Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang
telah menyedot anggaran triliunan rupiah sejak digulirkan pada tahun ajaran
2006/ 2007 kini tinggal kenangan. Yang tersisa dari kontroversi RSBI adalah tidak
surutnya impian untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Kini, sampai
berakhir tahun ajaran 2012/2013, sebagaimana ditegaskan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, terjadi masa transisi pada sekolah
berlabel RSBI. Langkah tersebut sebagai respon terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menilai Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No
20/2003 sebagai payung hukum penyelenggaraan RSBI tidak sesuai konstitusi.
Masa transisi diperlukan sebab sekolah RSBI sudah
memiliki anggaran dan rencana kerja selama satu tahun anggaran. Selain itu,
sekolah RSBI juga sudah menampung sumbangan dari wali murid dan orangtua siswa.
Maka, kata Mohammad Nuh, rencana kerja dan anggaran RSBI tahun ajaran ini harus
dijalankan terlebih dahulu. Sesuai dengan putusan MK, Mendikbud melarang
pungutan sumbangan baru di sekolah eks RSBI. Sekolah eks RSBI juga diwajibkan
untuk melepaskan label dan atribut RSBI (www.jurnas.com, 22 Januari 2013).
Bagaimana pun, kita tentu perlu mengapresiasi setiap
ikhtiar pemerintah (cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Kemdikbud)
meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kita tidak mungkin
menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian masyarakat menilai kebijakan RSBI
bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan pendidikan. Penolakan
terhadap sekolah dengan label RSBI hendaknya dimaknai pemerintah sebagai bentuk
harapan masyarakat di negeri ini untuk menjadikan institusi sekolah sebagai
wahana meniti masa depan yang lebih baik. Bagaimana pun juga, sekolah tetap
diharapkan untuk menciptakan perubahan sosial.
Dengan jutaan anak bangsa yang memiliki potensi di
negeri ini, pemerintah memang menghadapi tantangan besar agar seluruh anak
bangsa bisa berkembang dan mengaktualisasikan potensi dirinya. Pemerintah masih
berikhtiar sepenuh daya untuk melunasi janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sekolah tetap dihayati pemerintah sebagai wahana memajukan
anak-anak bangsa agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, persepsi
antara pemerintah dan para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan nasional
kerapkali berlainan.
Prinsip bahwa setiap warga negara harus memperoleh
kesempatan belajar yang sama tentu saja telah dimengerti oleh pemerintah. Hanya
saja, sebisa mungkin soal kualitas sekolah selayaknya tak ada diskriminasi.
Apalagi dengan kebijakan ujian nasional (UN), amat tidak masuk akal apabila
siswa-siswa yang berada di sekolah yang kualitasnya tidak sama harus menempuh
UN yang sama. Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas
pendidikan, dijelaskan Doni Koesoema (2007), adalah memastikan semua siswa
dapat hadir di sekolah dan melaksanakan kegiatan belajar.
Di sekolah, siswa mendapatkan metode pengajaran yang
berkualitas dengan materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang
didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai
fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang
nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi
minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.
Untuk meningkatkan kualitas sekolah, daya dukung
anggaran tidak mungkin diabaikan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW)
bahwa tingkat korupsi terbesar pada tahun 2012 lalu terjadi di dunia pendidikan
perlu dijadikan evaluasi Kemdikbud. Naiknya anggaran pendidikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS)
disinyalir sebagai pemicu kasus korupsi. Upaya peningkatan kualitas sekolah
tentu memerlukan manajemen anggaran secara akuntabel dan transparan.
Dalam meningkatkan kualitas sekolah, Kemdikbud memang
diharapkan dapat mengimplementasikan standar pendidikan nasional di setiap
sekolah. Standar nasional itu meliputi standar isi, standar proses, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, standar sarana
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
Namun, yang perlu digarisbawahi, standarisasi tetap perlu memperhatikan potensi
dan kekhasan masing-masing daerah di negeri ini. Proses dan isi penyelenggaraan
pendidikan sekolah di daerah dengan potensi kelautan, misalnya, tidak perlu
disamaratakan dengan daerah-daerah agraris. Begitu pula potensi dan kekhasan
budaya adiluhung masing-masing daerah perlu diperhatikan. Muatan lokal pada
dasarnya bertujuan untuk mengakomodasi kekhasan masing-masing daerah di
Indonesia, namun harus diakui pelaksanaannya belum berjalan secara baik.
Jadi, proses pendidikan sekolah perlu memasukkan
potensi dan kekhasan masing-masing daerah, sehingga mampu membekali kemampuan
siswa-siswanya untuk membangun dan memajukan daerahnya. Sejatinya kemajuan
daerah yang digerakkan oleh putra dan putri daerahnya akan turut menopang
kemajuan bangsa dan negara ini.
Contoh menarik barangkali bisa melihat Australia.
Menurut Ki Supriyoko (2010), kurikulum sekolah di Australia bisa berbeda
apabila provinsi atau teritorinya berbeda. Billanook School dan Trinity School
yang dikenal sebagai sekolah berkualitas di Australia memiliki perbedaan dalam
ukuran kualitasnya.
Tentu, bicara peningkatan kualitas sekolah, kebijakan
yang tepat dari Kemdikbud amat sangat dinantikan. Hal-hal yang beraroma
diskiriminasi dan komersialisasi, sebagaimana pengalaman selama ini, cenderung
sensitif dan disikapi negatif oleh masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan
di sekolah masih menjadi pekerjaan tak mudah. Namun, optimisme harus terus
tercipta untuk melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hendra
Sugiantoro ;
Pendidik
& Pegiat Transform Institute, Tinggal di Yogyakarta
SUARA
KARYA, 12 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi