Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat
keputusan yang mengejutkan. Beberapa waktu lalu MK mengabulkan gugatan
Muhammadiyah dan elemen masyarakat atas Undang- Undang (UU) Migas Nomor
22/2001. Konsekuensinya, BP Migas yang
sudah eksis dalam satu dasawarsa harus dibubarkan. Kemarin (8/1/2013), MK
menerima permohonan gugatan masyarakat atas Pasal 50 (3) UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20/2003. Pasal yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah
Daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional,” dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Keputusan MK tersebut berdampak sangat
luas.Secara yuridis Pasal 61 Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) yang mengatur pendirian sekolah dan perguruan tinggi
bertaraf internasional batal demi hukum. Hal yang sama berlaku pada Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No 29/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Yang lebih serius
lagi, ribuan RSBI dan SBI harus dibubarkan. Pengertiannya,bukan berarti
sekolahnya ditutup, tetapi hanya status atau peringkatnya sebagai RSBI dan SBI.
Elite
Bukan Elitis
RSBI dan SBI memang sekolah yang elite.Peserta
didik di RSBI dan SBI disyaratkan memiliki kecerdasan di atas rata-rata tes
inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai rata-rata
7,5,dan kemampuan bahasa Inggris. Persyaratan pendidik dan tenaga kependidikan
juga sangat tinggi. Minimal 10% guru SD, 20% SMP, dan 30% guru SMA
berpendidikan S-2/S-3 dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Selain sarana dan prasarana yang lengkap,
proses pembelajarannya berbasis TIK dengan sistem perpustakaan digital. RSBI
dan SBI terakreditasi oleh BAN-S/M dengan peringkat A: 96-100 serta memiliki
jaringan dan kerja sama dengan sekolah di negara OECD dan negaranegara maju
yang lainnya. Jer basuki mawa bea. Adagium Jawa tersebut juga berlaku di RSBI
dan SBI. Sesuai dengan Permendiknas 78/2009 RSBI dan SBI diperbolehkan memungut
“tambahan” biaya dari masyarakat.
Biaya sekolah di RSBI dan SBI membubung
tinggi. RSBI dan SBI menguras anggaran negara dan mengisap dana masyarakat yang
sangat besar.Akronim RSBI sering diplesetkan menjadi “Rintihan Sekolah Bertarif
Internasional”. Dalam perkembangannya, RSBI dan SBI berubah menjadi sekolah
kelas elite intelektual, sosial, dan ekonomi. Hanya kalangan tertentu yang
dapat menikmati layanan RSBI dan SBI.
Amar putusan MK yang menerima permohonan uji
material Pasal 50 (3) UUSPN 20/2003 didasarkan atas beberapa pertimbangan.
Penyelenggaraan RSBI dan SBI oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang hak warga negara untuk mendapatkan
pendidikan. RSBI dan SBI dinilai diskriminatif dan menimbulkan kasta sekolah.
Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga dianggap melunturkan
nasionalisme, bertentangan dengan UUD tentang bahasa Indonesia dan pelestarian
bahasa daerah.
RSBI dan SBI memang merupakan sekolah yang
elite, tetapi tidak berarti elitis. RSBI dan SBI adalah sekolah yang
terbuka.Sepanjang memenuhi persyaratan, setiap peserta didik berkesempatan
belajar di RSBI dan SBI. Pasal 16 (1) Permendiknas 78/2009 memang mensyaratkan
peserta didik pada RSBI dan SBI bersedia membayar pungutan untuk menutupi
kekurangan biaya pendidikan. Tapi, persyaratan tersebut tidak berlaku bagi
peserta didik yang tidak mampu.
Kesempatan belajar di RSBI dan SBI
memungkinkan peserta didik dari keluarga tidak mampu berhasil meraih prestasi
akademik dan berbagai kejuaraan. RSBI dan SBI wajib mengalokasikan bantuan atau
beasiswa untuk peserta didik miskin minimal 20% dari jumlah seluruh peserta
didik. Kesimpulan bahwa RSBI dan SBI diskriminatif terjadi lebih karena ekses
pelaksanaan yang menyimpang, bukan karena peraturannya.
Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya tidak
dipergunakan pada seluruh mata pelajaran. Karena itu tidak sepenuhnya benar
jika dikatakan RSBI dan SBI mengikis nasionalisme dan perkembangan bahasa
Indonesia dan bahasa daerah. Eksistensi RSBI dan SBI juga mampu mengurangi
kecenderungan keluarga mampu untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri.
Layanan
Pendidikan Bermutu
Dibubarkannya RSBI dan SBI menjadi sekolah
biasa tidak berarti meniadakan layanan pendidikan yang bermutu. Adalah hak
konstitusional bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang
bermutu.Pemerintah dan pemerintah daerah memegang amanah UUD untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memfasilitasi dan menjamin penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu.
Layanan pendidikan yang bermutu memang tidak
harus mahal, tetapi tidak berarti gratis. Ini berarti alokasi anggaran
pendidikan harus ditingkatkan.Alokasi 20% APBN untuk pendidikan hanyalah sekitar
4% dari PDB. Angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-
negara lain. Menjadi sekolah biasa tidak berarti mengubah peringkat akreditasi
RSBI dan SBI. Sepanjang belum habis masa berlakunya, peringkat akreditasi RSBI
dan SBI tetap sebagaimana semula (A).
Persyaratan akademik pendidik dan tenaga
kependidikan tetap dipertahankan. Demikian pula dengan persyaratan kepala
sekolah yang harus berpendidikan minimal S-2. RSBI dan SBI tetap dikembangkan
sebagai satuan pendidikan untuk peserta didik dengan kemampuan akademik yang
tinggi dan bakat istimewa bagi lahirnya generasi bangsa yang berkualitas.
Pemerintah juga harus berusaha meningkatkan satuan pendidikan yang lainnya
sehingga setara dengan mutu RSBI dan SBI.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak
memberikan layanan pendidikan yang bermutu, bangsa Indonesia akan semakin
tenggelam di tengah kemajuan pendidikan negaranegara lain. Sekolah bermutu yes!
Sekolah mahal no!
Abdul
Mu’ti ;
Ketua
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M),
Dosen
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
SINDO, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi