Tampilkan postingan dengan label TIMSS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TIMSS. Tampilkan semua postingan

Kurikulum 2013


 Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.

 Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

 Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

 Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.

Perencanaan Pembelajaran

 Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.

 Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

 Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

 Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran.

 Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya.”

 Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

 Mengatakan tak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.

Kompetensi Inti

 Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

 Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

 Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

 Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

 Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada ”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

 Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

 Uraian kompetensi dasar sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.

 Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2).

Kedudukan Bahasa

 Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

 Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

 Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis.

 Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

 Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.

Mohammad Nuh  ; 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
KOMPAS, 07 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum 2013, Modal Anak Bangsa untuk Bersaing


Jika tidak ada aral, implementasi kurikulum 2013 di tingkat satuan pendidikan secara bertahap akan dilakukan pada awal tahun pelajaran Juli 2013.Kini berbagai persiapan sudah dilakukan.

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pengantar Sidang Kabinet, Senin, 18 Februari 2013, juga menyatakan perlunya sosialisasi kurikulum baru yang akan dilaksanakan pada tahun pelajaran 2013. Kata Presiden, sampaikan bahwa yang kita didik dan kita siapkan bukan hanya manusiamanusia Indonesia yang cerdas semata,tapi juga yang tangguh mentalnya, sehat jasmaninya, toleran, dan rukun terhadap saudaranya yang berbeda (SINDO,19/2).

 Sebelumnya Wakil Presiden Boediono, dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, meminta agar pelaksanaan kurikulum jangan ditunda. Jika pelaksanaannya telah,yang rugi adalah peserta didik, anak bangsa yang kelak akan memimpin negeri ini, saat Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 100 tahun pada 2045. Memang secara substansial, baik guru, orang tua, maupun siswa tidak ada yang keberatan terhadap kurikulum 2013.

 Riak kecil ada perbedaan yang selama ini mengemuka diyakini, cepat atau lambat, akan selesai. Apalagi secara politis panitia kerja kurikulum di DPR, yang terdiri atas unsurunsur fraksi, sebagian besar telah menyatakan menerima kurikulum 2013. Dua organisasi besar penyelenggara pendidikan di tingkat swasta pun, Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, tegas menyatakan siap mengimplementasikan kurikulum 2013.

Respons Positif

 Jika ada kurikulum yang disiapkan melalui uji publik dan melibatkan banyak pakar serta lintas direktorat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mungkin baru terjadi pada kurikulum 2013. Karena itu, wajar jika masyarakat merespons positif langkah itu.

 Masyarakat berharap kurikulum 2013 dapat benar-benar mendorong peserta didik untuk mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran, sebagaimana tujuan awal perubahan kurikulum ini. Inilah yang disebut kurikulum dengan pendekatan scientific (ilmiah).

 Jika boleh menggambarkan suasana di lingkungan Kemendikbud, mereka yang terlibat di dalam penyiapan kurikulum 2013 pun mengakui bahwa baru kali ini sebuah kurikulum disiapkan dengan matang dan terstruktur, melibatkan bukan hanya banyak narasumber dan pakar, melainkan juga lintas direktorat.

Penyederhanaan

 Inti dari kurikulum 2013 ada pada upaya penyederhanaan dan tematik- integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan sebagai modal anak bangsa untuk bersaing.

 Kurikulum 2013 sedikit-banyak juga akan menjawab “kegelisahan” orang tua selama ini yang sering menyatakan bahwa para pelajar sekarang lebih berat bukunya ketimbang timbangan berat badannya. Itulah sebabnya, penyederhanaan menjadi salah satu kata kuncinya. Di jenjang sekolah dasar (SD), dari sepuluh mata pelajaran kini menjadi enam, disekolah menengah pertama (SMP) dari sebelumnya dua belas menjadi sepuluh, sedang di sekolah menengah atas (SMA) tidak lagi mengenal penjurusan.

 Tentu pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, melainkan juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun hasil Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

 Terhadap hasil PISA misalnya, hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3, sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama,interpretasi dari fakta ini hanya satu bahwa yang diajarkan siswa di Indonesia berbeda dengan tuntutan zaman.

 Kajian terhadap isi mata pelajaran pun dilakukan dan ditemukan fakta ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan dicerna peserta didik. Penyederhanaan jumlah mata pelajaran juga diikuti dengan penambahan jam pelajaran. Ini untuk peningkatan efektivitas pembelajaran.

