MAHKAMAH Konstitusi (MK) menjatuhkan
putusan yang "memakamkan" status rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI). Bisa jadi keputusan ini meresahkan sekolah berstatus
RSBI. Tetapi, jika dilihat alasan yang dikemukakan, putusan MK terasa sangat
tepat. MK berpendapat bahwa status RSBI bertentangan dengan spirit UUD '45 yang
mengamanahkan setiap warga negara berhak memperoleh layanan pendidikan.
MK pun membeberkan fakta bahwa mayoritas
sekolah berstatus RSBI hanya menerima siswa dengan latar belakang ekonomi
mampu. Akibatnya, terjadi kastanisasi pendidikan yang mewujud dalam kelas
reguler dan RSBI.
MK juga menyoroti kecenderungan komersialisasi
pendidikan yang ditandai dengan banyaknya pungutan. Bahkan, di kalangan
masyarakat RSBI, hal itu dipelesetkan dengan rintisan sekolah
"bertarif" internasional. Hanya tarifnya yang internasional,
sementara mutunya lokal. Ini jelas sindiran terhadap mahalnya biaya pendidikan
di sekolah berstatus RSBI.
Persoalan jati diri anak bangsa juga
menjadi kekhawatiran karena kurikulum RSBI diadopsi dari pendidikan luar
negeri. Apalagi, dalam pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris ditekankan
sebagai pengantar. Sementara itu, alokasi materi yang berkaitan dengan
nilai-nilai keindonesiaan dirasa sangat kurang (Jawa Pos, 9 Januari 2013).
Putusan MK sekaligus mengakhiri
perdebatan mengenai keberadaan sekolah berstatus RSBI. Sebab, pasca putusan MK,
sekolah tidak boleh lagi menggunakan status RSBI.
Yang menarik ditunggu adalah sikap
Kemendikbud. Sejauh ini Kemendikbud masih berniat untuk melanjutkan program
yang digulirkan sejak 2005 itu. Bahkan, penganggaran untuk mendukung program
RSBI telah dialokasikan. Sebab, dalam perspektif Kemendikbud, program RSBI
dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di tingkat internasional.
Program ini juga merupakan ikhtiar untuk menjalankan amanah konstitusi (UU
Sisdiknas 20/2003, pasal 50 ayat 3).
Sejak Januari 2012 Kemendikbud sejatinya
mengevaluasi 1.305 sekolah jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK yang berstatus RSBI.
Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa program RSBI dianggap gagal. Indikatornya,
belum ada satu pun sekolah berstatus RSBI yang statusnya naik menjadi sekolah
bertaraf internasional (SBI). Padahal, untuk menjadi SBI, jenjang SD hanya
membutuhkan tiga tahun, SMP empat tahun, dan SMA/SMK lima tahun.
Kegagalan itu menunjukkan bahwa program
RSBI tidak dirancang dengan serius dan berkelanjutan. Padahal, program RSBI telah
menghabiskan anggaran miliaran rupiah dari APBN dan APBD.
Beberapa sekolah berstatus RSBI
sejatinya telah lama menanyakan keberlanjutan program ini kepada pemerintah.
Pertanyaan yang diajukan terutama berkaitan dengan perubahan status RSBI
menjadi SBI. Karena tidak ada kepastian dari pemerintah, sebagian sekolah pun
khawatir. Apalagi subsidi pemerintah mulai dikurangi.
Di tengah ketidakpastian itu, sekolah
melakukan fundraising guna menutupi biaya operasional. Ironinya, ikhtiar
sekolah ini dianggap tidak sejalan dengan program pemerintah mengenai
pendidikan gratis. Sebab, pungutan tersebut dapat mereduksi kampanye pendidikan
gratis yang selama ini digelorakan pemerintah. Faktanya, kampanye pendidikan
gratis cenderung menyesatkan karena tidak pernah ada dalam kenyataan.
Beda
Tak Selalu Diskriminasi
Karena MK telah mengumumkan putusan,
Kemendikbud tidak memiliki pilihan lain. Program yang selama ini dirancang
untuk mempertahankan RSBI harus dialihkan untuk kegiatan lain. Tetapi,
Kemendikbud tidak boleh kehilangan semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Apa pun namanya, semangat untuk menginternasionalisasikan mutu pendidikan tetap
penting.
Pada konteks itulah, sekolah dapat
menginisiasi program RSBI dengan menciptakan kelas-kelas unggulan. Rasanya
tidak adil jika mengatasnamakan kesamaan hak warga negara dalam memperoleh
pendidikan kemudian menafikan anak-anak yang bertalenta hebat. Mereka yang
bertalenta luar biasa jelas berhak memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
Pada mereka selayaknya kita berharap munculnya generasi emas yang akan menentukan
perjalanan bangsa di masa mendatang.
Salah satu prinsip pendidikan holistis
(holistic education) menekankan pentingnya perlakuan yang berbeda sesuai dengan
keunikan anak. Proses pendidikan harus menghargai peserta didik sebagai pribadi
yang unik (honoring students as individuals, individual uniqueness). Setiap
orang yang lahir di dunia ini pasti dianugerahi potensi oleh Tuhan sebagai
bekal hidup. Karena itu, seharusnya tidak ada lagi pendidik yang menvonis anak
dengan status "anak nakal" atau "anak bodoh". Semua anak
harus dipandang sebagai mutiara dengan potensi bawaan yang berbeda-beda. Tugas
pendidik adalah memfasilitasi anak-anak agar menyadari potensi itu dan
mengembangkannya sehingga menjadi kekuatan yang luar biasa.
Dengan memahami prinsip dalam pendidikan
holistis, jika ada perlakuan berbeda pada anak, tidak dapat digeneralisasi
bahwa telah terjadi diskriminasi. Anak yang bertalenta hebat di bidang akademis
harus difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga anak yang memiliki
bakat di bidang nonakademis.
Untuk memberikan layanan terbaik, jelas
dibutuhkan dana yang besar. Dalam konteks inilah, negara jika mau konsisten
seharusnya menyediakan semua kebutuhan pendidikan anak. Tetapi, kita tahu
persis, kemampuan negara sangat terbatas jika harus membiayai pendidikan yang
bermutu untuk semua anak bangsa.
Karena itulah, pemerintah membutuhkan
stakeholder pendidikan dari kelompok swasta sehingga tugas mencerdaskan
kehidupan bangsa dapat terlaksana dengan baik. Sinergi pemerintah dan swasta ini
penting untuk mewujudkan kelas-kelas unggulan yang mewadahi anak dengan
berbagai bakat. Kelas-kelas unggulan inilah yang diharapkan dapat menggantikan
program RSBI.
Untuk merealisasikan keinginan tersebut,
yang dibutuhkan hanya political will dari pemerintah. Pemerintah harus
memberikan kelonggaran kepada sekolah untuk memobilisasi sumber daya
masyarakat. Ikhtiar ini jelas tidak termasuk kategori komersialisasi pendidikan
sebagaimana diduga MK. Justru secara otomatis terjadi subsidi antara anak orang
kaya dan miskin.
Biyanto
;
Dosen
IAIN Sunan Ampel,
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA
POS, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi