HASIL the Trends in International Mathematics and
Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies
(PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the
Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember
2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan
tidak ditangani dengan tepat.
Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia
dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan
menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan
urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Dalam TIMSS kali ini, Indonesia
tidak mengikutsertakan siswa kelas empat. Sementara itu, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas
empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Namun, rata-rata dan
peringkat saja tidak cukup. Banyak informasi berharga dapat digali dari hasil
TIMSS dan PIRLS untuk membantu mendiagnosis kondisi pendidikan di Tanah Air.
Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat
tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas
materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa. Assessment kelas delapan untuk
matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun
sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang
dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying
(menerapkan), dan reasoning (bernalar).
PIRLS, yang diselenggarakan lima tahun sekali,
didesain untuk menilai kemampuan siswa dalam membaca teks-teks baik yang
bersifat rekreatif maupun informatif. Proses pemahaman atas teks yang dibaca
dimulai dari yang terendah, yaitu mencari dan menemukan informasi yang telah
dinyatakan secara eksplisit, hingga yang tertinggi, yaitu mengintegrasikan
gagasan dan informasi dari beragam teks untuk menjelaskan dan menyampaikan
pemikiran.
Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa
dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh,
yaitu low international benchmark (400), intermediate benchmark (475), high
international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625).
Terjadi
Penurunan
Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak
ada siswa Indonesia yang mencapai advanced international benchmark, 2% siswa
mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai
intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low
international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa
kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark,
yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada
tahap menyelesaikan masalah-masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang
telah biasa digunakan.
Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced
international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi
dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi, dan
menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian.
Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai
advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international
benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun
dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65%
di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah
tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang
sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel
sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dasar ke dalam situasi
nyata.
Advanced international benchmark, antara lain,
menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak
dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai
sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.
Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif
lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam
matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international
benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28%
mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low
international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum
mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah
dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Meskipun ada tren kenaikan, secara rata-rata, posisi
siswa-siswa Indonesia tetap berada di peringkat bawah karena siswa-siswa di
negara-negara lain pun mengalami peningkatan dalam membaca.
Faktor
Berkontribusi
Laporan TIMSS dan PIRLS 2011 menyebutkan sikap positif
terhadap matematika, sains, dan membaca, ketersediaan fasilitas pem belajaran
di rumah misalnya buku-buku, pengenalan dini terhadap angka, fenomena alam, dan
kegiatan membaca dengan cara menyenangkan seperti melalui permainan dan
aktivitas keseharian, gizi dan tidur yang cukup, berkorelasi positif dengan
pencapaian siswa. Fasilitas sekolah yang memadai, sekolah yang aman dan tidak
memiliki banyak masalah terkait dengan disiplin, guru-guru dengan kualifikasi
pendidikan lebih tinggi, lebih berpengalaman, dan merasa puas dengan profesi
yang mereka jalani juga berkorelasi positif dengan pencapaian siswa.
Kajian TIMSS dan PIRLS 2011 juga semakin menegaskan
temuan berbagai riset skala internasional yang pernah dilakukan sebelumnya
tentang keterkaitan yang erat antara kondisi sosial-ekonomi dan pencapaian
siswa. Siswa dengan orangtua berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi
cenderung memiliki pencapaian yang tinggi pula. Sekolah dengan mayoritas siswa
berasal dari kalangan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi memiliki
pencapaian lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan sekolah dengan mayoritas
siswa dari kalangan dengan tingkat sosial-ekonomi lebih rendah.
Permasalahan-permasalahan di dunia ini yang makin
kompleks dari hari ke hari atau bahkan belum dikenal sebelumnya membutuhkan
generasi yang mampu mencari, menggunakan, dan menginterpretasi informasi dan
mengambil keputusan dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalah. Banjir
informasi sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga
menuntut generasi yang mampu memilah dan memilih informasi yang relevan,
akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hingga saat ini, sebagian besar siswa kita baru mencapai
kemampuan-kemampuan berpikir tingkat rendah. Konsekuensinya, bila kondisi itu
tidak segera diintervensi secara tepat, ke depan kita akan memiliki generasi
yang gagap dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan masa depan.
Bila ditinjau dari aspek persekolahan, perlu
dipastikan bahwa materi-materi yang diajarkan sekolah telah sesuai dengan
kebutuhankebutuhan masyarakat di masa kini dan masa depan. Pengembangan
penalaran sepatutnya menjadi prioritas dalam pembelajaran. Misalnya, ketika
belajar matematika, siswa perlu dilatih untuk mampu menjelaskan alasan-alasan
di balik langkah-langkah yang dia tempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah,
termasuk mengaitkan dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Dalam pelajaran sains, rasa ingin tahu siswa perlu dipupuk, misalnya dengan
melakukan pengamatan-pengamatan ataupun kajian pustaka dan menyusun hasilnya
dalam bentuk laporan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Untuk
meningkatkan kemampuan membaca, siswa perlu diperkenalkan dengan beragam bacaan,
baik fiksi maupun nonfiksi, baik ilmiah maupun populer, dan dilatih pula untuk
menuliskan, misalnya tanggapan ataupun penilaian kritis atas bacaannya.
Penilaian yang dilakukan terhadap siswa selayaknya
juga semakin difokuskan pada tujuan assessment for learning ataupun assessment
as learning, dengan penilaian ditujukan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran ataupun sebagai pembelajaran itu sendiri. Selama ini, penilaian
yang dilakukan masih cenderung didominasi kerangka assessment of learning, yaitu
untuk menilai hasil belajar siswa. Penilaian dengan model pilihan ganda
sebaiknya diminimalkan. Soal-soal pilihan ganda memang dapat didesain untuk
mengukur higher-order thinking, tetapi dengan penilaian benar atau salah, guru
tidak dapat melihat proses-proses berpikir yang dicapai siswa dalam
menyelesaikan masalah yang diberikan.
Penilaian model esai, kinerja (performance), ataupun
portofolio tampaknya lebih akomodatif dalam memberi ruang pada assessment for
learning ataupun assessment as learning, yang dipandang ahli-ahli di bidang
penilaian pendidikan sebagai assessment yang dapat membekali siswa dengan
pengalaman berharga sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Elin Driana
;
Dosen
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah
seorang Koordinator Education Forum
MEDIA
INDONESIA, 11 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi