Tampilkan postingan dengan label Sisdiknas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sisdiknas. Tampilkan semua postingan

Kapan UN akan Berakhir?


 Hari ini ujian nasional (UN) dimulai lagi. Dalam dua minggu terakhir ada begitu banyak foto dan gambar, baik di media cetak maupun internet, yang menunjukkan adanya kecemasan luar biasa dari siswa-siswi kita yang akan mengikuti UN. Meskipun intinya berdoa, ditampakkan oleh raut kesedihan anak-anak yang seolah akan ada bencana. Pendidikan kita yang kurang menghargai dan memercayai pentingnya proses dan lebih berharap pada hasil akhir seolah mereduksi makna penting pendidikan yang dapat menjamin keadaban.

 Jika pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses, jangan terlalu banyak berharap akan ada sebuah akhir. Sebagaimana maksim Arab yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah proses pencarian seumur hidup (min al-mahdi ila al-lahdi), maka common believes dan energi para pendidik seharusnya lebih berorientasi dan mencintai prosesnya. Akan tetapi, karena ada ilmu ukur, pendidikan pun menjadi sumir karena tak jarang para pendidik lebih mengejar hasil (result oriented) tinimbang mencintai prosesnya.

 Tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan yang serbahasil itu memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional. Yaitu, ‘berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

 Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan di atas diselesaikan oleh ujung mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah napas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process) karena hampir semua pilihan kata yang digunakan ialah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus-menerus.

 Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik. Bahwa, untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak dengan guru, orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar. Membiasakannya secara terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat memperoleh teladan yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.

 Jika dihitung secara kalkulatif, seharusnya ujian nasional (UN) ditiadakan di tahun depan. Mengapa? Jika pemerintah jadi me-launching kurikulum baru bagi semua level dan jenjang pendidikan, konsekuensi logisnya ialah akan terjadi perubahan signifikan pada tiga aspek, yaitu proses, evaluasi, dan manajerial pengelolaan sekolah. Hal itu merupakan konsekuensi yang tidak mungkin dihindari ketika pilihan orientasi pendidikan kita akan lebih banyak menekankan kompetensi sikap (attitude) tinimbang pengetahuan (knowledge/cognitive).

 Pada aspek proses, penting bagi otoritas pendidikan kita untuk menggali sebanyak mungkin pedagogical tools yang akan memperkaya wawasan dan kreativitas guru dalam melakukan proses belajar mengajar. Di aspek manajerial, sekolah harus lebih siap dalam menghadapi perubahan pola rekrutmen siswa sekaligus rekrutmen guru agar lebih siap dalam menghadapi perubahan kurikulum.

 Sebagai contoh, peminatan siswa SMA yang akan dimulai sejak mereka di kelas 10 jelas harus disikapi dengan instrumen pola penerimaan siswa yang menghargai bakat dan minat siswa sejak dini.

 Pada aspek evaluasi, penggunaan pola paper-test seperti yang saat ini sering digunakan jelas harus ditambah dengan kemampuan guru dan manajemen sekolah dalam membuat jenis dan ragam penilaian melalui mekanisme portofolio. Mengapa portofolio penting? Kesadaran tentang pentingnya penilaian secara komprehensif terhadap perkembangan siswa dimulai oleh Howard Gardner (1983) yang menulis buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam buku itu kemampuan siswa diakui sangat beragam, dan karena itu harus dinilai secara berkesinambungan sesuai dengan tingkat pencapaian kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dialaminya. Adapun guru memiliki tanggung jawab untuk merevisi kurikulum yang dikembangkan dalam proses belajar mengajar, atau semacam curriculum revision check list.

 Dalam Portfolios Assessment Resources Kit, Forster Margaret & Masters Geoff (1996) memberikan pengertian portofolio sebagai kumpulan hasil kerja siswa yang sering disebut sebagai artefak. Artefak-artefak tersebut dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam periode tertentu, untuk kemudian diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio. Dengan kata lain, portofolio merupakan koleksi pribadi hasil pekerjaan seorang siswa (bersifat individual) yang menggambarkan sekaligus merefl eksikan taraf pencapaian, kegiatan belajar, kekuatan, dan pekerjaan terbaik siswa tersebut. Karena itu, sifat dari kumpulan koleksi artefak itu memiliki ciri yang dinamis dan berubah sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.

 Jika semua guru dan sekolah memiliki pandangan yang sama tentang portofolio, masa depan UN jelas harus segera di akhiri. UN sesungguhnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecuali bergoyang di tempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir.

Ahmad Baedowi  ; 
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 April 2013

Selengkapnya.. »»  

Bisnis Kecemasan Unas


  Senin, 8 April 2013, Prof Zainuddin Maliki selaku ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur mengirim pesan ke grup BBM Dewan Pendidikan Jawa Timur. Pesannya: Saya sedang nge-fit and proper test calon kepala sekolah SMA. Sudah tiga di antara enam guru senior yang bilang belajar di bimbel lebih baik daripada di sekolah. Gejala apa ini?

 Pesan dan pertanyaan tersebut menggelitik sekaligus merangsang kesadaran untuk kembali memaknai posisi pendidikan, termasuk menelaah ulang praktik dunia persekolahan. Alasannya sangat sederhana. Pertama, posisi sekolah dipersepsi kalah baik dibanding bimbel. Kedua, ini ironisnya, persepsi itu tidak muncul dari pemangku kepentingan eksternal sekolah, melainkan justru dari pemangku kepentingan internal sekolah. Yakni kepala sekolah. Ini menjadi ironi dan kritik keras terhadap pendidikan nasional.

 Sisi lain, gejala menguatnya persepsi bimbel (lebih baik daripada sekolah) harus mendapatkan perhatian lebih dalam konteks untuk menjamin jalannya pendidikan bagi pengembangan peradaban di negeri ini. Ingat, pendidikan memiliki tugas penting dalam memperkuat kecakapan hidup (life skills). Bahkan, penjelasan atas pasal 26 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003 telah mengingatkan, pendidikan kecakapan hidup memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.

 Sekolah memiliki tugas dasar untuk memperkuat kecakapan hidup peserta didik secara sistemik dan berkelanjutan. Bimbel sejatinya merupakan skema pendamping sekolah untuk memperkuat pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud. Pergeseran posisi bimbel mulai terjadi saat nilai pendidikan tereduksi menjadi sekadar mekanisme penguatan kemampuan kognitif semata. Padahal, ada dimensi kejiwaan dan keterampilan praktis personal dan sosial yang menjadi bagian dari kecakapan hidup. Semua harus bisa dikuasai dan diinternalisasi peserta didik, termasuk kemampuan afektif dan psikomotorik. Bukan hanya kognitif.

 Unas yang dipakai sebagai standar kelulusan, baik sepenuhnya maupun sebagian besarnya, membuat bimbel menemukan wadah penyemaian. Sangat menjamur. Sebab, siapa pun yang berkepentingan dengan pendidikan pasti dirundung kecemasan yang besar saat menghadapi unas sebagai penentu kelulusan.

 Kecemasan itu lebih-lebih terjadi saat otonomi daerah menguat. Kepala daerah memiliki kepentingan dengan unas karena kelulusan siswa menjadi indikator yang paling mudah diukur sebagai kinerja politik dan birokrasi pemerintahan.

 Maka, kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan agar seluruh siswa di wilayahnya lulus unas. Atas perintah dan tuntutan kepala daerah, kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah agar mereka melakukan "apa saja" sehingga siswa di sekolah masing-masing bisa lulus unas. Dari aspek relasi dengan orang tua, guru juga mendapatkan tekanan serupa. Sebab, orang tua memiliki kepentingan agar anaknya tidak tinggal kelas karena gagal unas.

 Muncullah istilah "bisnis kecemasan". Dalam realitasnya, kecemasan telah bergerak menjadi komoditas politik dan bisnis pendidikan. Siapa yang bisa menjamin kecemasan itu menurun, dia yang akan dibutuhkan pasar pendidikan. Misi suci pendidikan sebagai instrumen penguatan kecakapan hidup terkikis, bahkan tak dihiraukan. Sebagai ganti, mereka yakin bahwa lulus unas adalah indikator keberhasilan, meski hanya berurusan dengan kemampuan kognitif peserta didik.

 Maka, di lapangan, mulai banyak bimbel yang mereguk keuntungan dari bisnis kecemasan itu. Banyak bimbel yang akhirnya berubah haluan dari posisinya sebagai lembaga pendamping sekolah dalam penguatan kecakapan hidup menjadi lembaga penguatan jalan pintas melalui cara berpikir shortcut untuk membantu siswa lulus unas. Trik menggarap soal lebih penting, bukan menekankan pemahaman.

 Evaluasi pendidikan memang sangat condong kognitif (cognitive-heavy). Ironisnya, sekolah dianggap tidak cukup bisa memenuhi kebutuhan siswa atas tuntutan itu. Lemahnya model pembelajaran berbasis masalah (problems-based teaching) di persekolahan menjadi latar belakangnya. Sebaliknya, model pembelajaran ini yang dieksploitasi bimbel demi gol unas.

 Tak heran, banyak pula sekolah yang grogi menghadapi unas lantas menggandeng bimbel. Bentuknya, mulai penyelenggaraan les tambahan di sekolah dengan mendatangkan guru-guru atau instruktur bimbel hingga penyelenggaraan tryout unas.

 Persepsi bahwa bimbel lebih baik daripada sekolah berawal dari terperosoknya kebijakan dan praktik pendidikan ke dalam fokus sempit pengembangan kemampuan kognitif semata. Kecakapan hidup telah berubah menjadi kecakapan kognitif. Karena itu, bimbel dipandang lebih top karena lebih bisa memenuhi kebutuhan kognitif daripada sekolah. Dan unas, ironisnya, menjadi latar belakang menguatnya bisnis kecemasan berkelanjutan ini.

Akh. Muzakki  ; 
Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jatim, Anggota Dewan Pendidikan Jatim, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
JAWA POS, 15 April 2013

Selengkapnya.. »»  

Memudarnya Sekolah-Sekolah Tua


 Tak dapat dimungkiri sekolah-sekolah kita menghadapi banyak masalah. Dan, bangsa yang besar sudah pasti perlu meresponsnya. Tapi bagaimana caranya? Mendiknas Moh Nuh dan wakilnya, Musliar Kasim, melihat suasana belajar yang dihadapi anak-anak kita sudah tidak kondusif.

 Beban mata pelajaran sudah berlebihan, anak-anak semakin hari semakin stres. Memperbarui gedung saja tak cukup untuk mengusir hantu-hantu yang membuat anak-anak sering kesurupan menjelang ujian nasional (UN). Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina yang aktif dalam perubahan sosial, membantu secara sukarela dengan program Indonesia Mengajar yang luar biasa.

 Tetapi sebagian besar guru-guru besar memilih berpolemik di koran. Anies bukan tak menghadapi kendala. Puluhan anak Universitas Indonesia (UI) yang ikut mengabdi dalam program Indonesia Mengajar melihat fenomena yang sama: masih banyak sekolah yang metodenya sudah tidak fun.

 Banyak mahasiswa saya yang sudah siap dengan gitar dan suling hanya bisa bermain sendiri dalam kesepian. Mengapa demikian? Jawabannya, karena guru-guru sekolah di daerah terpencil lebih ingin “guru-guru baru” itu membantu agar anak-anak siap menghadapi UN. Jadi, ketimbang mengajak mereka bermain atau menumbuhkan “kecerdasan-kecerdasan relasionalnya”, lebih baik mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, fisika, dan bahasa Inggris.

Jadi Apa yang Mau Diubah?

 Yang mau diubah jelas suasananya. Lalu bagaimana caranya? Dibuka-buka ternyata sumbernya ada banyak. Salah satunya jumlah mata pelajaran itu. Apa solusinya? Yang satu bilang: Hapus saja mata pelajaran yang tidak penting-penting. Tetapi begitu hal itu ditawarkan, reaksi pun bermunculan. Seperti membagi warisan, mengubah kurikulum itu tak ada yang mau dikurangi. Tak ada yang mau mata ajarannya dihapus.

 Yang lain membuka Undang-Undang Sisdiknas (UU Nomor 20/2003) dan menemukan constrain lain. Di undang-undang itu disebutkan kurikulum pendidikan nasional harus mencakup apa saja. Jadi kalau ada mata ajaran yang disebut dalam UU “tidak dicantumkan” dalam draf kurikulum, bisa jadi masalah besar. Ia bisa kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Jadilah ramuan gado-gado yang dibiarkan sakral.

 Orang lain mengatakan, “Kalau tidak bisa dikurangi, metodenya saja kita ubah.” Ide ini terkesan brilian, maka mereka menuju arah itu. Dari metode mengajar elementer, yang parsial dibuat terpisah-pisah, digabung menjadi pendekatan integratif. Seorang ilmuwan senior sepengetahuan saya berucap sangat dalam, “Jika perlu, mata pelajaran di SD digabung saja menjadi satu.” Lho kok hanya satu? “Ya,” katanya, “Kita beri saja judul: Manusia dan Alam Sekitarnya.”   Kalau ini jadi kenyataan, anak-anak Indonesia pasti akan senang. Tapi bagaimana guru-gurunya? Bagaimana pebisnis buku? Belum lagi orang-orang yang senang unjuk kehebatan berpolemik. Padahal Moh Nuh dan Musliar Kasim hanya punya waktu yang terbatas: satu tahun lagi kabinet berakhir. It’s now or never. Apa Anda yakin Mendiknas masa depan berani dan mau diolok-olok tidak bernalar seperti yang terjadi sekarang?

Penglihatan Tidak Sama

 Kemarin, saya mengajak guru-guru di yayasan yang saya asuh untuk merundingkan itu. Tetapi bukannya saya didengar, guru-guru yang rata-rata orang kampung yang sederhana itu malah menertawakan saya. Mereka bilang begin,: “Lha, Bapak, itu kan (pendekatan integratif) yang sudah kami lakukan dari dulu.” Apakah buat anak-anak cukup jelas? “Iya Pak, itu justru yang membuat anak-anak kita lebih cerdas, lebih assertive, lebih respek pada alam dan sesamanya. Lebih artikulatif,” lanjut mereka.

 Saya pun tertegun. Pagi ini sebelum menulis saya pun observasi di PAUD-TK Kutilang yang diasuh istri saya. Mata saya bersinar-sinar. Saya tertegun bagaimana anak seorang tukang siomay keliling bisa menjelaskan biji-bijian dengan detail. Seorang anak tukang ojek langganan anak saya bisa membangun gedung tinggi dari balok-balok yang tersedia dengan menjelaskan cara berpikir yang indah. Logika keaksaraan yang menjadi modal bagi ilmu matematika mereka kuasai dengan baik.

 Kata istri saya, anak-anak diajak “recalling”, bernegosiasi dengan kelompoknya, menahan amarah, membaca realita dan mengungkapkan bahasa-bahasa positif. Apakah ini namanya semua? “Ini metode. Isinya sama, tetapi metodenya berbeda.” Apakah diperlukan guru-guru yang S-2 atau S-3? “Tidak Pak, kami juga bisa, ini malah lebih simpel,” ujar guru-guru itu. Istri saya tersenyum. Di belakang mereka, dialah mentor bagi guru-guru itu.

Sekolah-Sekolah Tua Bermasalah

 Hari-hari ini saya hanya mendengar keluhan demi keluhan tentang kurikulum baru. Tetapi harus kita akui, niat baik Mendiknas itu memang belum menghasilkan karya seperti yang diinginkan. Orang-orang yang terlibat dalam diskusi internal bersama kementerian banyak bercerita di sosial media betapa amburadulnya kesimpulan- kesimpulan yang ditarik. Dan, itu sudah cukup bagi sebagian orang untuk menilai layak atau tidaknya sebuah kurikulum.

 Entah apa yang terjadi di sana, sepertinya banyak gagasan-gagasan hebat yang terputus atau sulit diterjemahkan. Berbagai pihak yang menguliti kurikulum itu menceritakan segala masalah dan kejanggalan-kejanggalan. Ya, seperti itulah masalah bangsa kita ini. Kita semua dibentuk dalam sistem pendidikan yang tidak artikulatif, tidak mampu menerjemahkan isi pikiran kita ke dalam tulisan-tulisan yang menyatukan gagasan-gagasan hebat.

 Apa yang tertulis, mencerminkan kemampuan kita berekspresi. Jadinya serba kacau dan lebih mudah dikritik daripada dipasarkan. Kalau Anda pernah membuat kajian untuk mengikuti akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional, pasti Anda juga pernah mengalami hal serupa. Kajian dan laporan yang dibuat anak buah yang berpendidikan tinggi sekalipun ternyata tidak diartikulasikan dengan baik.

 Akibatnya akreditasi buruk. Padahal saat presentasi lisan, bisa dijelaskannya dengan baik. Ini fenomena Indonesia yang merata di mana-mana. Dan tanpa bermaksud membela kurikulum baru, saya justru menemukan jurang itu: tuduhan-tuduhan pada pengkritik yang saya cross kepada Kemendiknas ternyata banyak yang tak sesuai. Sebaliknya, apa yang dipikirkan Mendiknas dan tim perumus ternyata tidak sama dengan yang diterima sejumlah elite.

 Benar saja, apa yang diungkapkan itu pun menjadi umpatan dan kritik tajam di media massa. Semuanya bersuara sama: Tunda saja, atau Batalkan! Suasananya mengingatkan saya saat MMUI mengubah metode belajarnya, dan dosen-dosen yang menentang minta ditunda. Sementara saya merasa kita sudah sangat ketinggalan. Kita jadi terperangkap dalam semangat melawan. Sedikit sekali orang yang bisa diajak kembali pada tujuan awal, yaitu: persekolahan kita harus diperbaiki.

 Belajar harus dibuat lebih menyenangkan. Para pengkritik menuding Mendiknas keras kepala. Mendiknas pun meregangkan: cukup 10% saja dulu SD yang ikut kurikulum baru. Tetapi para pengkritik yang tidak mau, tidak ingin masuk dalam kategori yang 90%. Mereka tetap bilang: harus ditunda! (Tetapi kalau masuk yang 90%, sesungguhnya sudah ditunda, bukan?) Kata ditunda secara implisit bermakna minta “dibatalkan”. Kita terperangkap antara “I” dengan “You”.

 Padahal, mana ada pembaruan yang langsung hebat? Maaf, tidak ada. Tetapi kalau itu dikatakan pada mereka, dengan tangkas akan segera dijawab: pendidikan bukan kelinci percobaan! Padahal jelas sekali ribuan sekolah lama, yang jadi kebanggaan kita dulu, kini tengah menjadi museum: tua, angker, kelihatan berwibawa, namun satu per satu alumnusnya urung mengirim anak-anaknya ke sana. Mereka punya pilihan sekolah-sekolah baru yang metode belajarnya jauh lebih baik.

 Dilema bukan? Yang baru belum bagus, yang lama sudah ditolak. Syukur kalau ini dipahami, tetapi ternyata tidak. Semua hanya disangkal. Persis seperti kisah yang dihadapi para rasul dalam kitab suci. Sekali lagi tidak ada pembaharuan yang instan. Pembaruan itu prosesnya dari penghancuran dahulu, lalu kekacauan, baru pertobatan dan perbaikan-perbaikan.

 Pionir yang berani, ya jalan dulu, mereka bisa dapat keahlian, tapi yang lain bisa belajar dari kekurangannya. Seperti kata pepatah: “In the end everything will be okay”. Lantas, bagaimana kalau saat ini “tidak oke”. Ah, itu artinya “it’s not the end yet”.

Rhenald Kasali  ; 
Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 11 April 2013

Selengkapnya.. »»  

Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari


 Membaca pemberitaan beberapa surat kabar dan media elektronik mengenai tiga pelajar SMA dan MAN 1 Medan, Jalan Willem Iskandar Medan, jatuh pingsan karena dioles balsem oleh gurunya, Selasa lalu (26/3), saat mengikuti ujian.

 Tidak tahu kenapa, oknum guru PPKN di sekolah itu mengoleskan balsem ke bagian mata ketiga pelajar kelas X-11, yakni Fitra Fadila, Iksan Maulana, dan Ahmad Taufiq Siregar. Ketiga korban tidak tahan menahan panas balsem itu hingga akhirnya dirawat di Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Kepala Sekolah SMA MAN 1 Burhanuddin Harahap mengatakan kasus ini akan dilaporkan ke pihak atasan sekolah. Untuk guru yang bersangkutan tidak akan diperbolehkan mengajar dan dikenakan sanksi.

 Berita ini telah menambah daftar tindakan arogansi seorang guru terhadap anak didiknya. Kasus kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap murid sebenarnya sangat banyak daftarnya. Penulis sendiri pernah menemui guru TK yang dengan sengaja memukul anak didiknya sampai kakinya memerah tanpa alasan jelas.

 Ketika itu penulis hanya berpesan agar ke depan jangan sampai mengulangi hal serupa kepada anak-anak lain. Memukul dan menghukum murid dengan cara yang berlebihan tidak zamannya lagi. Kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya menjadi cermin bagi murid untuk menduplikasi dalam bentuk tawuran dan perkelahian antarkelas maupun antarsekolah.

 Pepatah lama mengatakan ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sepertinya masih berlaku sampai saat ini. Guru yang memiliki sikap tidak terpuji seperti melakukan kekerasan atau perbuatan paling jelek , yakni melakukan pelecehan seksual terhadap siswa perlu dipertanyakan proses seleksinya. Menjadi guru saat ini perlu mengikuti tahapan-tahapan ketat. Seorang lulusan fakultas keguruan tidak langsung menjamin menjadi seorang guru yang baik dan kreatif.

 Ketika kita membicarakan masalah pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habis. UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,

 masyarakat, bangsa, dan negara. Jika disimak secara keseluruhan, krisis pendidikan bersangkut paut dengan sarana dan prasarana, pembiayaan, serta kualitas guru yang mengajar. Karena guru adalah orang yang mengantarkan seseorang untuk mencapai kemulian. Guru begitu memiliki peranan penting dalam proses belajar murid yang memberikan pencerahan bagi murid dan mampu melahirkan murid yang tangguh, siap menghadapi aneka tantangan, sekaligus memberi perubahan yang hebat bagi kehidupan.

 Pencerahan itu tentu lahir dari guru yang inspiratif. Bukan dari sikap guru yang arogatif dan provokatif. Istilah guru inspiratif dapat diartikan sebagai guru yang memiliki orientasi jauh lebih luas. Guru inspiratif memilih melakukan tindakan strategis, yaitu bagaimana ia mampu memberikan perspektif mencerahkan serta menawarkan perspektif yang memberdayakan dan menghasilkan energi kreatif.

 Seorang guru inspiratif tidak hanya melahirkan daya tarik dan spirit perubahan terhadap diri muridnya dari aspek diri pribadinya semata, tetapi juga harus mampu mendesain iklim dan suasana juga inspiratif. Penciptaan pola yang inspiratif akan semakin memperkukuh karakter dan sifat inspiratif yang ada pada diri guru.

 Perpaduan keduanya, yaitu karakter diri guru dan suasana pembelajaran akan menjadikan dimensi inspiratif semakin menemukan momentum untuk mengkristalkan dan membangun energi perubahan positif dalam diri setiap murid. Dalam usaha untuk menciptakan iklim pembelajaran inspiratif, aspek paling utama yang harus diperhatikan guru, bagaimana guru mampu menarik dan mendorong minat murid untuk tenang dan menyukai setiap mata pelajaran.

 Penciptaan suasana pembelajaran inspiratif sangat penting, artinya untuk semakin mengukuhkan dan mendukung kekuatan insp-iratif yang bersumber dari diri guru. Dua aspek ini, pribadi guru dan suasana pembelajaran pada gilirannya akan mampu mengakumulasikan potensi dalam diri para muridnya untuk semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas.

Melahirkan Insan Cerdas

 Proses pembentukan guru pada akhirnya akan lebih tepat disebut sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator, tidak semudah membalik telapak tangan. Menempatkan guru dalam suasana pendidikan produktif akan menumbuhkan gerak kreatif murid dalam memahami pelajaran. Salah satu proses penting untuk membentuk murid berprestasi tidak hanya dalam pelajaran, tapi juga memiliki etika dan budi pekerti luhur, haruslah dididik oleh guru yang baik dan memiliki karakter.

 Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

 Pendidikan bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu juga pernah dikatakan Dr Martin Luther King, yakni intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

 Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Denganpendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

 Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya. Kedua, kemandirian dan tanggung jawab. Ketiga, kejujuran/amanah dan diplomatis. Keempat, hormat dan santun. Kelima, dermawan, suka tolong-menolong, dan gotong-royong/kerja sama. Keenam, percaya diri dan pekerja keras. Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan. Kedelapan, baik dan rendah hati.

 Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja.

 Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, acting the gooditu berubah menjadi kebiasaan.

 Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya, Amerika Serikat, Jepang, China, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga tiap sekolah bisa menerapkannya secara berkesinambungan agar nanti lahir generasi bangsa yang selain cerdas, juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

James P Pardede  ;  
Pendidik dan Dosen di Universitas Quality (UQ)
KORAN SINDO, 03 April 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum 2013


 Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.

 Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

 Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

 Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.

Perencanaan Pembelajaran

 Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.

 Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

 Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

 Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran.

 Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya.”

 Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

 Mengatakan tak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.

Kompetensi Inti

 Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

 Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

 Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

 Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

 Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada ”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

 Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

 Uraian kompetensi dasar sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.

 Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2).

Kedudukan Bahasa

 Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

 Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

 Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis.

 Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

 Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.

Mohammad Nuh  ; 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
KOMPAS, 07 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Implementasi Pendidikan


Meskipun di tingkat fondasi dan filosofi terdapat persoalan, berbagai anomali pendidikan kita kebanyakan bersumber dari ranah politik pendidikan. Problemnya: implementasi.  Kasus dikabulkannya beberapa gugatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta ditolaknya kasasi pemerintah tentang ujian nasional oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa pada tingkat pelaksanaan, pendidikan kita memang bermasalah.

Mengakali Pendidikan
 Sejak Reformasi, ada beberapa ketetap- an yang secara normatif tepat dan seyo- gianya membuat pendidikan nasional semakin baik.

 Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

 Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.

 Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.

 Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewu- judkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada sis- wa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.

 Meski Presiden Susilo Bambang Yudho- yono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.

 Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.

 Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.

 Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.

 Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.

 Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.

 Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.

 Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).

 Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.  Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.

Hanya Perbaikan Ekonomi Guru
 Setelah lebih dari lima tahun berlangsung, hasil riset Bank Dunia menunjukkan, sertifikasi portofolio berdampak positif hanya pada perbaikan ekonomi guru dan peningkatan minat menjadi guru. Adapun kinerja guru dan prestasi belajar murid, tak ada efek perbaikan signifikan.
 Kebijakan profesionalisme guru yang seharusnya mengubah peran dan substansi lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam menyiapkan calon guru hingga sejauh ini belum dilakukan. Sementara itu, program pendidikan profesi guru baru mulai diujicobakan tahun ini.

 Tampaknya berbagai implementasi pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengakali pendidikan bukan upaya memformulasikan kebijakan agar efektif dan memajukan. Pengelolaan pendidikan seperti bermain istana pasir atau tari poco- poco (istilah Megawati Soekarnoputri), sibuk bangun-runtuh, maju-mundur, walhasil tetap di situ.

 Untuk mengurangi semangat arbitrer dalam implementasi barangkali diperlukan institusi brain trust, pemikir, sekaligus pengawas pendidikan tepercaya. Ini semakin penting bila mengingat alokasi terbesar APBN dan APBD ada pada bidang pendidikan.

Mohammad Abduhzen ; 
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 06 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum sebagai Kendaraan


Harapan dan antusiasme bercampur dengan kecemasan dan keraguan dalam wacana publik soal rencana pelaksanaan Kurikulum 2013. Berbagai respons dan sikap ini menandakan kepedulian dan rasa memiliki yang besar terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia. Kehangatan respons publik, terutama dari masyarakat pendidikan, merupakan prakondisi menggembirakan terhadap strategi pembangunan pendidikan nasional jangka panjang.

Sikap positif dan dukungan terhadap rencana pemberlakuan Kurikulum 2013 dilandasi pemikiran bahwa memang perubahan kurikulum sudah selayaknya dilakukan untuk merespons transformasi zaman dan kebutuhan abad ke-21. Para pendukung berharap sekolah bisa menyiapkan peserta didik menjadi pribadi berkarakter mulia serta punya pengetahuan dan keterampilan yang relevan untuk bisa berpartisipasi dan berkontribusi di masyarakat abad ke-21.

Sebaliknya, kecemasan dan keraguan yang melandasi berbagai sikap, mulai dari kritik tajam sampai penolakan, menunjukkan ketidakpercayaan bahwa Kurikulum 2013 merupakan solusi bagi berbagai masalah pendidikan di Indonesia. Perspektif yang tepat mengenai fungsi, peran, dan konteks kurikulum akan membantu para pemangku kepentingan sistem pendidikan nasional (baik pendukung maupun pengkritik) bisa bekerja sama mencapai tujuan bersama bangsa ini melalui pembangunan pendidikan, sambil tetap menghormati ruang untuk bisa ”sepakat untuk berbeda dan tidak sepakat”. 

Ditinjau dari asal katanya dalam bahasa Latin, currere, kurikulum bisa berarti ’kendaraan’. Jadi, kurikulum bukan merupakan segala sesuatunya dalam suatu sistem pendidikan. Kurikulum merupakan alat mencapai suatu tujuan dan membutuhkan keandal- an penggunanya. Sama seperti kendaraan apa pun, banyak ketidaksempurnaan dalam setiap kurikulum. Dalam perspektif kepentingan bangsa dan negara, kendaraan kurikulum ini akan berfungsi dan berperan baik jika para pelaku dan pemerhati punya kejelasan tujuan dan visi bersama, peta jalan yang benar, serta keandalan dalam pemanfaatan kendaraan.

Visi Bersama

Pembangunan pendidikan perlu visi bersama yang bisa mengikat para pejabat dalam sistem pendidikan pada tingkat nasional maupun daerah untuk menghasilkan dan melaksanakan kebijakan dengan derajat koherensi dan konsistensi yang melebihi masa jabatan. Visi dan misi pendidikan nasional seperti tertuang dalam Pasal 3 dan penjelasannya dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: mengembangkan potensi peserta didik agar jadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkarakter mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Perumusan normatif visi dan misi ini butuh penjelasan, sosialisasi, dan internalisasi lebih lanjut kepada semua pemangku kepentingan agar kesinambungan pembangunan pendidikan nasional bisa melampaui masa jabatan menteri dan jajarannya. Koherensi sistem dan kebijakan pendidikan dengan visi pembangunan pendidikan dan kemajuan bangsa melalui pendidikan mencakup tiga isu sentral: sentralisasi-desentralisasi, komitmen pendidikan untuk semua, dan kejelasan sasaran. Fenomena penyusunan-pengesahan suatu kebijakan pendidikan, pengajuan uji materi, dan pembatalan kebijakan itu akhir-akhir ini menunjukkan kurangnya koherensi antara tujuan, sistem, dan kebijakan. Kita berharap di kemudian hari energi dan sumber daya tidak terbuang sia-sia dalam pertarungan antara pembuat dan penentang kebijakan.

Peta jalan mengidentifikasi berbagai strategi yang tepat dan berkontribusi terhadap pencapaian-pencapaian yang diharapkan. Kadang kala satu strategi akan berkontribusi terhadap satu pencapaian, tetapi dikhawatirkan akan menghambat pencapaian yang lain. Misalnya, strategi pengadaan buku pedoman kurikulum dan buku teks oleh pemerintah pusat diharapkan bisa menjamin pemerataan mutu materi pembelajaran untuk semua daerah. Terungkapnya contoh beberapa buku teks yang tidak layak pakai bagi peserta didik karena kecerobohan pada tingkat daerah dan satuan pendidikan dalam seleksi buku teks, serta kurangnya komitmen sebagian kepala daerah dalam pembangunan pendidikan, menjustifikasi kembalinya sentralisasi bagi beberapa kepentingan.

Sebaliknya, sebagian kritikus mencemaskan tergerusnya kebinekaan dalam materi pembelajaran. Maka dari itu pemetaan dan pemilihan strategi pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan kejelasan interpretasi visi dan misi pendidikan serta pandangan holistik dan sistemik yang diperkuat oleh basis data.

Keandalan Pengendara

Kendaraan secanggih Mercedes pun bisa mengakibatkan kematian bagi penumpangnya (ingat kecelakaan Lady Diana) jika penggunaannya tidak benar. Faktor sangat penting dalam keberhasilan (atau kegagalan) dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah guru sebagai pengendaranya. Pemerintah sudah berupaya sangat keras untuk meningkatkan kompetensi guru melalui berbagai strategi.

Salah satunya adalah peningkatan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi. Namun, sayangnya, survei Bank Dunia menunjukkan bahwa sertifikasi guru ternyata tidak mengubah perilaku dan praktik mengajar guru serta belum meningkatkan prestasi guru dan siswa secara signifikan (Kompas, 18 Desember 2012).

Hal itu berarti pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh dan berupaya lebih keras lagi—dan cerdas—untuk meningkatkan dedikasi dan kompetensi guru, serta merancang strategi pengembangan profesionalisme guru mulai dari masa prajabatan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sampai dengan pengembangan dalam masa jabatan.

Salah satu hal positif dalam program sertifikasi guru yang terungkap dalam survei Bank Dunia adalah adanya peningkatan minat kaum muda memilih profesi guru. Dampak sementara ini seharusnya dianggap sebagai momentum emas untuk memperbaiki profesi guru secara menyeluruh. Dua faktor yang menjadi benang merah di antara negara-negara yang mempunyai tingkat keberhasilan tinggi dalam pembangunan pendidikan bukan standar nasional, sentralisasi-desentralisasi, pembiayaan, dan kurikulum, melainkan kultur masyarakat dan kualitas guru.

Sementara transformasi budaya merupakan prakondisi dan sekaligus capaian jangka panjang yang bisa ditetapkan untuk pembangunan pendidikan, peningkatan kualitas guru merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kurikulum selanjutnya. Pilihan mendukung, menolak, atau mendukung dengan catatan tentunya membawa konsekuensi masing-masing. Ketika kendaraan sudah dipacu untuk melaju, kepentingan peserta didik dan bangsa seyogianya jadi bahan bakar yang menggerakkan. Kritik terhadap Kurikulum 2013 sebenarnya bisa dipilah menjadi catatan perbaikan substansial dan ketidakpuasan terhadap prosedur (misalnya pelaksanaan uji coba, jadwal, dan sebagainya). Dibutuhkan wawasan, kedewasaan emosional, dan kearifan untuk mengolah berbagai kegaduhan dan mengendalikan diri agar para penumpang di dalam kendaraan tidak menjadi bingung dan tersesat.

Anita Lie ;  
Profesor dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS, 26 Februari 2013

Selengkapnya.. »»