Di era keamanan rakyat (kamra) kita
pernah mengenal pentingnya hansip. Meski sekarang anakanak muda lebih bergengsi
berpakaian biru-putih dengan menjadi satpam, kadang di berbagai acara komedi
kita masih sering melihat guyonan tentang hansip yang berseragam hijau, berdiri
tak sesigap polisi, tanpa senjata, agak kedodoran, gigi tidak rata, tetapi di
kampung masih sangat dihormati.
Di kampung saya, hansip menjadi alat bagi
ketua RT untuk menjaga keamanan, mengatur lalu lintas dan parkir saat hajatan.
Pada masanya, pernah muncul wacana untuk mempersenjatai hansip. Artinya mereka
juga diberi bedil sehingga bisa tampil segagah tentara. Gagasan itu tentu saja
ditolak. Bukan apa-apa, pengalaman pahit masyarakat menyaksikan hansip menembak
sungguh mengerikan. Hansip yang kurang terlatih dalam memegang senjata bisa
salah tembak. Kita masih ingat joke-nya, “Tembak kaki kena kepala, mati deh.”
Menembak
Ketidakadilan
Kita tentu tak bisa mengatasi masalah
pendidikan dengan ilmu hansip, seberapa pun panasnya hati kita melihat
ketidakadilan. Kalau kita hanya ingin melumpuhkan penjahat, jangan tembak
kepalanya, melainkan tembaklah kakinya. Anda tentu setuju. Tapi kalau hati
panas dan tangan tak terlatih karena sudah uzur atau parkinson, orang tua sebijak
apa pun bisa seperti hansip yang tak terlatih, salah sasaran.
Maksud hati memberantas ketidakadilan, yang
terkena musibah justru kalangan miskin yang butuh pendidikan berkualitas
internasional. Mari kita telisik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
mengabulkan gugatan masyarakat terhadap Pasal 50 ayat 3 Undang-undang (UU) No
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Pasal ini telah menjadi dasar
hukum penyelenggaraan 1.300-an sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI).
Dengan putusan MK ini, berarti status RSBI
harus dihapus dan penyelenggaraan satuan pendidikan berkurikulum internasional
(maksudnya dalam sekolah negeri, tentunya) juga tak lagi diperbolehkan. Tentu
saja RSBI yang dimaksud adalah sekolah-sekolah menengah, bukan universitas.
Walaupun kalau ada orang yang jahil, bisa saja objek gugatan diperluas hingga
ke perguruan tinggi.
Padahal, hampir semua kampus universitas
negeri membuka program studi internasional dengan uang kuliah yang lebih mahal
dan tentu saja fasilitas yang berbeda dengan mahasiswa bersubsidi. Ini juga
suatu ketidakadilan bukan? Bahasa yang dipakai juga bahasa Inggris. Apakah ini
tidak melanggar Sumpah Pemuda? Tak dapat dimungkiri,munculnya sekolah-sekolah
internasional dengan fasilitas yang jauh lebih baik dari sekolahsekolah biasa
tersebut telah menimbulkan rasa ketidakadilan.
Apalagi bila ini sekolah negeri yang dibiayai
negara. Dari pengamatan di lapangan dan dari berbagai pemberitaan kita
mendengar yang disebut SBI atau RSBI adalah sekolah yang mendapatkan fasilitas
pembelajaran dengan alat bantu modern seperti LCD, ruangan ber-AC, notebook
untuk setiap siswa dan jaringan WiFi. Bukankah ini sudah menjadi tuntutan
zaman?
Lalu bahasa pengantarnya gabungan Indonesia
dan Inggris dengan kurikulum berorientasi internasional yang kalau dimengerti,
harusnya beban siswa menjadi lebih ringan, lebih mendalam dan menyenangkan.
Lalu karena diberi anggaran lebih besar dan lebih fleksibel menarik sumbangan,
kualitas guru harusnya bisa lebih baik. Tidak adilnya, tidak merata dan mahal,
membebani masyarakat.
Bagaimana sekolah yang berstatus non-RSBI?
Anda sudah tahulah, persis seperti sekolah yang Anda jalankan di masa lalu.
Beda sekolah pasti beda iklimnya. Ada sekolah yang sudahpunya laboratorium lengkap,
tapi notebook tidak dipakai. Bahasa pengantarnya hanya bahasa Indonesia dan
kurikulumnya, apa lagi kalau bukan hafalan dengan subjek yang banyak sekali,
antara 18–23.
Berat! Tapi karena puluhan tahun dijalankan
seperti itu, tentu saja orang tua, guru, dan murid sudah kebal.Paling orang tua
baru ribut kalau sekolahnya digusur atap gedungnya mau ambruk. Sekolah hanya
menjadi berbeda karena lokasinya. Makin jauh dari kantor gubernur atau wali
kota atau makin jauh dari pusat, makin banyak orang miskinnya, makin buruk
fasilitasnya.
