AS dengan sekitar 390.000 hak paten, lalu diikuti China, Korea, dan Jerman (World Patent Report, 2007). Indonesia belum tercatat dalam urutan tersebut karena belum memberi andil bagi perkembangan peradaban modern umat manusia.

Kedua, pengelolaan pendidikan nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak bangsa yang jujur dan berakhlak mulia. Studi oleh The Political and Economic Risk Consultancy menunjukkan, pada awal reformasi (1999) Indonesia negara paling korup di Asia dengan skor 9,91 mengungguli India (9,1), China (9,0), dan Vietnam (8,5). Yang paling bersih adalah Singapura dengan skor 1,55, disusul Hongkong (4,06) dan Jepang (4,25). Dalam perjalanan panjang selama satu dekade lebih, potret suram itu tak banyak berubah. Bahkan, 2011 kembali lagi mencapai 9,25 mengungguli India dan Filipina, meski pada 2007 terjadi perbaikan dengan skor 7,98.

Lebih memprihatinkan, Indonesia Corruption Watch melaporkan, sektor pendidikan kini menempati urutan teratas angka korupsinya, disusul sektor keuangan daerah dan sektor sosial kemasyarakatan. Pada 2010, korupsi paling tinggi di sektor infrastruktur (85 kasus), disusul sektor keuangan daerah (82) dan pendidikan (47). Kelihatannya, publikasi kasus Hambalang yang begitu luas memberi efek psikologis para koruptor untuk mulai menghindar di sektor infrastruktur, dan beralih ke sektor pendidikan yang mungkin dinilai zona yang lebih aman.

 Ketiga, pendidikan nasional ternyata tak terlihat dampaknya pada peningkatan kualitas SDM bangsa. Laporan UNDP 1998, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di urutan ke-103. Dua tahun kemudian, posisi ini terus bergerak menurun ke-109. Sebaliknya, Singapura menanjak dari urutan ke-34 menjadi ke-24. Bahkan, Vietnam menanjak dari urutan ke-121 jadi ke-108 sehingga melampaui posisi Indonesia. Keadaan ini terus memburuk. Pada 2011 dan 2012, Indonesia di posisi ke-124 dari 187 negara di dunia, amat jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

 Keempat, pendidikan nasional kelihatannya gagal berperan sebagai perekat kohesi sosial masyarakat. Tanah Air kita yang dikenal keindahan alamnya bagai zamrud khatulistiwa, dikenal pula dengan kekayaan nilai-nilai warisan budayanya yang tinggi, tetapi lebih satu dekade terakhir ini justru sering kali dihiasi kerusuhan sosial, anarkisme, dan berbagai tindakan kejam lainnya. Konflik sosial telah terjadi di berbagai wilayah, bahkan akhir- akhir ini dunia kampus seakan tidak pernah berhenti bergolak dengan demonstrasi yang sering kali berakhir brutal. Perkelahian antarsiswa pun sudah realitas rutin di kota-kota besar, yang sering kali membawa korban.

Jalan Keluar
Bertolak dari realitas peningkatan anggaran dan proses pelapukan pendidikan tersebut, kelihatannya kementerian ini harus sungguh-sungguh bekerja dengan data yang akurat dan disterilkan dari transaksi politik praktis. Penyaluran bantuan operasional pendidikan, beasiswa, dan bantuan lain yang distribusinya dikendalikan kepentingan DPR, kepentingan politik pencitraan, atau pihak-pihak lainnya dinilai sebagai salah satu sumber pelapukan pengelolaan pendidikan.

Sekadar berbagi pengalaman, pada 1994, ketika bekerja sebagai konsultan internasional UNESCO, saya membantu memajukan pendidikan masyarakat miskin di China. Caranya sederhana, setiap bantuan disalurkan secara terbuka berdasarkan data akurat.

Di desa-desa miskin, rumah- rumah penduduk diberi tiga kategori warna. Jika di keluarga itu anaknya ada yang tidak sekolah, ayah-ibunya tak punya keahlian atau keterampilan dasar hidup dan masih ada anggota keluarga yang buta huruf, rumahnya diberi warna merah. Kalau salah satu di antaranya sudah terpenuhi, diberi warna kuning, dan jika ketiganya sudah terpenuhi, diberi warna hijau. Dengan kriteria seperti itu, dapat dihindari bantuan salah sasaran sekaligus dapat dipastikan tiap tahun sekian keluarga yang terbebas dari kemiskinan dan berapa anak sudah menikmati pendidikan.

Semoga dengan pengelolaan anggaran yang begitu besar dapat secepatnya terlihat dampaknya bagi pemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan kualitas SDM dan kualitas moral, serta penguatan kohesi sosial. Saat ini semua itu terlihat semakin memburuk, jauh lebih rendah dibanding ketika anggaran pendidikan masih relatif lebih kecil.

Hafid Abbas ; 
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 26 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Spirit Internasional tanpa RSBI


MAHKAMAH Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan yang "memakamkan" status rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Bisa jadi keputusan ini meresahkan sekolah berstatus RSBI. Tetapi, jika dilihat alasan yang dikemukakan, putusan MK terasa sangat tepat. MK berpendapat bahwa status RSBI bertentangan dengan spirit UUD '45 yang mengamanahkan setiap warga negara berhak memperoleh layanan pendidikan.

MK pun membeberkan fakta bahwa mayoritas sekolah berstatus RSBI hanya menerima siswa dengan latar belakang ekonomi mampu. Akibatnya, terjadi kastanisasi pendidikan yang mewujud dalam kelas reguler dan RSBI.

MK juga menyoroti kecenderungan komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan banyaknya pungutan. Bahkan, di kalangan masyarakat RSBI, hal itu dipelesetkan dengan rintisan sekolah "bertarif" internasional. Hanya tarifnya yang internasional, sementara mutunya lokal. Ini jelas sindiran terhadap mahalnya biaya pendidikan di sekolah berstatus RSBI.

Persoalan jati diri anak bangsa juga menjadi kekhawatiran karena kurikulum RSBI diadopsi dari pendidikan luar negeri. Apalagi, dalam pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris ditekankan sebagai pengantar. Sementara itu, alokasi materi yang berkaitan dengan nilai-nilai keindonesiaan dirasa sangat kurang (Jawa Pos, 9 Januari 2013).

Putusan MK sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai keberadaan sekolah berstatus RSBI. Sebab, pasca putusan MK, sekolah tidak boleh lagi menggunakan status RSBI.

Yang menarik ditunggu adalah sikap Kemendikbud. Sejauh ini Kemendikbud masih berniat untuk melanjutkan program yang digulirkan sejak 2005 itu. Bahkan, penganggaran untuk mendukung program RSBI telah dialokasikan. Sebab, dalam perspektif Kemendikbud, program RSBI dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di tingkat internasional. Program ini juga merupakan ikhtiar untuk menjalankan amanah konstitusi (UU Sisdiknas 20/2003, pasal 50 ayat 3).

Sejak Januari 2012 Kemendikbud sejatinya mengevaluasi 1.305 sekolah jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK yang berstatus RSBI. Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa program RSBI dianggap gagal. Indikatornya, belum ada satu pun sekolah berstatus RSBI yang statusnya naik menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Padahal, untuk menjadi SBI, jenjang SD hanya membutuhkan tiga tahun, SMP empat tahun, dan SMA/SMK lima tahun.

Kegagalan itu menunjukkan bahwa program RSBI tidak dirancang dengan serius dan berkelanjutan. Padahal, program RSBI telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah dari APBN dan APBD.

Beberapa sekolah berstatus RSBI sejatinya telah lama menanyakan keberlanjutan program ini kepada pemerintah. Pertanyaan yang diajukan terutama berkaitan dengan perubahan status RSBI menjadi SBI. Karena tidak ada kepastian dari pemerintah, sebagian sekolah pun khawatir. Apalagi subsidi pemerintah mulai dikurangi.

Di tengah ketidakpastian itu, sekolah melakukan fundraising guna menutupi biaya operasional. Ironinya, ikhtiar sekolah ini dianggap tidak sejalan dengan program pemerintah mengenai pendidikan gratis. Sebab, pungutan tersebut dapat mereduksi kampanye pendidikan gratis yang selama ini digelorakan pemerintah. Faktanya, kampanye pendidikan gratis cenderung menyesatkan karena tidak pernah ada dalam kenyataan.

Beda Tak Selalu Diskriminasi

Karena MK telah mengumumkan putusan, Kemendikbud tidak memiliki pilihan lain. Program yang selama ini dirancang untuk mempertahankan RSBI harus dialihkan untuk kegiatan lain. Tetapi, Kemendikbud tidak boleh kehilangan semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apa pun namanya, semangat untuk menginternasionalisasikan mutu pendidikan tetap penting.

Pada konteks itulah, sekolah dapat menginisiasi program RSBI dengan menciptakan kelas-kelas unggulan. Rasanya tidak adil jika mengatasnamakan kesamaan hak warga negara dalam memperoleh pendidikan kemudian menafikan anak-anak yang bertalenta hebat. Mereka yang bertalenta luar biasa jelas berhak memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Pada mereka selayaknya kita berharap munculnya generasi emas yang akan menentukan perjalanan bangsa di masa mendatang.

Salah satu prinsip pendidikan holistis (holistic education) menekankan pentingnya perlakuan yang berbeda sesuai dengan keunikan anak. Proses pendidikan harus menghargai peserta didik sebagai pribadi yang unik (honoring students as individuals, individual uniqueness). Setiap orang yang lahir di dunia ini pasti dianugerahi potensi oleh Tuhan sebagai bekal hidup. Karena itu, seharusnya tidak ada lagi pendidik yang menvonis anak dengan status "anak nakal" atau "anak bodoh". Semua anak harus dipandang sebagai mutiara dengan potensi bawaan yang berbeda-beda. Tugas pendidik adalah memfasilitasi anak-anak agar menyadari potensi itu dan mengembangkannya sehingga menjadi kekuatan yang luar biasa.

Dengan memahami prinsip dalam pendidikan holistis, jika ada perlakuan berbeda pada anak, tidak dapat digeneralisasi bahwa telah terjadi diskriminasi. Anak yang bertalenta hebat di bidang akademis harus difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga anak yang memiliki bakat di bidang nonakademis.

Untuk memberikan layanan terbaik, jelas dibutuhkan dana yang besar. Dalam konteks inilah, negara jika mau konsisten seharusnya menyediakan semua kebutuhan pendidikan anak. Tetapi, kita tahu persis, kemampuan negara sangat terbatas jika harus membiayai pendidikan yang bermutu untuk semua anak bangsa.

Karena itulah, pemerintah membutuhkan stakeholder pendidikan dari kelompok swasta sehingga tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terlaksana dengan baik. Sinergi pemerintah dan swasta ini penting untuk mewujudkan kelas-kelas unggulan yang mewadahi anak dengan berbagai bakat. Kelas-kelas unggulan inilah yang diharapkan dapat menggantikan program RSBI.

Untuk merealisasikan keinginan tersebut, yang dibutuhkan hanya political will dari pemerintah. Pemerintah harus memberikan kelonggaran kepada sekolah untuk memobilisasi sumber daya masyarakat. Ikhtiar ini jelas tidak termasuk kategori komersialisasi pendidikan sebagaimana diduga MK. Justru secara otomatis terjadi subsidi antara anak orang kaya dan miskin.

Biyanto ;  
Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS,  10 Januari 2013


Selengkapnya.. »»  

Nasib Buruk Madrasah


  Otonomi daerah terasa menyesakkan bagi madrasah. Surat edaran Mendagri Gamawan Fauzi yang melarang pemerintah daerah (pemda) untuk mengurus dan atau memberi bantuan kepada madrasah melalui APBD menjadi salah satu buktinya. Pelarangan itu dilakukan oleh Mendagri dengan alasan bahwa madrasah adalah urusan agama. Karena persoalan agama tidak menjadi bagian dari kewenangan yang didelegasikan ke pemerintah daerah maka APBD dipandang tidak boleh di- berikan kepada madrasah.

Parlemen pun bereaksi keras. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaeni menyatakan, madrasah di dunia pendidikan nasional masih dianaktirikan.

 Dampak negatif dari kebijakan yang didasarkan pada dan atas nama otonomi daerah di atas sangat jelas. Pemda yang belakangan dalam jumlah kecil memberikan perhatian khusus kepada pendidikan agama, seperti madrasah dan pesantren, akhirnya ketakutan me nyalurkan APBD untuk membantu madrasah.  

Tengok saja kasus program bantuan operasional madrasah diniyah (Bosda Madin) Pemprov Jawa Timur (Jatim).

Menyusul lahirnya surat edaran mendagri di atas, Pemprov Jatim pun harus "tiarap" atas program itu. Padahal, sejak 2009 kebijakan tersebut menjadi salah satu program unggulan Pemprov Jatim. Per tahun, pemprov mengucurkan bantuan untuk madin Rp 260 miliar. Program Bosda Madin tersebut menyediakan beasiswa bagi para pengajar dan siswa, asistensi akademik, hingga bantuan honorarium. Total, ada 1.327.907 siswa yang mendapatkan bantuan.

Rinciannya, 1.117.144 siswa madin level dasar (ula), 210.763 madin level menengah (wustho). Jumlah guru madin yang menerima bantuan mencapai 37.113 orang. Bantuan tersebut untuk meningkatkan pendidikan madin Dalam skema bantuan untuk madin itu pula, tidak kurang dari 4.390 guru madin telah dikuliahkan S-1 untuk memenuhi syarat sertifi kasi guru. Pada 2013, ditargetkan 10 ribu orang sarjana strata satu (S-1) dari madin akan lahir. Setiap tahun sekitar 1.500 orang ustaz lulusan madin disekolahkan. Hingga saat ini, jumlah tersebut sudah mencapai 4.350 orang.

Kebijakan Bosda Madin di atas lalu menjadi salah satu teladan unggulan (best practice) dari kebijakan pendidikan Jatim. Buktinya, pemerintah pusat pun memberikan pengakuan dan penghargaan atasnya.

Saat hari jadi Kementerian Agama (Kemenag) RI, 3 Januari 2011, sebagai misal, Gubernur Jatim Soekarwo menerima Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan dari Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali. Pemerintah Jatim dinilai telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan Islam dan pemeliharaan ke- rukunan umat beragama.

Kini, program tersebut harus tergolek oleh surat edaran Mendagri di atas.
 Ikhtiar inovatif pemerintah Pemprov Jatim tersebut akhirnya harus kandas oleh surat edaran Mendagri. Akhirnya, ikhtiar pemda untuk meningkatkan pendidikan dan pembangunan masyarakat lokalnya harus terberangus oleh argumen otonomi daerah yang dipertontonkan oleh pemerintah pusat secara telanjang bulat.

Dilihat dari perspektif politik pendidikan dan pertimbangan akademik, dasar kebijakan seperti di atas merupakan sebuah nalar sesat yang tak perlu dilestarikan. Mengapa begitu? Karena pemerintah sendiri yang membuat regulasi dan pemerintah sendiri pula yang melanggarnya. Kasus keberadaan status madrasah menjadi buktinya.

Madrasah itu urusan pendidikan, bukan urusan agama. Keberadaan madrasah dilegalisasi UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas sebagai varian bersama sekolah. Lalu, pada UU Sisdiknas tersebut dan regulasi derivatifnya, selalu kata "sekolah" disebut secara ber dampingan dengan "madrasah".

Jadi, memang benar urusan agama tidak termasuk paket otonomi daerah.
 Tetapi, agama yang dimaksud dalam paket otonomi daerah tersebut adalah persoalan ajaran dan keyakinan serta praktik implementasi atas ajaran dan keyakinannya. Lebih dari itu, ketimpangan anggaran sangat mencolok antara sekolah dan madrasah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran di Kemendikbud yang membawahi sekolah dan Kemenag yang membawahi madrasah.

Anggaran yang diberikan kepada Kemenag di 2013 untuk urusan pendidikan "hanya" sebesar 40 triliun, sementara Kemendikbud mencapai hampir Rp 74 triliun. Padahal, jumlah sekolah lebih kecil daripada madrasah.

Semangat awal otonomi daerah sangat menjanjikan bagi perkembangan dan pembangunan masing-masing daerah di Indonesia. Dan, itu sangat potensial untuk mengurangi kesenjangan serta ketimpangan antardaerah. Namun, terbitnya surat edaran Mendagri yang melarang pemda untuk memberikan bantuan kepada madrasah atas nama otonomi daerah, justru akan menimbulkan masalah ketimpangan baru. Pasalnya, sejarah kelak akan mencatat timpangnya pertumbuhan sumber daya manusia di negeri ini disebabkan utamanya oleh kebijakan diskriminatif nan ironis yang menimpa dunia pendidikan nasional. Dan, otonomi daerah menjadi pemantik nasib buruk madrasah pada khususnya.

Akh Muzakki ; 
Ketua PW LP Maarif NU Jawa Timur,
Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
REPUBLIKA,  04 Januari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kaji Ulang Otonomi Daerah


BEBERAPA elemen penting dari otonomi daerah (otoda) saat ini sedang dipersoalkan oleh banyak kalangan. Paling baru, Munas PB NU di Cirebon yang baru usai merekomendasikan agar pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) ditiadakan. Bupati dan wali kota cukup dipilih oleh DPRD seperti sebelum otoda, sedangkan pemilihan gubernur masih dimungkinkan memakai sistem sekarang. Pertimbangannya adalah mahalnya pengeluaran pemerintah (dari APBN dan APBD) untuk membiayai pilkada, ongkos kandidat makin menjulang (akibat praktik politik uang) sehingga meruapkan korupsi (setelah calon terpilih), dan kerap menimbulkan konflik sosial berlatar SARA.

Tetapi, di luar itu, dari sisi ekonomi, juga terdapat fenomena lain yang tidak kalah gawat sehingga kaji ulang terhadap konsep desentralisasi ekonomi sangat dibutuhkan. Aneka paradoks ekonomi menyeruak sehingga wajah otoda menjadi compang-camping.

Paradoks Otonomi Daerah

Dari tinjauan ekonomi, sekurangnya terdapat empat paradoks otoda yang laik dipertanyakan secara saksama. Pertama, desentralisasi dimaksudkan untuk menggeser sentralisasi pembangunan ke luar Jakarta (atau secara umum luar Jawa) sehingga beban ekonomi dan penduduk bisa disebar ke daerah-daerah lain. Namun, alih-alih hal itu terjadi, otoda justru makin memerkuat peran perekonomian Jawa (dan Sumatera) dalam konfigurasi perekonomian. Sekarang, sekitar 82 persen PDRB (produk domestik regional bruto) Indonesia dikuasai oleh dua pulau tersebut, yang makin meningkat seiring dengan implementasi otoda.

Kedua, semangat desentralisasi juga dipahami untuk mengurangi peran campur tangan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam perekonomian. Fungsi regulasi tetap harus dijalankan, namun hanya terhadap aspek-aspek yang memang betul-betul diperlukan agar tidak disinsentif bagi perekonomian. Tetapi, sejak otoda diselenggarakan, kurang lebih terdapat 13 ribu perda bermasalah dan sekitar 4.000 yang telah dibatalkan oleh Kemenkeu dan Kemendagri.

Ketiga, otoda secara implisit mengharapkan adanya partisipasi kegiatan ekonomi yang lebih luas kepada masyarakat sehingga peran pemda (lewat APBD) makin mengecil. Sayangnya, ketergantungan beberapa daerah terhadap APBD juga tidak mengecil meskipun desentralisasi ekonomi telah berjalan hampir 12 tahun. Di beberapa provinsi dan kabupaten, nyaris ekonomi hanya bergerak dengan topangan belanja pemda. Pengusaha hidup dari proyek-proyek pemda, seperti pembangunan infrastruktur.

Keempat, otoda secara eksplisit memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk mendesain kebijakan dan menjalankan program sehingga model penyeragaman kebijakan (yang disodorkan pemerintah pusat) sudah tidak terjadi lagi. Tetapi, harapan itu nyatanya tidak seluruhnya benar. Sebab, beberapa program vital, seperti kemiskinan, masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Pemda cuma diberi ruang sedikit untuk memodifikasi konsep yang didesain oleh pusat.

Perubahan Gradual

Implikasi dari paradoks-paradoks di atas menimbulkan masalah yang cukup pelik untuk dipecahkan. Misalnya, pada 2011 masih ada sekitar 23 provinsi yang mendapat bagian (share) PMA kurang dari 1 persen, bahkan 16 provisi bisa dikatakan nyaris tidak mendapatkan bagian karena porsinya kurang dari 0,2 persen (BKPM, 2012). Pola yang sama persis juga terjadi dalam proporsi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Ini tentu menyedihkan sekaligus menerbitkan pertanyaan fundamental: akankah otoda masih memiliki peluang untuk mendistribusikan pembangunan antardaerah?

Berikutnya, disparitas pembangunan/investasi antardaerah tersebut mengakibatkan perputaran uang/modal juga terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Tengok saja, DKI Jakarta pada 2011 menguasai 50,9 persen dana pihak ketiga dan menggenggam 49,1 persen kredit perbankan, selanjutnya diikuti Jatim dan Jabar masing-masing dalam kisaran 7-9 persen (BI, 2012). Bisa dibayangkan, bila modal bank tidak tersedia, pembangunan kian muskil dilakukan.

Harapan pembangunan daerah akhirnya bertumpu kepada anggaran pemda (APBD). Masalahnya, struktur APBD dalam banyak hal jauh lebih parah daripada APBN. Studi yang dilakukan oleh The Asia Foundation (2011) menunjukkan, pada 2007 sekitar 65 persen dana transfer dalan bentuk DAU (dana alokasi umum) habis untuk belanja PNS, yang kemudian pada 2010 melonjak menjadi 95 persen.

Data dari Kemenkeu (2011) juga menunjukkan, selama periode 2007-2011 rata-rata pertumbuhan belanja pegawai sebesar 29 persen, belanja barang 20 persen, belanja modal 9 persen, dan belanja lainnya 19 persen. Padahal, belanja modal itulah yang diharapkan bisa menstimulus pembangunan daerah, misalnya untuk alokasi infrastruktur. Studi Indef (2011) juga menemukan, jika belanja daerah (APBD) dinaikkan 10 persen, maka hanya menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Jika DAU dan DAK (dana alokasi khusus) ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi, yaitu 0,03 persen dan 0,02 persen.

Deskripsi itu rasanya cukup untuk melakukan kaji ulang terhadap konsep otoda, tidak saja secara politik, tetapi juga ekonomi. Pemerintah tidak harus melakukan perombakan secara drastis, tetapi opsi perubahan secara gradual lebih mungkin untuk diambil. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan, antara lain, (i) adanya pembatasan alokasi belanja pegawai sehingga ruang APBD untuk pembangunan masih memadai, diikuti dengan langkah reformasi birokrasi; (ii) formula dana transfer sebaiknya ditambahkan dengan variabel beban daerah terbelakang, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan infrastruktur; tidak cukup beban itu ditutup dengan alokasi DAK; (iii) moratorium investasi asing (PMA) di Pulau Jawa, tentu disertai dengan percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa; dan (iv) mengembalikan kewenangan izin investasi SDA ke pemerintah pusat karena konsesi eksplorasi SDA selama ini diberikan secara ugal-ugalan sehingga merusak lingkungan. Tentu saja, ada hal-hal lain di luar ide ini yang masih perlu didalami lebih lanjut.

Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 26 September 2012


Selengkapnya.. »»  

Menanti Generasi Perubahan


Menanti Generasi Perubahan

Setelah 12 tahun rezim Orde Baru tumbang tahun 1998, Indonesia justru terjerembab ke dalam sumur tanpa dasar. Karut-marut kondisi bangsa ini justru seperti makin kusut. Panggung politik-hukum mementaskan drama: politik transaksional, koalisi pragmatis yang justru lebih banyak bertengkarnya, politik perkoncoan dan dinasti politik yang menyebar masif, hingga perselingkuhan penguasa-pengusaha yang ramai-ramai menggarong uang rakyat.

Apa yang salah? Fondasi bangsa ini, mulai dari dasar negara hingga beragam aturan, sebetulnya telah tersedia walaupun harus diakui masih banyak yang perlu disempurnakan. Akan tetapi, persoalannya bukan saja tak ingin menjalankan aturan itu secara konsisten, melainkan justru ada upaya mencari celah agar tidak terjerat aturan itu. Inilah babak yang paling menyedihkan, yaitu kerusakan mental bangsa, yang telah diinisiasi oleh elite pemegang kewenangan/kekuasaan di lembaga eksekutif, legislatif, juga yudikatif.

Bagi kita, hari-hari membosankan itu selalu berulang setiap hari. Ada saja pejabat atau politisi yang menjadi tersangka korupsi, ada bupati yang diseret ke meja hijau karena korupsi, dan ada pegawai pajak yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena penggelapan pajak. Jadi, jangan bertanya sudah berapa banyak anggota DPR, baik di pusat maupun daerah, yang terbelit kasus korupsi.

Beberapa kasus yang menghebohkan antara lain kasus suap cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang menyeret 24 anggota DPR dari berbagai partai politik, kasus suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang dan kasus proyek kompleks olahraga terpadu di Hambalang (Bogor) yang menyebut banyak politisi, serta proyek-proyek lain di banyak daerah.

Kasus-kasus korupsi itu umumnya mengeruk dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sejatinya dikucurkan untuk kesejahteraan rakyat. Modus yang paling kentara adalah mengutak-atik proyek dengan imbalan fee di Badan Anggaran DPR. Calo- calo anggaran mengutip uang rakyat bahkan saat masih dalam pembahasan.

Kalangan eksekutif juga sama saja, baik di pusat maupun daerah. Bayangkan saja, sampai awal pekan lalu, jumlah kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi, entah terdakwa atau saksi, sebanyak 213 orang. Sungguh angka yang fantastis! Dari jumlah total 495 kepala daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah bermasalah dengan kasus- kasus korupsi. Para kepala daerah bermasalah itu sudah otomatis sibuk mencari jalan untuk mengatasi masalah. Lalu, kapan waktunya bekerja mengurus rakyat?

Keropos dan Akut

Para kepala daerah itu sesungguhnya jauh dari harapan tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi, berintegritas, populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat tanpa memikirkan pamrih. Hal itu tentu saja menjadi contoh negatif yang diikuti bawahannya. Tidak mengherankan, birokrasi kita sangat rentan dan keropos. Birokrasi yang buruk ternyata tidak lepas dari cengkeraman politik. Problem birokrasi salah satunya adalah akibat relasi birokrasi dan politik. Birokrasi buruk karena selama ini selalu berada dalam subordinasi politik. Akibatnya, sebagai sebuah entitas, birokrasi sangat sulit untuk profesional, netral, dan melayani masyarakat.

Negeri ini pun hampir tenggelam ketika lembaga yudikatif juga setali tiga uang. Hampir tidak ada lembaga penegak hukum yang bersih. Kepolisian, kejaksaan, hakim, juga para pengacara seakan berlomba-lomba masuk ke dalam lingkaran setan korupsi. Korupsi menjadi kanker yang akut di negeri ini. Padahal, tidak ada dalam sejarah peradaban bangsa, negara mampu menahan kanker korupsi. Hukum yang terbolak-balik sepertinya menjadi pemandangan lazim. Penegakan hukum (law enforcement), kesamaan di muka hukum (equality before the law), dan keadilan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Hukum tebang pilih rasanya mulai terbiasa terdengar di telinga.

Kalau hukum saja karut-marut, jangan tanya lagi soal moralitas atau etika bangsa. Moralitas terutama para politisi tidak mudah ditemukan saat ini. Moralitas telah hilang sejak di jalanan hingga gedung-gedung mewah mentereng di parlemen atau lembaga pemerintah. Di jalanan, banyak pejabat justru dengan arogan menggunakan jalur terlarang untuk dilewati. Antre di imigrasi bandara saja juga tidak mau. Mentang-mentang berkuasa, pamer arogansi. Tidak ada rasa bersalah sama sekali.

Sementara itu, rakyat harus benar-benar bekerja lebih keras untuk mendapatkan makan. Ekonomi dengan pertumbuhan terus meningkat itu juga bisa dianggap sebagai transisi dari kolonialisasi menuju neokolonialisasi. Gambaran proses transisi itu antara lain semakin terperosoknya perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal setidaknya dalam satu dekade belakangan ini.

Buntutnya, tidak hanya dominasi modal asing dalam perekonomian kita yang makin meningkat, tetapi yang penting lagi adalah kekuatan kapital itu cenderung menjadi faktor dominan dalam proses perebutan kekuasaan dan perumusan kebijakan di negeri ini. Maka, pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat untuk melembagakan demokrasi ekonomi harus secara jelas ditujukan untuk mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme dan cengkeraman neokolonialisme.

Salah Desain Demokrasi

Ada apa dengan republik ini? Yang terjadi saat ini, bangsa kita tengah mengalami disorientasi nilai. Kita rasanya mengalami disorientasi mengenai hal-hal apa yang benar, apa yang baik, atau apa yang indah. Kita juga mengalami disorientasi hidup berbangsa dan bernegara dengan dasar kultural dalam berperikemanusiaan, berkeadilan sosial, dan memuliakan hidup. Kita juga mengalami disorientasi atas hasil kreatif manusia dengan nilai intrinsiknya, yang berubah menjadi pembendaan dengan nilai tukar uang.

Semakin runyam karena kita telah melakukan kesalahan serius dengan institusi demokrasi. Desain demokrasi yang kita kembangkan lebih memberikan peluang bagi kepemimpinan atas dasar kekuatan- kekuatan alokatif ketimbang kekuatan-kekuatan otoritatif. Demokrasi lebih memberikan ruang bagi kekuatan daya beli daripada kekuatan-kekuatan prestasi. Demokrasi saat ini tidak punya kesanggupan untuk mengoreksi tradisi patrimonial yang diwariskan rezim sebelumnya, bahkan bisa jauh lebih buruk.

Faktanya, demokrasi kita dikuasai orang-orang tua (gerontokrasi), yang mampu menghipnosis anak-anak muda. Kaum muda tak mampu menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan. Di tengah kondisi tersebut, yang paling krusial adalah kemunculan pemimpin muda. Tidak sekadar usia muda, tetapi yang sangat penting membawa visi perubahan. Generasi perubahanlah yang dapat ”memudakan” kembali politik Indonesia.

Untuk menghadirkan generasi perubahan, diperlukan creative destruction atas kejamakan politik hari ini dengan melakukan transformasi institusional dan kultural. Tanpa ada generasi perubahan, mustahil muncul pemimpin muda yang mampu menyegarkan atmosfer politik dan hukum republik ini.

Tim Kompas
KOMPAS, 24 Juli 2012



Selengkapnya.. »»