 Penambahan jam pelajaran ini rasionalitasnya adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhirakhir ini juga ada kecenderungan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negaranegara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat.

Peran Guru

 Ada pertanyaan bernada khawatir terkait dengan implementasi kurikulum 2013. Apakah sedemikian mendesak sehingga tahun pelajaran 2013 kurikulum itu sudah harus diterapkan? Menjawab kekhawatiran itu, sedikitnya ada tiga persiapan yang sudah masuk agenda kementerian untuk implementasi kurikulum 2013.

 Pertama, terkait dengan buku pegangan dan buku murid. Pemerintah kini sedang menyiapkan buku induk untuk pegangan guru dan murid yang tentu saja dua buku itu berbeda konten satu dan lainnya.

 Kedua, pelatihan guru. Karena implementasi kurikulum dilakukan secara bertahap, pelatihan kepada guru pun dilakukan bertahap pula. Jika implementasi dimulai untuk kelas satu dan empat di jenjang SD dengan 30% dari populasi SD,dan kelas tujuh di SMP,serta kelas sepuluh di SMA/SMK, tentu guru yang akan diikutkan pelatihan pun tidak seluruhnya.

 Ketiga, tata kelola.Kementerian sudah pula memikirkan terhadap tata kelola di tingkat satuan pendidikan. Dengan kurikulum 2013, tata kelola pun akan berubah. Sebagai misal administrasi buku rapor. Karena empat standar dalam kurikulum 2013 mengalami perubahan, buku rapor pun harus berubah.

 Persoalannya,jangan sekalikali persoalan implementasi kurikulum dihadapkan pada stigma persoalan yang kemungkinan akan menjerat kita untuk tidak mau melakukan perubahan. Padahal kita sepakat, perubahan itu sesuatu yang niscaya harus dihadapi mana kala kita ingin terus maju dan berkembang. Bukankah melalui perubahan kurikulum ini sesungguhnya kita ingin membeli masa depan anak didik kita dengan harga sekarang.

 Pada titik ini pulalah, peran guru menjadi sangat-sangat penting. Guru dan kurikulum dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Satu saja tidak ada, tidak memiliki nilai apa-apa. Pada diri guru sedikitnya ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013 yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik (keilmuan), kompetensi sosial, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan.

 Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemungkinan terjadi perubahan. Itu sebabnya, guru ke depan dituntut tidak hanya cerdas, tapi juga adaptif terhadap perubahan. Semoga!


Sukemi ;  
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO, 22 Februari 2013


Selengkapnya.. »»  

Guru Merdeka


Tahun 1928, saat sejumlah pemuda mendeklarasikan jati diri bangsanya, dapat dikatakan itulah kelahiran resmi budaya bernalar di Nusantara.
Jika sang rasionalis René Descartes dianggap sebagai pencetus kebudayaan bernalar dan juga bidan revolusi sains, maka—sesama penggila matematika—Tan Malaka adalah penggagas budaya bernalar untuk bangsa kita. Malahan, lebih dari tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda, Tan yang tak kenal kompromi ini sudah merumuskan gagasan keindonesiaan, disebarkan lewat brosur ”Naar de Republiek Indonesia”.
Dengan kegigihannya bernalar, Tan yang kerap menganalogikan dirinya sebagai guru matematika mengajak rakyatnya, yang dianalogikan sebagai murid, untuk bernalar aktif. Rakyat harus terlibat aktif bernalar dengan pemimpinnya. Bahkan, dari dalam kubur sampai abad ke-21 ini pun masih bergema jelas gaung zikir ajakan bernalarnya lewat suara para guru sejati.
Namun, budaya bernalar itu pingsan sejak 1970-an. Budaya bernalar tak subur dan kalah pamor dengan kepatuhan. Bahkan, kerap penalaran dikorbankan demi kesantunan.
Proses belajar dalam dunia pendidikan telah disepelekan menjadi pembiasaan kepatuhan. Murid membeo keterampilan yang dipertontonkan guru. Ini tidak saja terjadi di pendidikan pra-universitas, tetapi juga di pendidikan tinggi.
Murid menyalin persis ucapan dan tulisan guru, bukan mencatat gagasan inti untuk bernalar mandiri. Ditambah lagi, sistem pendidikan sekarang menguntungkan murid penyalin dan penurut. Persekolahan sekarang adalah tanah tandus bagi budaya bernalar.
Lebih menyedihkan lagi, pertumbuhan budaya bernalar justru kerap dirusak kebijakan pendidikan sendiri. Satu perusak budaya bernalar paling efektif adalah ujian nasional (UN). Kebijakan ini telah memupuskan gairah bernalar siswa dan guru.
Pemaksaan penerapan UN bermutu sangat rendah, mengabaikan teori belajar—ditambah penyuburan tradisi jalan pintas—telah merendahkan makna belajar. Terkhusus UN matematika, yang berpusat pada tataran kognitif sangat rendah serta kegandrungan pada pragmatisme membuat proses bernalar seperti pembuktian, tak lagi dianggap penting.

Lemah Bernalar
Dampak kebijakan yang tak ramah pada budaya bernalar dapat dibaca dari beberapa survei internasional, yang menunjukkan performa siswa kita teramat rendah.
Patut disimak hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), sejak tahun 2000-an, yang tak hanya mengukur penyerapan pengetahuan, tetapi juga kecakapan berpikir dan mengolah pengetahuan. Hasil berbagai studi itu konvergen menuju satu kesimpulan: siswa kita tak cakap bernalar.
Lebih meresahkan lagi, belum tampak tanda-tanda perbaikan. Namun, ada secuil berita baik, dari hasil TIMSS 2011 Sains, siswa kita ternyata sangat piawai di tataran menghafal fakta, bahkan jauh di atas rata-rata dunia. Di tataran kognitif paling rendah ini, seperti saat ditanya apa rumus kimia dari karbon dioksida, anak- anak kita mengalahkan teman- temannya di beberapa negara maju, termasuk AS.
Akan tetapi, siswa kita jatuh di tataran yang butuh penalaran dan pengolahan informasi serta pengungkapan argumen. Misalnya saat diminta menjelaskan bagaimana mengetahui apakah suatu zat itu logam. Ini merupakan penanda jelas atas penekanan berlebihan pada perilaku menghafal dan, sebaliknya, pengabaian proses bernalar.
Pengabaian budaya bernalar di pra-universitas itu logikanya berpengaruh pada pendidikan tinggi. Secara informal, sudah jamak di antara pengajar perguruan tinggi terdengar keluhan tak siapnya lulusan SMA belajar di perguruan tinggi akhir-akhir ini. Perlu penelitian ilmiah secara saksama guna memahami situasi ini.
Semua warga bertanggung jawab membangunkan budaya bernalar. Namun demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai kementerian dengan jumlah doktor terbanyak dan mengemban nama kebudayaan tentunya pegang peran sentral. Di kementerian ini, guru adalah garda terdepan pejuang budaya bernalar menghadapi gencarnya perilaku nirnalar.
Namun, sekarang guru sulit membudayakan bernalar. Menggunakan istilah Dr Bana G Kartasasmita yang aktif dalam pendidikan guru, ”Guru tersandera oleh kebijakan dan sistem.” Bukan salah guru tak membelajarkan kecakapan bernalar. Kebijakan pendidikan sekarang tidak ramah terhadap upaya pembudayaan bernalar. Bahkan, pengakuan bagi guru yang berinovasi membelajarkan bernalar pun nyaris tak ada.
Unsur terpenting sekarang adalah kemerdekaan guru. Mematahkan pasung penyandera itu sederhana: hanya butuh rasionalitas. Guru harus diberdayakan jadi seorang intelektual merdeka. Caranya, menggelorakan kembali semangat belajar guru, terutama untuk mendalami konsep sekaligus budaya keilmuannya.
Di sini mutlak butuh kepeloporan perguruan tinggi sebagai lembaga pengembang ilmu. Juga, sangat perlu penggunaan bahasa yang berbudaya saat membangun komunikasi dengan guru. Kemudian, perlu penyadaran guru atas peran pusatnya dalam pembangunan negara berdasarkan intelektualitas. Hasrat kejuangan dan semangat kemerdekaan guru akan berimbas langsung pada siswa yang bergairah bernalar.
Guru berdaya otomatis memicu atmosfer subur sehingga pelajar bergairah bermatematika dan bersains; bukan beriman kepatuhan pada rumus atau ketakutan salah. Apalagi sebagai sebuah seni, matematika sejatinya mengundang pelajar mempertanyakan, meragukan, dan mengembangkan aturan. Matematika bukan kumpulan aturan lalu lintas yang harus dipatuhi.
Konon, matematikawan pertama Indonesia, Sam Ratulangi, saat menjumlahkan bilangan tak ikut aturan biasa. Ia mulai dengan yang terbesar, yakni puluhan, baru satuan. Tentunya, buyut-cicit Sam Ratulangi di abad ke-21 ini juga mampu mencipta algoritmanya sendiri.
Matematika adalah buatan manusia yang punya ketaksempurnaan, maka perlu dikritisi dan dikembangkan. Pertumbuhan sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika merupakan pilar pembangunan negara berdasarkan intelektualitas. Dan, pertumbuhan ini butuh guru merdeka.

Iwan Pranoto ; 
Guru Besar Matematika ITB
KOMPAS, 20 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Mendiagnosis Pendidikan di Tanah Air


HASIL the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat.

Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Dalam TIMSS kali ini, Indonesia tidak mengikutsertakan siswa kelas empat. Sementara itu, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Namun, rata-rata dan peringkat saja tidak cukup. Banyak informasi berharga dapat digali dari hasil TIMSS dan PIRLS untuk membantu mendiagnosis kondisi pendidikan di Tanah Air.

Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa. Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar).

PIRLS, yang diselenggarakan lima tahun sekali, didesain untuk menilai kemampuan siswa dalam membaca teks-teks baik yang bersifat rekreatif maupun informatif. Proses pemahaman atas teks yang dibaca dimulai dari yang terendah, yaitu mencari dan menemukan informasi yang telah dinyatakan secara eksplisit, hingga yang tertinggi, yaitu mengintegrasikan gagasan dan informasi dari beragam teks untuk menjelaskan dan menyampaikan pemikiran.

Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400), intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625).

Terjadi Penurunan

Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapai advanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan.

Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian.

Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.

Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.

Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Meskipun ada tren kenaikan, secara rata-rata, posisi siswa-siswa Indonesia tetap berada di peringkat bawah karena siswa-siswa di negara-negara lain pun mengalami peningkatan dalam membaca.

Faktor Berkontribusi

Laporan TIMSS dan PIRLS 2011 menyebutkan sikap positif terhadap matematika, sains, dan membaca, ketersediaan fasilitas pem belajaran di rumah misalnya buku-buku, pengenalan dini terhadap angka, fenomena alam, dan kegiatan membaca dengan cara menyenangkan seperti melalui permainan dan aktivitas keseharian, gizi dan tidur yang cukup, berkorelasi positif dengan pencapaian siswa. Fasilitas sekolah yang memadai, sekolah yang aman dan tidak memiliki banyak masalah terkait dengan disiplin, guru-guru dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi, lebih berpengalaman, dan merasa puas dengan profesi yang mereka jalani juga berkorelasi positif dengan pencapaian siswa.

Kajian TIMSS dan PIRLS 2011 juga semakin menegaskan temuan berbagai riset skala internasional yang pernah dilakukan sebelumnya tentang keterkaitan yang erat antara kondisi sosial-ekonomi dan pencapaian siswa. Siswa dengan orangtua berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi cenderung memiliki pencapaian yang tinggi pula. Sekolah dengan mayoritas siswa berasal dari kalangan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi memiliki pencapaian lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan sekolah dengan mayoritas siswa dari kalangan dengan tingkat sosial-ekonomi lebih rendah.

Permasalahan-permasalahan di dunia ini yang makin kompleks dari hari ke hari atau bahkan belum dikenal sebelumnya membutuhkan generasi yang mampu mencari, menggunakan, dan menginterpretasi informasi dan mengambil keputusan dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalah. Banjir informasi sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga menuntut generasi yang mampu memilah dan memilih informasi yang relevan, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hingga saat ini, sebagian besar siswa kita baru mencapai kemampuan-kemampuan berpikir tingkat rendah. Konsekuensinya, bila kondisi itu tidak segera diintervensi secara tepat, ke depan kita akan memiliki generasi yang gagap dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan masa depan.

Bila ditinjau dari aspek persekolahan, perlu dipastikan bahwa materi-materi yang diajarkan sekolah telah sesuai dengan kebutuhankebutuhan masyarakat di masa kini dan masa depan. Pengembangan penalaran sepatutnya menjadi prioritas dalam pembelajaran. Misalnya, ketika belajar matematika, siswa perlu dilatih untuk mampu menjelaskan alasan-alasan di balik langkah-langkah yang dia tempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah, termasuk mengaitkan dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam pelajaran sains, rasa ingin tahu siswa perlu dipupuk, misalnya dengan melakukan pengamatan-pengamatan ataupun kajian pustaka dan menyusun hasilnya dalam bentuk laporan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa perlu diperkenalkan dengan beragam bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik ilmiah maupun populer, dan dilatih pula untuk menuliskan, misalnya tanggapan ataupun penilaian kritis atas bacaannya.

Penilaian yang dilakukan terhadap siswa selayaknya juga semakin difokuskan pada tujuan assessment for learning ataupun assessment as learning, dengan penilaian ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran ataupun sebagai pembelajaran itu sendiri. Selama ini, penilaian yang dilakukan masih cenderung didominasi kerangka assessment of learning, yaitu untuk menilai hasil belajar siswa. Penilaian dengan model pilihan ganda sebaiknya diminimalkan. Soal-soal pilihan ganda memang dapat didesain untuk mengukur higher-order thinking, tetapi dengan penilaian benar atau salah, guru tidak dapat melihat proses-proses berpikir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Penilaian model esai, kinerja (performance), ataupun portofolio tampaknya lebih akomodatif dalam memberi ruang pada assessment for learning ataupun assessment as learning, yang dipandang ahli-ahli di bidang penilaian pendidikan sebagai assessment yang dapat membekali siswa dengan pengalaman berharga sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Elin Driana ;  
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Guru dan Kesuksesan Pembelajaran


Guru sering mengeluhkan kemeluasan materi pembelajaran yang harus mereka cakup. Saya selalu menyarankan sedikit materi tetapi lebih mendalam, jauh lebih baik ketimbang materi yang luas namun hanya pada permukaan. Tiga alasan yang mendukung hal ini dan konsekuensinya pada penyiapan guru, saya didiskusikan melalui tulisan ini.
Membaca di antara baris dokumen uji publik Kurikulum 2013, kita melihat bahwa pembelajaran mendalam inilah yang diimpikan.  Sudah sering disampaikan bahwa keterampilan utama yang diperlukan kini, terlebih pada masa depan, yang penuh dengan ketidakpastian, adalah kemampuan transfer.
 Kemampuan ini merujuk pada kemampuan orang untuk menyelesaikan masalah baru berdasarkan apa yang dipelajarinya pada bidang lain. Kemampuan ini didapat bila seseorang belajar sesuatu lebih mendalam.
 Beberapa hal yang harus dilakukan guru agar terjadi pembelajaran mendalam adalah mendorong kemunculan diskusi mendalam dan pemberian tugas menantang disertai bantuan serta umpan balik yang segera. Dalam pemberian tugas yang menantang, kesediaan guru membantu bila siswa menemui masalah dan pemberian umpan balik yang segera, sangat penting.
 Untuk mengatasi kemenurunan minat dan kenikmatan siswa belajar sains, pendekatan yang disarankan diimplementasikan pada berbagai negara adalah pendekatan inkuiri. Inkuiri, antara lain melibatkan pengamatan, mengajukan pertanyaan, mempelajari pustaka, merencanakan penelitian, menganalisis data, serta menyimpulkan dan mengomunikasikan.
  Bila dilakukan dengan baik, inkuiri memungkinkan pemahaman yang mendalam serta menyediakan bagi siswa kesempatan refleksi periodik atas apa yang telah dipelajari.  Dengan refleksi itu, siswa melihat keterkaitan konsep. Dalam sains, suatu konsep biasanya dibangun oleh konsep lain yang dipelajari sebelumnya.
 Pembelajaran berciri inkuiri ini disebut dalam dokumen uji publik Kurikulum 2013, yakni pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi, bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengomunikasikan. Menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah.

Menyiapkan Guru
 Pembelajaran yang mendalam dapat memanfaatkan ide-ide besar dalam tiap bidang ini untuk memilih bagian mana dari materi yang harus ditekankan dan bagian mana yang dapat ditugaskan kepada siswa untuk mempelajari sendiri. Karena jumlahnya tidak terlalu banyak, guru dapat membahas lebih mendalam, termasuk keterkaitannya dengan berbagai konsep lain. 
 Dengan ide-ide besar ini, guru sekaligus dapat menarik minat siswa bahwa belajar sesuatu ada relevansinya dengan kehidupan. Pemahaman guru atas ide besar dan tahapan pemahaman (sesuai dengan perkembangan siswa) sangat penting agar guru tidak memberikan yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
 Salah satu upaya penting untuk menuju pembelajaran mendalam adalah pengembangan profesional guru. Disebutkan dalam dokumen uji publik Kurikulum 2013 bahwa untuk menyiapkan implementasi kurikulum baru, akan dilakukan pelatihan bagi guru. Bagaimana menyiapkan guru agar dapat mengimplementasikan ciri pembelajaran seperti itu?
Dengan mempertimbangkan kondisi awal guru (hasil studi TIMSS dan UKA), pelatihan yang diberikan minimal harus memungkinkan guru melakukan sendiri kegiatan inkuiri,  mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Dengan kata lain, agar guru dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan, pelatihan harus dilakukan lewat pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas.
 Selain itu, dalam pelatihan juga harus dimasukkan berbagai metode assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri tersebut. Dari studi TIMSS misalnya, terlihat jelas bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa-siswa kita masih rendah. Banyak studi menunjukkan kelemahan ini terkait erat dengan pembelajaran yang masih bersifat memindahkan informasi dari guru ke murid, dan tes yang hanya menguji hafalan

M Khasanudin ; 
Peneliti di UPT Perpustakaan IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Solusi Keuangan Pendidikan dan Riset


Pemberitaan di media akhir-akhir ini selalu menggambarkan mutu pendidikan dan riset yang rendah di Indonesia. Hasil pemeringkatan berbagai lembaga internasional selalu menunjukkan peringkat perguruan tinggi Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga di ASEAN, apalagi negara maju di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Hasil survei internasional, seperti PISA dan TIMSS, juga menunjukkan peringkat siswa-siswi kita secara keseluruhan dalam bidang sains sangat rendah. Ini menunjukkan peringkat melek sains anak-anak Indonesia sangat rendah saat ini.
Kita memang mengalami kemajuan dalam pendidikan dan riset, tetapi negara lain lebih cepat kemajuannya sehingga Indonesia tetap saja tertinggal, bahkan makin jauh tertinggal. Dalam bidang riset, kita pun tertinggal cukup jauh: peringkatnya rendah, terutama dalam publikasi ilmiah, jumlah perolehan paten, ataupun inovasi yang memberi terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Akibat pemberitaan yang demikian, semua pihak galau dengan masa depan Indonesia yang makin suram karena melemahnya kapasitas sumber daya manusia untuk bersaing di era global. Kegalauan itu terjadi di semua lini, terutama di kalangan pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan dan riset.
Masyarakat umumnya tak terlalu peduli dengan kondisi pendidikan dan riset kita yang masih lemah karena perhatian mereka habis disita kondisi ekonomi yang sangat berat. Di samping itu, mereka juga tak dapat berbuat apa-apa memperbaiki kondisi pendidikan dan riset di Indonesia. Mereka masih harus berusaha keras untuk sintas. Para pengambil kebijakan serta pelaku pendidikan dan riset, karena kegalauannya, kemudian mengungkapkan berbagai kendala yang mereka hadapi. Kendala utamanya selalu ketidakcukupan anggaran pendidikan dan riset. Mereka menyatakan, negara-negara maju sangat besar anggaran pendidikan dan risetnya sehingga dapat mencapai mutu pendidikan dan riset yang tinggi. Yang dijadikan kambing hitam adalah anggaran kurang.

Anggaran Tidak Cukup?
Seandainya benar penyebab rendahnya pendidikan dan riset adalah kurangnya anggaran, sebenarnya solusinya sangat sederhana, yakni tingkatkan anggaran, toh pemerintah punya cadangan dana yang tak kecil dan pemerintah punya hak memberi anggaran lebih besar bagi kegiatan pendidikan dan riset. Anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari anggaran nasional sesuai konstitusi, suatu peningkatan yang cukup signifikan. Namun, belum terlihat kemajuan berarti dalam peningkatan mutu pendidikan di semua lini. Mereka tetap mengeluh anggaran belum memadai karena mereka membandingkannya dengan negara maju yang anggaran pendidikannya per kapita sangat tinggi.
Untuk riset, memang anggaran pemerintah sangat terbatas saat ini, hanya sekitar 0,08 persen dari PDB. Padahal, ukuran negara maju sekitar 3 persen dari PDB. Pemerintah menargetkan anggaran riset dinaikkan menjadi 1 persen dari PDB dalam kurun lima tahun ke depan. Pendekatan yang dilakukan pengambil kebijakan dan juga pemahaman para pelaku pendidikan dan riset sangat pragmatis, yakni tambahkan anggaran, persoalannya akan selesai. Sesederhana itukah?
Kambing hitam berikutnya yang dianggap sebagai sumber rendahnya mutu pendidikan dan riset kita adalah budaya korupsi yang menggejala di semua lini. Para pengamat pendidikan menyampaikan bahwa budaya korupsi mengakibatkan kebocoran penggunaan anggaran sehingga anggaran tak mencukupi untuk penyelenggaraan pendidikan dan riset yang bermutu. Lagi-lagi anggaran kurang menjadi kambing hitam meski diakibatkan oleh korupsi. Seandainya korupsi hilang, apakah mutu pendidikan dan riset akan meningkat?

Tak Sesuai
Dari pembahasan di atas tampak jelas persoalan pendidikan dan riset bukan karena kurangnya anggaran, melainkan sistem keuangan negara yang berlaku di Indonesia tidak sesuai dengan sifat kegiatan pendidikan dan riset. Sistem yang ada saat ini tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset karena tidak ada keterkaitan langsung antara besarnya anggaran dan mutu pendidikan dan riset yang dihasilkan. Dengan sistem keuangan negara yang dianut saat ini, seberapa pun anggaran pendidikan dan riset tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset secara signifikan. Malah, akan terjadi kebocoran dan korupsi yang lebih besar atau pemborosan karena pembelanjaan yang berlebihan bagi hal-hal tidak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dan riset.
Sistem yang dianut saat ini tidak berbasis kepada capaian kinerja. Artinya, tidak ada insentif atau disinsentif bagi institusi pelaku pendidikan dan riset apabila berhasil atau gagal menjalankan amanahnya meningkatkan mutu. Sistem yang ada saat ini menekankan pada penyerapan anggaran yang tertib administratif setiap tahun anggaran.
Anggaran disusun pemerintah bersama DPR untuk setiap tahun anggaran secara rinci dalam mata anggaran baku, yaitu anggaran rutin yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, lain-lain; dan anggaran pembangunan yang wujudnya adalah pembangunan fisik. Tahun anggaran secara resmi dimulai tanggal 1 Januari tahun berjalan, tetapi pada kenyataannya anggaran baru tersedia sekitar April karena harus melalui berbagai macam revisi akibat adanya perubahan asumsi dan sebagainya. Pada pertengahan Desember tahun berjalan, institusi harus menyelesaikan pertanggungjawaban keuangan beserta bukti-bukti administratif yang sah.
Pembakuan mata anggaran yang demikian dan mekanisme penganggaran seperti di atas hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik yang jelas terukur volume, spesifikasi, standar, prosedur, penahapan, termin, dan lainnya. Pendidikan dan riset tidak dapat disamakan dengan pembangunan fisik karena pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang tak dapat diukur kemajuannya secara fisik setiap tahun anggaran. Bahwa penggunaan anggaran pemerintah harus akuntabel, ini dapat dicapai dengan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja, ketika mata anggaran tidak dibakukan dan penganggarannya dilakukan secara multitahun dalam bentuk blok.
Dengan penganggaran yang demikian, peningkatan mutu pendidikan dan riset akan tercapai meskipun anggarannya tidak terlalu besar karena akan terjadi efisiensi secara alamiah dan kemampuan inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan riset akan terbentuk.Reformasi sistem keuangan negara harus segera dilakukan, tidak lagi menggunakan pola mata anggaran baku tahunan yang hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik, melainkan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja multitahun sehingga setiap tahun anggaran diberikan dalam bentuk blok. Insentif diberikan apabila capaian kinerja melampaui target, dan sebaliknya disinsentif apabila capaian kinerja di bawah target. Untuk menjamin akuntabilitas publik, capaian kinerja beserta anggaran yang diberikan harus dapat diketahui masyarakat sehingga masyarakat pun dapat melakukan pengawasan. Perlu ditekankan lagi bahwasanya pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang memerlukan sistem penganggaran yang tepat.

Satryo Soemantri Brodjonegoro ; 
Dirjen Dikti (1999-2007);
Guru Besar ITB; Anggota AIPI
KOMPAS, 02 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Kurikulum 2013 dan Format Pendidikan Ideal


Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain.

Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah mata pelajaran bagi anak sekolah, sebagaimana disosialisasi dalam kurikulum 2013, menuai kontroversi. Ada yang mendukung, tapi ada juga yang menentang. Kalangan pertama beralasan, mata pelajaran bagi anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memang terlalu banyak, sehingga siswa tidak bisa menyerap semua mata pelajaran dengan maksimal. Siswa tidak fokus karena dituntut untuk menguasai beragam disiplin ilmu pengetahuan.

Sedangkan kalangan yang menolak beranggapan, dengan mata pelajaran yang ada saja masih banyak ilmu pengetahuan dasar yang tidak dikuasai siswa, lantas bagaimana jika masih dikurangi lagi? Kalangan ini juga bersikap apriori atas masterplan kurikulum yang menggabung mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan bahasa Indonesia.

Alasan mereka, diajarkan secara terpisah dan sistematis saja hasilnya tidak maksimal, apalagi digabung. Di tengah gancarnya gempuran bahasa gaul terhadap struktur bahasa Indonesia yang baku, besar kemungkinan di masa depan jumlah penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar akan berkurang drastis. Padahal bahasa Indonesia merupakan salah satu isi dalam Sumpah Pemuda yang memiliki nilai historis dan posisi strategis bagi kesatuan dan persatuan bangsa.

Kontroversi ini sebenarnya harus disikapi secara arif dan dicari jalan tengahnya, supaya tidak berimbas pada proses belajar-mengajar anak-anak sekolah. Yang terpenting dari semua itu adalah, semua praktisi dan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan harus mengacu pada semangat yang sama dalam menjalankan tugasnya.

Semangat tersebut tertuang rapi dalam definisi pendidikan yang diberikan oleh pakar-pakar pendidikan dan diamanahkan oleh undang-undang. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pemaknaan yang hampir senada dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Adapun UU Nomor 2 Tahun 1989 menyebutkan pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Hal ini dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 yang mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Cara pandang terhadap pendidikan yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana terpapar dalam ragam definisi di atas, sejatinya mencerminkan betapa bangsa Indonesia memiliki pandangan yang lebih holistik dibanding bangsa-bangsa lain. Yunani, misalnya, kendati disebut-sebut sebagai bangsa pertama yang memulai tradisi menulis, pandangan mereka terhadap pendidikan ternyata sangat sederhana: sekadar ilmu menuntun anak, yang lazim mereka sebut dengan istilah pedagogik. Bangsa Romawi, yang terkenal berhasil membangun imperium besar, juga tidak jauh berbeda. Educare mereka artikan sebatas usaha untuk mengeluarkan, menuntun, serta mengaktualkan potensi anak yang dibawa saat dilahirkan ke dunia. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Jerman. Istilah erzierhung mereka artikan sebagai usaha membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak.

Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain. Namun apakah kenyataannya demikian? Menurut laporan Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS), per Desember 2012, kemampuan nalar siswa Indonesia menempati posisi ke-40 di antara 42 negara Asia.

Rapor merah yang dikeluarkan TIMSS ini masih diperparah dengan maraknya tawuran antarpelajar yang selama kurun 2012 saja sudah menelan 4 korban jiwa, aksi bullying (perundungan) yang masih terus terjadi, serta angka pengguna narkoba dan pelaku tindak kriminal di kalangan pelajar yang juga menunjukkan peningkatan.

Kenyataan yang memalukan sekaligus memilukan ini mengharuskan para pemangku kebijakan melakukan pembenahan yang lebih radikal terhadap dunia pendidikan. Tidak hanya sebatas kurikulum, tapi juga mencakup aspek yang lain, seperti sarana dan prasarana. Sebagai gambaran, saat ini 194 ribu ruang kelas SD dan SMP rusak parah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyebutkan, dari sekitar 1,48 juta guru SD, baru 22,6 persen yang bergelar sarjana. Adapun guru SMP 27 persen, dan guru SMA 81 persen yang menyelesaikan pendidikan S1.

Perbaikan sarana dan peningkatan kualitas guru juga tidak kalah penting dibanding perbaikan kurikulum. Sebab, mustahil siswa bisa belajar dengan baik jika ruang belajarnya tidak kondusif dan gurunya tidak memiliki kompetensi. Atas dasar itulah, supaya kurikulum 2013 bisa diterapkan efektif, pemerintah juga harus memperbaiki semua instrumen pendukungnya, termasuk sarana belajar dan guru pengajar.

AM Fatwa ; 
Anggota DPD RI
KORAN TEMPO, 25 Januari 2013


Selengkapnya.. »»