Sekarang, belum lagi yang buruk tuntas
diperbaiki, yang bagus sudah dibuat lebih bagus lagi, menjadi rintisan
internasional. Apa ini tidak salah? Bukankah ini suatu ketidakadilan? Maka
bersuaralah para pengamat pendidikan.Di surat kabar saya membaca umpatan para
ahli pendidikan bahwa RSBI telah menciptakan sistem kasta sehingga bertentangan
dengan konstitusi. Makin dirasa tidak adil,makin disorot dan dihujat sampai
diperintahkan MK untuk dibubarkan. Selesaikah?
Negeri
Multisegmen
alam suatu sistem perekonomian, setiap kali
kita bicara keadilan, kita bicara tentang kelas sosial. Sudah jelas,sesuatu
yang lebih mahal, bila diserahkan melalui mekanisme pasar, hanya mampu dibeli
kalangan menengah atas. Seperti duduk di bangku pesawat terbang. Jelaslah siapa
yang naik dari terminal 1 Bandara Cengkareng (non-Garuda) dan siapa yang
berangkat dari terminal 2 (Garuda Indonesia).
Demikian pula,letak kursi menentukan kemampuan
membayar, semakin ke depan semakin mahal dan mendapat servis lebih baik.Tentu
tidak sesederhana itu, tetapi begitulah umumnya. Demikian juga dalam
persekolahan. Celakanya banyak orang yang belum paham bahwa kita hidup dalam
multisegment society (yang tak bisa disederhanakan jadi hanya kelas sosial A,
B, dan C belaka).
Sementara itu dalam banyak policy kita selalu
mengacu pada single segment society seperti Amerika, Jepang, atau Australia. Di
negara-negara industri itu,mereka hanya punya satu kelas, yaitu kelas menengah.
Sementara kita punya kelas mulai dari penghuni gubuk derita, rumah kontrakan,
apartemen sewa sederhana, penghuni rumah mertua, anak kos, penghuni kampung
kumuh, perumnas, rumah dinas, pemilik apartemen mewah, anak Menteng, sampai
global citizen yang seminggu sekali pulang ke Singapura.
Sekarang,
model persekolahan mana yang mau dipakai? Gubuk derita atau global citizen? Ada
kesamaan antara pejabat-pejabat Indonesia dengan pejabat-pejabat di
Negara-negara industri, yaitu samasama naik mobil yang disetir sopir
negara.Perbedaannya, apa yang dimakan pejabat juga bisa dibeli sopir dan ketika
pulang, sopir dari negara-negara itu bisa kembali pulang menyetir mobil pribadi
ke rumah yang sama besarnya dengan rumah pejabat yang disopirinya. Itulah
single segment society.
Beda benar dengan pembantu atau sopir di sini.
Kita tinggal dalam sebuah multi-segment society, berlapis-lapis dengan rasa
keadilan yang tidak sama. Menjadi pertanyaan, dalam setiap kasus ketidakadilan
seperti ini, mana yang harus kita pilih: hidup dalam dunia lama yang konvensional
(hapuskan yang lebih baik) atau sebaliknya hidup dalam dunia baru (hapuskan
yang buruk)?
Kelihatannya para pemikir yang emosional lebih
memilih tinggal dalam dunia lama yang konvensional, bukan mengambil keputusan
untuk mengupgrade diri. Lebih spesifik lagi, tutup saja yang internasional,
bukan sebaliknya, upgrade yang kelas ekonomi ke kelas eksekutif dengan
fasilitas internasional dan bebaskan biayanya. Kita seperti tengah memiliki
kesenangan baru, yaitu senang mengutuk pembaruan karena muak dengan ketidakadilan.
Dengan kata lain, kita tengah menerapkan ilmu
hansip dari pada belajar management strategic yang andal. Hasilnya, ibarat
“membidik kaki, tetapi yang tertembak justru kepala”. Saya sendiri lebih senang
membuat pemerintah sulit ketimbang membuat rakyat menderita. Pemerintah jangan
dibuat bekerja mudah seperti membiarkan sistem pendidikan gratis dalam mutu
yang biasa-biasa saja. Paksalah buat yang bermutu tetapi gratis untuk rakyat.
Buatlah pemerintah lebih sulit dengan
memperbaiki mutu, jangan justru menghapus yang bermutu kendati tahapannya masih
baru awal. Dan seperti pepatah mengatakan, “Every beginning is difficult. It
may look poor and ugly, but you’ll improve it!” Ketika RSBI dihapuskan, tugas
pemerintah jelas lebih gampang.
Rhenald
Kasali ;
Ketua
Program MM UI
SINDO, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi